Jumat, 14 Agustus 2009

DANAU TOBA


Oleh: Maridup

Alkisah, seorang pemuda yatim piatu bernama Tabo hidup sendiri digubuknya di tepi sebuah jurang yang dalam, setelah dia dia mengasingkan diri dari keluarga orangtuanya. Dekat dengan gubuknya mengalir sebuah sungai yang banyak ikannya. Pekerjaannya disamping bertani adalah menjala ikan atau memancung ikan di sungai tersebut. Ikan yang dijala biasanya dimasaknya sebagai lauk makanannya. Terkadang dia mendapat ikan yang banyak sehingga harus disimpannya di sebuah kolam yang ada dibelakang gubuknya, untuk kemudian apabila dia butuhkan maka dia dapat mengambilnya tanpa harus pergi menjala atau memancing ke sungai.

Di suatu hari, dia tidak pergi ke ladangnya melainkan direncanakannya untuk menjala ikan di sungai. Sejak pagi itu dia sudah giat melemparkan jalanya namun tidak satupun ikan yang terjaring. Hingga hari menjelang sore, tak satupun ikan didapat, dan diapun berniat untuk pulang saja kerumah dan menangguk ikan yang ada di kolam dibelakang gubuknya untuk lauk makan malamnya. Dia niatkan untuk terakhir kali sore itu melemparkan jaring jalanya di sekitar pojok sungai, lalu di mulai menariknya. Pada saat menarik tali jalanya, dia merasa sangat berat tidak seperti biasanya. Kemudian mengikatkan tali ke sebatang kayu kecil di tepi sungai agar tidak terhanyut. Dia mencoba untuk melihat apakah jaringnya ada yang tersangkut. Ternyata jaringnya tidak tersangkut tetapi ada yang menggelepar di dalam jaringnya. Dia yakin ada sesuatu yang tertangkap oleh jaringnya sehingga berat untuk di tarik. Dengan sekuat tenaga dia menarik jaringnya dan kenyataannya dia mendapat seekor ikan sangat besar yang berwarna keemasan dan sangatlah cantik dilihatnya.

Dengan bersusah payah Tabo membawa dengan memundak ikan itu tetap didalam jaringnya. Sesampai di gubuknya, dia menaruhnya di kolam yang ada dibelakang gubuknya. Ikan itupun menggeliat-geliatkan ekornya keluar dari jaring itu, dan kemudian dari kejauhan sudut kolam berbalik memandang si Tabo dan sesekali mengerdipkan matanya. Semakin dipandang si Tabo, maka ikan itu semakin cantik dilihatnya sehingga dia tidak lagi berniat untuk memakan ikan tersebut untuk lauknya melainkan diniatkannya hanya untuk dipeliharanya saja. Lagipula ikan itu cukup besar untuk dimakan oleh satu orang, bahkan untuk tiga haripun mungkin tidak akan habis.

Demikianlah Tabo akhirnya hanya menangguk ikan kecil yang ada di kolamnya untuk dijadikannya lauk makan malamnya. Sewaktu dia menangguk, di dapatnya 3 ekor jurung-jurung, lalu dipersiapkannya untuk dijadikan lauk. Tabo menyiangi 3 ekor ikan itu dengan membuang isi perut dan insang, lalu membuang sisiknya, selanjutnya di sayat-sayat daging ikan dan dilaburinya dengan asam jeruk diambil dari pekarangan gubuknya. Tabo menyalakan api dari ranting-ranting kayu bakar dan dibiarkannya sampai ranting kayu itu menjadi bara arang. Sembari dia menunggu kayu menjadi bara, maka dia mempersiapkan bumbu-bumbu yang semuanya terdapat di sekitar gubuknya. Cabe rawit, cabe merah, andaliman, daun lalapan dan daun pisang diambilnya. Daun pisang ditumpukkannya diatas bara, lalu diletakkannya 3 ekor ikan yang sudah terbalur perasan air asam jeruk tadi. Ikan yang di bakar mengeluarkan aroma yang mewangi, lalu dibalik-balikkannya agar matangnya merata, sambil menggiling bumbu-bumbu yang sudah dipersiapkannya tadi.

