Kamis, 26 November 2009

Siboru Pareme, Sang Ibu Ilontungan


Kisah hubungan incest antara kakak-beradik

Pada masa itu Mulajadi Nabolon menuntut Guru Tatea Bulan untuk memberikan persembahan karena ada terjadi kesalahan besar di keluarga Guru Tatea Bulan. Ada terjadi skandal percintaan antara kakak beradik kembar yaitu Sariburaja memadu cinta dengan kembaran abangnya bernama Siboru Pareme. Skandal ini semakin jauh dan mereka melakukan incest antara kakak beradik sehingga Siboru Pareme hamil. Oleh karena itu, untuk menebus kesalahan itu maka Guru Tatea Bulan harus melakukan persembahan tertinggi yaitu Kurban Manusia.

Peristiwa percintaan ini masih belum diketahui oleh saudara-saudara lainnya akan tetapi Guru Tatea Bulan secara gaib sudah didatangi oleh Mulajadi Nabolon bahwa anaknya yang bernama Sariburaja dan Siboru Pareme sudah berbuat kesalahan melanggar hukum yang dititahkan, maka Guru Tatea Bulan harus menyediakan kuban manusia sebagai tebusannya. Rencana pemberian kurban oleh Guru Tatea Bulan sempat didengar oleh Gumellenggelleng, maka dia memohon kepada ibunya agar dia diungsikan saja supaya ketika Mulajadi Nabolon datang maka dia tidak terlihat olehnya untuk diminta sebagai kurban. Gumellenggelleng beranggapan bahwa dia adalah sebagai orang yang tidak sempurnah fisik dan pastilah dia yang akan ditawarkan oleh ayahnya sebagai kurban kepada Mulajadi Nabolon, sementara saudara-saudaranya yang sedang berkumpul berkeliling untuk menyaksikan acara kurban persembahan itu adalah orang-orang yang sempurnah fisik. Permintaannya dikabulkan oleh ibunya dan mengungsikannya ke Pusuk Buhit, sementara Guru Tatea bulan sudah mengetahui bahwa Sariburajalah yang akan diminta oleh Mulajadi Nabolon sebagai kurban persembahan.

Mulajadi Nabolon datang berkunjung untuk meminta kurban yang dijanjikan, maka Sariburaja disembelih oleh Guru Tatea Bulan dan dipotong-potong bagian tubuhnya untuk dijadikan kurban yang akan dimasak di dalam sebuah wadah. Sewaktu potongan tubuh Sariburaja dimasukkan kedalam wadah untuk memasaknya maka Mulajadi Nabolon mengetahui kepasrahan dan kesetiaan kedua orangtua ini kepada Pencipta Alam Semesta Mulajadi Nabolon, dan Mulajadi Nabolon dengan kuasanya memanggil Sariburaja kembali keluar dari wadah tempat dia dimasak sebagai kurban, dia kembali menjadi manusia utuh sebagaimana sebelumnya. Sariburaja melumpat keluar dan duduk diantara saudara-saudaranya seolah-olah sebagai posisi raja.

Peristiwanya berawal bahwa Sariburaja dan kembarannya Siboru Pareme telah melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu mereka sedang bercinta terlarang antara kakak beradik kembaran. Sebagaimana biasanya mereka berdua memang selalu pergi bersama perladangan untuk mencari makanan yang pada masa itu belum lagi di olah melainkan mencari jenis makanan apasaja yang tumbuh liar di hutan atau termasuk berburu. Sariburaja dan Siboru Pareme lebih senang mencari umbi-umbian daripada berburu karena berburu adalah pekerjaan yang membosankan bagi mereka yang harus bersembunyi takbergerak untuk mengintip mangsa.

Demikianlah Sariburaja dan Siboru Pareme disuatu hari sudah merasa lelah disiang hari yang terik mencari umbi-umbian, lalu mereka berteduh di bawah rindang rumpun bambu untuk beristirahat. Karena sudah demikian penatnya maka mereka tertidur pulas. Selang berapa lama tertidur, Saribu raja terbangun duluan dan dilihatnya adik kembarnya masih tertidur pulas, lalu dia membenarkan posisi kepala adiknya agar nantinya sewaktu bangun tidak merasa sakit lehernya karena posisi tidur yang salah itu. Sewaktu Sariburaja membenarkan posisi tidur adik kembarnya itu, Siboru Pareme bahkan tidak terusik mungkin memang sudah sangat lelah sehingga pulas tidurnya masih terlelap tak merasakan apa-apa. Beberapa lama kemudian Sariburaja berusaha membangunkan adik kembarannya itu namun juga tak terusik. Dia menggoyang-goyang tubuh adiknya yang setengah telanjang itu dengan memegang bagian-bagian tubuh lainnya juga tak tergubris oleh Siboru Parema.

Pada masa itu pakaian masih terbuat dari serat kayu atau anyaman dari daun-daunan dan wanita masih bertelanjang dada. Sesaat Sariburaja menggoyang-goyang tubuh adiknya untuk bermaksud membangunkannya maka seketika dia merasakan ada suatu kenikmatan memandangi tubuh pangkal paha adiknya yang tersingkap. Adik kembarnya Siboru Pareme akhirnya terbangun dan memang melihat ikatan roknya sudah terlepas sehingga dia telanjang bulat, sekilas dia memandang abang kembarannya yang memandangnya dengan birahi membiarkannya saja demikian karena diapun ada merasakan kenikmatan sewaktu tersentuh oleh abang kembarannya tadi.

Masa berumur muda yang sama-sama matang birahi membawa mereka kepada kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Naluri kelaki-lakian dan wanita yang dalam pengruh hormon kesuburannya membuat mereka kehilangan pegangan pantangan hidup antara abang beradik. Suasana sunyi sepi dibawah naungan rindangnya dedaunan rumpun bambu dan hembusan angin yang menyegarkan tubuh yang bertelanjang membuat birahi mereka memuncak mendidihkan darah mudanya. Merekapun melakukan hal terlarang dalam guncangan-guncangan tubuh berirama. Perjalanan kenikmatan bagai menapaki gunung yang tinggi menggelorakan hasrat. Alunan suara-suara gemercik diiringi gesekan-gesekan antara dedaunan yang diterpa angin membawa mereka hampir mencapai puncaknya dan tiba-tiba keluar suara rintihan yang diiringi muntahan lahar panas mengalir di dalam rahim Siboru Pareme. Alunan suara-suara dan gerakan secara perlahan menurun dan akhirnya berhenti. Mereka berdua terkulai kelelahan dibalik kenikmatannya yang tiada tara. Proses peristirahatan mereka mulai berlanjut lagi dan merekapun tertidur lagi dalam kelelahannya.

Menjelang sore mereka terbangun dari tidurnya lalu mereka saling berpandangan dengan penuh arti dan mengalirkan perulangan peristiwa yang mereka alami berdua di dalam pikirannya masing-masing. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk segera pulang sebelum hari menjadi gelap. Sesampainya di rumah mereka tetap berlakon sebagaimana biasanya, tiada yang berprasangka diantara saudara-saudaranya termasuk kedua orangtuanya. Mereka membawa kehidupan mereka yang baru di dalam suatu kerahasiaan.

Peristiwa-peristiwa kenikmatan berulang dan berulang, Sariburaja dan Siboru Pareme semakin akrab dalam penampilan mereka baik sewaktu berada dikampungnya apalagi bila sedang berada di perladangannya. Keakraban mereka yang sudah seperti dua mahluk yang sedang berkasihkasihan memadu cinta masih juga belum menjadi perhatian khusus yang mencurigakan bagi saudara-saudaranya termasuh kedua orangtuanya hingga suatu saat bahwa ada terlihat keanehan yang terlihat oleh adik-adiknya. Keanehan ini sempat dibicarakan oleh adik-adik laki-laki Saribu raja, termasuk kakak-adik perempuan lainnya, sementara Raja Biakbiak tidak mengetahui peristiwa ini karena dia masih dalam pertapaannya di Pusuk Buhit dan belum pernah turun setelah peristiwa tempohari dimana sempat Sariburaja akan dipersembahkan kepada Mulajadi Nabolon.