Dia melihat bahwa ikan bakarnya sudah matang berminyak dan mengeluarkan aroma selera, lalu diangkatnya seekor untuk dimakannya sore atau malam itu, sementara yang dua ekor lagi dipersiapkannya untuk sarapan pagi sebelum pergi ke ladang dan seekor lainnya untuk makan siang di ladang. Tabo mulai mencuci tangannya untuk mulai mengepal nasi panas dengan jari-jarinya, lalu dimasukkannya kedalam mulutnya sambil agak seperti bersiul karena nasi tersebut masih terasa panas dimulutnya. Depetiknya ikan bakar tersebut, pertama diambilnya dari bagian tengkuk kepala ikan, lalu dicoelnya kebumbu cabe dan disantapnya. Dia merasa memang hidup ini indah dan nikmatnya terasa sewaktu makan sore tersebut. Dengan lahap Tabo menghabiskan hambir seperiuk nasi karena nikmatnya. Selesai makan dia menjerangkan air untuk membuat sejenis teh hangat menjelang tidur.

Tidak seperti biasanya dikehidupan moderen sekarang ini, bahwa terlebih dahulu mandi sore baru memulai untuk makan sore atau makan malam. Tabo justru melakukan sebaliknya oleh karena dia sudah keburu lapar bekerja fisik di ladang atau menjala ikan, maka makan sore terlebih dulu dilakukan baru dia pergi mandi sebelum tidur. Tabo bersiap untuk pergi mandi ke pancuran yang ada dekat gubuknya, tetapi sebelum berangkat disempatkannya pergi kebelakang gubuknya untuk melihat ikan besar tangkapannya tadi. Tabo melihat ikan itu meliuk-liuk menggerakkan ekornya dan mendekat merapat ke arak Tabo. “Cantik kalilah ikan ini bah..” demikian kata Tabo dalam hatinya. Disambarnya air kolam dengan tangannya sambil memercik-mercikkannya kearah ikan. Sesaat Tabo akan pergi mandi, sekilas ikan itu mengerdipkan matanya, sehingga Tabo pun menolehkan pandangannya untuk berbalik melihat ikan itu. Dalam pikirnya “Mentel kali ikan ini kulihat…” katanya dalam hati lalu pergi untuk mandi.

Sesampai di gubuk setelah mandi, Tabo mengambil jerangan airpanas yang sudah mendidih, lalu menuangnya ke sebuah wadah yang terbuat dari bambu menjadi seperti wadah untuk minum. Tabo mengambil sejenis daun yang sudah dikeringkannya dan diseduhnya kedalam airpanas tersebut. Itulah minumannya sore menjelang malam itu dimana zat-zat yang terlarut dari daun itu membawanya menikmati indahnya hidup di dunia ini sambil menyulutkan sebatang rokok yang terbuat dari daun ari-jagung bagian dalam yang sudah dikeringkan.

Demikianlah kehidupan sehari-hari Tabo yang mampu menikmati kehidupannya di dunia yang sudah dikaruniakan kepadanya. Malam itu Tabo merasa nyenyak tidurnya disertai mimpi indah seorang pemuda yang bertemu dengan seorang putri kayangan yang cantik jelita. Paginya, Tabo terbangun dari tidurnya disambut oleh kicauan burung yang bertenggek di ranting-ranting pohon. Matahari menyembul dari arah timur menyinari pepohonan yang masih diselimuti embun pagi. Terlihat kepulan seperti asap yang keluar dari pepohonan menandakan dimulainya proses fotosintesis, menguapkan butiran embun oleh sinar matahari pagi. Demikianlah siklus kehidupan di alam ini hari demi hari, sama hal nya seperti kehidupan Tabo.

Pagi itu sebagaimana biasanya, Tabo menjerangkan airpanas untuk minumannya dan sarapannya sambil juga memasak nasi untuk makanannya pagi itu dan siangnya sewaktu bekerja di ladang atau selagi menjala. Karena udara yang cukup dingin maka pekerjaan di dapur menjadi disenanginya karena dia bisa sambil mansisulu (menghangatkan badan di perapian). Air sudah mendidih, nasi sudah matang, tunggu apa lagi… Tabo pertama menyeduh teh racikannya, lalu mulai mengambil nasi dan ikan bakar yang sejak kemarin malam sudah dipersiapkannya. Sebentar saja sudah habis dilahapnya untuk ukuran 2 piring. Sambil mempersiapkan peralatan kerjanya, dia meneguk teh racikannya dan rokok gulungnya. Seperti biasanya, diapun berangkat bekerja ke ladangnya dengan kesegaran tubuh penuh energi.