Tubuh Siboru Pareme sudah mengalami perubahan dan semua sudah tau bahwa telah terjadi sesuatu pelanggaran hukum dan tentusaja harus menerima hukuman yang berlaku. Orangtua mereka mengetahui juga peristiwa ini dan merasa sangat takut bahwa tanggungjawabnya kepada Mulajadi Nabolon haruslah dipertanggungjawabkannya, yang kemungkinannya akan melaksanakan kurban lagi dan tentusaja Sariburaja adalah kurban yang akan menjadi kenyataan kali ini. Peristiwa aib yang harus dipertanggung jawabkan ini memberatkan hatinya karena walaupun Sariburaja dan Siboru Pareme telah melakukan perbuatan yang harus menerima ganjawannya, tetapi sebagai ayah dan ibu yang melahirkan dan memeliharanya bertumbuh tetaplah menjadi beban yang sangat berat bagi keduanya Guru Tatea Bulan dan Sibaso Bolon istrinya. Sejak terungkapnya peristiwa itu mereka berdua menjadi sakit-sakitan.

Saudara-saudara Sariburaja terutama yang laki-laki melakukan perembukan tentang kesalahan yang dibuat oleh abangnya Sariburaja. Mereka menyimpulkan semacam kesepakatan untuk menjatuhkan hukuman yang setimpak kepada abangnya itu. Mereka sudah mengancang-ancang hukuman yang akan diberikan semisal menjatuhkannya kedalam jurang, atau mengubur hidup-hidup, atau menyembelih, yang jelas haruslah dibunuh sebagai hukuman mati. Lalu ke-3 orang adiknya yaitu Limbongmulana, Sagalaraja, Silauraja. Lalu diantara mereka membuat sumpah janji (padan) bahwa tak boleh seorangpun yang tau akan rencana mereka ini. Sebelum melaksanakan hukuman kepada abangnya, mereka harus tau pasti apakah benar tuduhan yang mereka alamatkan kepada Sariburaja, ataukah ada oranglain yang menaruh hati kepada Siboru Pareme sehingga mereka menjalin cinta? Lalu mereka harus mencari tau lalu masing mengadakan pengintaian. Agak sulit memang melakukan pengintaian karena Sariburaja dan Siborupareme selalu berpindah tempat berladang mencari umbi-umbian. Tetapi suatu ketika salah seorang adiknya menyaksikan dalam pengintaiannya bahwa benar Sariburaja dan Siboru Parema melakukan perbuatan terlarang itu dan dilakukan dimana yang sering mereka lakukan yaitu dibawah rindangan rumpun bambu yang sudah dibentuk sedemikian rupa menyerupai gubuk yang lebih nyaman mereka tempati.

Kebenaran perbuatan tercela ini sudah menjadi sah harus menjalankan hukuman yang akan dilakukan oleh 3 orang adiknya dan tidak boleh lagi ditawar-tawar. Berita akan dilaksanakan hukuman mati kepada Sariburaja oleh adik-adiknya terdengar pula oleh kedua orangtuanya yang memang sudah dalam keadaan sakit. Mendengar kejadian ini maka kedua orangtuanya semakin tambah sakit karena tidak dapat berbuat apa-apa. Walaupun dia mencintau semua anak-anaknya namun hukuman terhadap orang yang berbuat kesalahan memang harus dilaksanakan dan selain itu pula bahwa merekapun harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu kepada Mulajadi Nabolon. Tak lama kemudian kedua orangtua ini tidak sangguplagi memikirkan peristiwa kemelut yang menimpa keluarganya, maka Guru Tatea Bulan dan Sibaso Bolon menemui ajalnya. Kematian kedua orangtua mereka semakin beralasan untuk segera membunuh Sariburaja sebagai hukuman oleh ke-3 adik-adiknya.