Sorenya dia sudah pulang dari ladangnya langsung pergi ke belakang gubuknya untuk menyimpan peralatan kerjanya. Sekilas dilihatnya ikan kesayangannya secara genit menghampirinya. Diamatinya sebentar sebelum dia membersihkan diri untuk segera akan menyiapkan makanan untuk sore dan esok harinya sebagaimana biasa. Tabo memasuki gubuknya untuk mempersiapkan memasak seperti biasanya, namun dia terperanjat karena ada didapatinya makanan yang sudah tersedia. Tabo merasa heran, lalu dia keluar ke sekeliling gubuknya sambil mencari-cari apakah ada seseorang saudaranya yang datang sehingga ada tersedia makanan. Tabo tidak melihat seorangpun ada disekitar gubuknya. Setaunya, tidak ada penduduk dekat sekitar situ. Tabo berkata sendiri dalam hati, “Bagaimana mungkin ada makanan tersedia disini?”. “Apa aku sendiri yang memasaknya tadi pagi?”. Cukup lama dia memikirkan keanehan itu, “mungkin aku lupa dan pasti aku yang memasaknya tadi pagi”, demikian kesimpulan yang dibuat Tabo untuk membenarkan kejadian itu. Karena Tabo sudah lapar setelah letih berladang, maka diapun menyantap makanan itu.

Untuk kedua kalinya, kejadian kemarin terulang kembali dan makanan memang ada terhidang di dapur gubuknya sekembalinya dari ladangnya. Kali ini dia yakinkan dirinya bahwa yang membuat itu sudah pastilah seseorang. “Aku tak mungkin sedang bermimpi ! karena sudah jelas tadi pagi aku tak ada buat apa-apa untuk persiapan makan” pikirnya dalam hati. “Pasti sudah ada penghuni baru di sekitar sini, karena ingin memberitahukan kehadirannya maka dia menghadiahkan makanan sebagai tanda bersahabat!” pikirnya lagi. “Tak mungkin setan bisa masak, so pasti manusia” demikian dalam hati Tabo berkecamuk sejumlah pertanyaan. “Malam ini aku harus berkeliling untuk melihat sekitar sini. Pastilah akan ada nyala api disuatu tempat yang dapat terlihat pada malam hari !” demikian Tabo memutuskan untuk berkeliling sambil membawa sejenis obor yang terbuat dari biji-bijian yang mengandung minyak, seperti biji jarak (dulang) yang ditusuk pada lidi bambu seperti sate. “Kalau aku nanti diketahui orang pendatang membawa obor ini tentulah dia akan menyapaku” pikirnya sambil berjalan dan mengarahkan pandangannya ke berbagai arah. Setelah letih berkeliling-keliling maka Tabo memutuskan untuk pulang ke gubuknya dan ternyata tidak ada siapa-siapa. Sambil merebahkan tubuhnya di dipan yang terbuat dari tikar bambu untuk berusaha tidur malam itu. Pikirannya menerawang dengan seribu tanya dikepalanya dan diapun tak dapat tidur malam itu.

Oleh karena kurang tidur malamnya maka Tabo memutuskan untuk tidak pergi ke ladang karena badanya masih terasa letih. Dia memutuskan untuk pergi memancing saja. Sebelum berangkat memancing, tak lupa dia pergi ke belakang gubuknya untuk melihat ikan kesayangannya yang ada di kolam belakang. Memang sudah dua hari dia tidak melihat ikan itu, dan ternyata ikan itu masih ada dan meluncur berenang di permukaan air menuju kearahnya. Ikan itu semakin cantik saja dilihatnya. Tabo kemudian menyapa ikan itu; “Hei ikan ! sudah rindu aku tak melihatmu dua hari ini, apa kabarmu?” demikian kata Tabo sambil mengusap-usap badan ikan dengan tangannya dari pinggir kolam. Kemudian dia berkata lagi kepada ikan itu; “Jaga dirimu baik-baik ya ! makan aja apa yang ada di kolam ini supaya sehat kau”, lalu, “Aku mau pergi memancing dulu ke sungai sana, nanti kubawakan makananmu yang enak dari hasil pancinganku.” Demikian kata Tabo, maksudnya adalah ikan-ikan kecil sebagai makanan ikan kesayangannya itu. Lalu Tabo pun berlalu dan pergi ke arah sungai sambil membawa kail untuk memancing.

Dalam perjalanannya kearah sungai, dia teringat lagi akan keanehan terhidangnya makanan dalam dua hari belakangan ini. Lalu Tabo berniat untuk mengintai kira-kira siapa yang menyediakan makanan tersebut. Tabo mulai mengambil posisi yang tersembunyi di tepi sungai itu, tetapi pandangannya dapat mengintai gubuknya dari kejauhan. Sambil memancing, diapun menolehkan pandangannya sesekali kearah gubuknya, siapatahu ada asap mengepul tandanya ada orang yang memasak di gubuknya. Setelah sekian kali menoleh ke gubuknya, ternyata memang benar bahwa gubuknya sedang mengepulkan asap tandanya ada seseorang yang sedang memasak. Toba pun tak luput dari keingin tauannya untuk mengetahui siapa gerangan yang ada di gubuknya. Dengan mengendap-endap, Tabo menuju gubuknya sambil berusaha untuk tidak mengeluarkan suara langkah yang berisik dari gesekan semak-semak ke badannya. Ahirnya dia sampai juga ke gubuknya dengan aman tanpa ketahuan. Jantungnya berdebar saat akan mengintip siapa gerangan yang ada di dapur. Dari selah-selah dinding tepas di dapur gubuknya terlihatnya seorang putri cantik sedang memasak sesuatu di dapurnya. Jantungnya semakin berdetak keras karena dia tidak habis pikir bahwa ada seorang putri cantik di tengah hutan belantara seperti ini.

Dengan memberanikan diri, Tabo tiba-tiba masuk dari pintu dapurnya dan memergoki putri cantik itu. “Ternyata kau yang memasak makanan yang terhidang selama dua hari ini ya” lalu katanya, “Darimana seorang putri cantik ada di hutan ini? Apa kau bukan setan?” kata Tabo bertanya. Sambil tersipu malu sang putri menjawab, “ya Tuanku, memang aku yang memasak makanan terhidang untuk tuanku, aku adalah jelmaan ikan yang tuanku jaring waktu itu” katanya sambil menundukkan kepala. Lalu Tabo berkata lagi, “Ah mana mungkin ikan berubah menjadi putri cantik seperti kau? Siapa yang menyuruh kau ke sini?” Tanya Tabo sambil berbalik bergerak ke arah kolam yang memang persis berada dekat pintu dapurnya dan memang tidak terlihat lagi ikan kesayangannya itu. Lalu Tabo berbalik lagi ke arah putri cantik itu dan disambut oleh putri cantik itu dan berkata; “Memang benar tuanku, aku diutus oleh Mulajadi (Tuhan pencipta alam semesta) untuk mendampingi hidup bersama sebagai istri tuanku.” Karena putri cantik itu menyebut nama Tuhan pencipta alam semesta maka percayalah dia karena tidak sembarangan dapat menyebutkan nama Tuhan kalau untuk dusta.
Singkat cerita, Tabo dan Putri Ikan itu menjadi pasangan yang berbahagia sebagai suami-istri. Waktu berjalan sampai suatu saat Putri Ikan mengandung bayi. Tabo merasa bahagia karena dia akan mendapat keturunan. Tabo berharap bahwa dia akan mendapat anak laki-laki terlebih dahulu agar pasti generasinya bersambung karena titah dari Tuhannya bahwa anak laki-laki adalah sebagai pengganti generasinya. Kemudian Putri Ikan berkata; “Kalau anak kita lahir nanti, jangan sekali-kali kau mengatakan bahwa ibunya adalah jelmaan dari seekor ikan, ini adalah sumpah kita berdua”. Tabo setuju dengan sumpah itu, lalu mereka berdoa untuk mengikat sumpahnya atas nama tuhannya Mulajadi. Mereka membentangkan selembar ulos dan diatasnya diletakkan 3 lembar daun sirih, 1 butir telur, 1 butir jeruk purut jantan, dan air bersih yang ditaruh di cawan yang terbuat dari kulit buah labu. Lalu mereka membentangkan tangannya ke atas dan berdoa; “Mulajadi Nabolon, kami bersumpah untuk sehidup semati menjadi keluarga yang menurunkan generasi, bersumpah untuk tidak menceritakan tentang asal muasal kami masing-masing kepada keturunan kami, dan kalau kami melanggarnya maka engkau junjungan kami dapat menghukum kami sesuai dengan kemauanmu yang akan terjadi, Manjadilah (amin).” Demikianlah mereka bersumpah dalam doa mereka. Lalu mereka memasukkan 3 lembar daun sirih itu ke dalam air yang ada di cawan itu dan memotong dua jeruk purut dan menaruhnya di dalam air di cawan itu. Mereka memercikkan air dari dalam cawan itu dengan daun sirih ke sekeliling gubuknya. Setelah selesai memercik air itu, lalu diperasnya ke dua belah jeruk purut mencampurkannya dengan sisa air yang masih ada di cawan itu dan mereka minumnya bersama, lalu sisanya untuk mencuci muka dan membasahi rambut mereka.

Bulannya datang, harinya tiba, maka terlahirlah seorang bayi laki-laki yang terlihat sehat dan kuat. Tabo dan istrinya menjadi berbahagia mendapatkan anak karunia dari Mulajadi. Mereka membesarkan anak itu dengan bahagia. Lima tahun berlalu, sang anak tumbuh sehat sebagai buah hati yang menyenangkan kedua orang tuanya. Anak itupun rajin membantu ke dua orang tuanya semampu yang dapat dia lakukan. Hari itu Tabo sedang bekerja diladangnya, biasanya istri dan anaknya datang membawa makanan untuk mereka makan bersama di ladang, tetapi hari itu Putri Ikan tidak dapat menghantarkan makanan siang itu dan dia menyuruh anaknya yang menghantarkan. Sang anak yang sedang aktif-aktifnya itu dengan senang hati mau disuruh sedirian oleh ibunya. Sang anak membawa bekal makanan itu menyusuri jalan setapak menuju ladangnya. Sebelum tiba di lading itu, sang anak harus pula menyusuri tepian sungai dimana mereka sering memancing dan menjala ikan bersama ayahnya Tabo. Sewaktu melintasi tepian sungai, anak itu melihat ikan-ikan banyak berlompatan yang menarik perhatian si anak. Anak itupun menghentikan langkahnya lalu asyik mengamati ikan-ikan yang sedang melumpat-lumpat. Dia terlupa dengan tugasnya untuk menghantarkan makanan untuk ayahnya, malah dengan tertawa riang menaburkan makanan yang dibawanya kepada ikan-ikan yang disungai itu. Makanan itupun habis diberikannya kepada ikan-ikan yang ada disungai itu, lalu diapun melanjutkan perjalanannya menuju ladang dimana ayahnya sedang menantinya. Siang itu Tabo sudah istirahat dari kerjanya di ladang dan sedang duduk santai mengisap rokok yang terbuat dari kumis jagung dan daun jagung muda yang sudah dikeringkan. Tabo memang merasa ada yang aneh, bahwa biasanya istrinya dan anaknya sudah seharusnya tiba membawa makanan untuk mereka makan bersama, tetapi siang itu dia cukup jenuh menanti kedatangan mereka. Sesaat kemudian dia melihat anaknya sendirian menghampirinya sambil membawa tentengan yang dia ketahui adalah makanan untuk makan siang mereka.

Sesampai anaknya dipondokan dimana mereka sering beristirahat siang, Tabo menanya anaknya; “Dimana ibumu? Kok sendirian kau?”. “Ibu sedang ada keperluan penting dan aku yang disuruhnya ke sini sendirian” katanya dengan lugu. Tabo tak sabar membuka bungkusan yang dibawa oleh anaknya, karena dia memang sudah lapar sehabis bekerja setengah hari itu. Tak disangkanya bungkusan itu ternyata kosong, dan hanya bekas-bekasnya saja yang ada. Lalu Tabo dengan marah berkata; “Kemana kau bikin makanan ini? Apa kau makan semuanya?” “Tak ada kumakan, pa” katanya lugu. “Jadi kemana semua, kok bisa habis?” katanya lagi dengan penuh selidik apakah memang sudah dimakan anaknya semuanya, tetapi dia melihat anaknya tidak ada tanda-tanda sudah memakan makanan itu. Dengan rasa takut anaknya menjawab; “Tadi aku kasi kepada ikan-ikan yang ada di sungai tempat kita sering memancing, karena ikan-ikan itu berlompat-lompan meminta makan, jadi aku kasi semuanya” demikian kata anaknya dengan lugu. Karena memang sudah sangat lapar, diapun dengan marah menampar pipi anaknya sambil berkata; “Dasar anak ikan, tak tau diri kau, makanan bapakmu kau kasih sama ikan.” Anak itupun menangis karena terasa sakit di tampar pada pipinya. Tabo kemudian mengusir anaknya pulang sambil berkata lagi “Pergi sana ke mamamu, memang betullah kau anak ikan” bentaknya. Anak itupun sambil menangis pulang kembali ke gubuknya .

Sesampai di gubuknya, anak itupun disambut ibunya dengan tanya; “Kok nangis kau, ada apa?”. “Aku ditampar papa karena semua makannya aku kasi kepada ikan-ikan di tempat pemancingan sana” katanya. “Sudahlah, diamlah, biarkan aku bawa lagi makanan kepada bapakmu” demikian kata ibunya sambil bersiap-siap untuk mengambil lagi makanan untuk dihantarkannya kepada suaminya. Tetapi anaknya semakin menangis saja dengan sedih, walau dibujuk oleh ibunya, dia tetap saja bertambah menangis. Akhirnya dia mengatakan “Aku dikatakan anak ikan, karena makanannya aku kasi sama ikan” anaknya terisak sambil mengusap matanya. Putri Ikan tersentak dan segera berlari membawa anaknya menuju ladang menjumpai suaminya Tabo. Setelah tiba, Putri Ikan menanyakan langsung kepada suaminya Tabo; “Apa benar kau mengatakan anak kita ini anak ikan?” Saat itu, Tabo teringat akan sumpahnya dan mereka menyadari bahwa akan segera terjadi sesuatu karena memang sudah disumpahkan. Tangisan anaknya membawa suasana mereka berdua menjadi menangis juga. Mereka sangat yakin bahwa sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi pada mereka.

Sesaat kemudian petir menyambar silih berganti, awan tiba-tiba berkumpul tebal diatas mereka, dan hujan turun dengan sangat lebat, bahkan air dari tanah keluar mengebul sehingga kawasan itu sudah mulai dibanjiri oleh air. Tabo memeluk anaknya sambil memandangi istrinya Putri Ikan yang juga sedang menangis. Mereka sudah saling tau bahwa air yang semakin membanjiri kawasan itu menjadi cara bagi Mulajadi untuk memisah mereka karena termakan sumpah. “Tabo, pergilah ke bukit sana dan jangan lagi berada di lembah ini karena kutukan telah terjadi pada kita” demikian kata Putri Ika sambil menangis.” “Jagalah anak kita, biarlah dia sebagai pertanda bagi manusia bahwa dia berasal dari mahluk air, aku akan segera dipanggil oleh Tuhan untuk hidup di alam yang diciptakannya bagiku” demikian kata Putri Ikan menyampaikan kata-kata perpisahannya. Air semakin naik, Tabo mulai berlari kearah bukit menjauhi daerah banjir itu, sementara istrinya Putri Ikan ingin juga berlari mengikuti suaminya namun kakinya seperti terpaku di tempat karena sudah mulai berubah wujudnya. Kakinya yang sudah terendam air berubah menjadi sirip ekor, dan semakin keatas berubah menjadi sisik. Tabo dan anak yang digendongnya sudah berlari menjauhi daerah banjir. Dari kejauhan terlihat perubahan wujud istrinya perlahan-lahan menjadi ikan sepenuhnya sampai suatu saat tak terlihat lagi. Air yang banjir itu sudah mengitari bukit dimana Tabo dan anaknya berada. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah air yang mengelilingi pulau, itulah yang disebut Danau Toba dan Pulau Samosir ada di tengahnya.

Catatan:
Berdasarkan kajian ilmu pengetahuan bahwa Danau Toba terbentuk sekitar 30.000 tahun yang lalu. Danau Toba terbentuk dari sebuah kawah Gunung Toba yang meletus sekitar 75.000 tahun lalu, dimana letusannya mengakibatkan terjadinya musin dingin dan jaman es. Debu letusannya menyebar sampai ke Timur Tengah, dimana sampai saai ini debu vulkanis tersebut terdapat disemenanjung Malaysia dengan ketebalan 9m dan sampai di India dengan ketebalan 3m. Letusan ini juga menimbulkan tertutupnya sinar matahari sehingga terjadi gelap dan dingin selama 6 tahun, dan memicu musim es selama 1000 tahun. Banyak mahluk yang punah, tetapi manusia Batak dapat survive dan inilah awalnya manusia menyebar dari Tanah Batak. Jadi, setelah terjadinya letusan Gunung Toba maka 45.000 tahun kemudian kawasan itu perlahan-lahan dialiri oleh air dari gunung-gunung tang sudah ditumbuhi oleh pepohonan yang menghutan sehingga akhirnya terjadi Danau Toba.