Sementara salah satu diantara tiga adik Sariburaja yaitu Silauraja yang paling laki-laki diantara mereka berpikir keras tentang pelaksanaan hukuman yang akan segera mereka lakukan dengan dua orang abangnya Limbongmulana dan Sagalaraja. Akal sehatnya bertanya pada dirinya sendiri, “Kalau kami melakukan pembunuhan tentu ini sesuatu perbuatan yang mendapat hukuman pula!” serunya dalam hatinya. Pikiran ini terus berkecamuk didalam dirinya bahwa membunuh sesama manusia juga sebagai kesalahan yang akan mendapat ganjaran juga dikemudian hari. Lalu dia berniat untuk memberitahukan kepada abangnya Sariburaja tentang rencana hukuman mati yang akan dilaksankan oleh adik-adiknya, akan tetapi dia terhambat kepada sumpahjanji yang dia lakukan bersama bahwa “padan’ tidak boleh juga dilanggar. Lalu Silauraja memutuskan untuk memberitahukan rencana penghukuman dengan melakukan semedi bertelepati. Dia membawa seperangkat peralatan ritual sebagai media lalu dibawanya mendekat kearah gubuk dimana Sariburaja dan Siboru Pareme sering berada. Setelah mendekat walaupun tidak dalam jarak pendengaran lalu dia memusatkan pikirannya dengan duduk bersila melakukan mantra-mantra dan setelah mantra-mantar selesai diucapkan dia lalu menghentakkan kakinya ke tanah tempat berpijak. Kenyataannya tanah itu bergetar dan getarannya sampai kepada pendengaran Sariburaja bahwa ada bahaya yang mengintai mereka. Secara insting bahwa saudara-saudaranya dirasakan sudah akan melakukan hukuman kepada mereka berdua.

Merasakan adanya ancaman maka Sariburaja segera mencari Siboru Pareme dan memberitahukan kepadanya kalau dia nanti pulang dan mendapat hukuman dari saudara-saudaranya dibuang kehutan agar dia membawa serbuk debu bakaran dan menaburkannya sepanjang jalan agar Sariburaja dapat menjumpainya kemudian. Sariburaja sangat jelas mengetahui bahwa adik kembarnya Siboru Pareme yang sedang hamil tidak mungkin mendapat hukuman bunuh karena dia mengandung bayi yang belum berdosa. Hukuman berat yang akan diterimanya adalah dibuang ketempat yang jauh agar aib keluarga tidak terjadi di kampungnya itu. Sewaktu Siboru Pareme pulang kerumahnya memang benar adanya bahwa saudara-saudaranya sudah berkumpul untuk melaksanakan hukuman kepadanya, sementara Sariburaja sudah tidak berani pulang setelah pesan gaib yang disampaikan oleh Silauraja diterimanya melalui getaran tanah.

Saudara-saudara Siboru Pareme jadi melaksanakan hukuman kepadanya dan membawanya ke dalam hutan lebat yang dianganggap sangat sulit ditemukan. Setelah yakin bahwa tempat ditengah hutan lebat itu cocok diberikan sebagai hukuman bagi Siboru Pareme, lalu mereka bertiga Limbongmulana, Sagalaraja, Silauraja mengambil jalan lain untuk pulang agar jejak mereka tidak diketahui orang lain, sementara Siboru Pareme melaksanakan saran yang diberikan Sariburaja yaitu menabutkan serbuk bakaran sepanjang jalan sebagai tanda jalur yang dilewatinya sampai ke tempat dimana dia ditempatkan sebagai hukumannya.

Akhirnya Sariburaja dapat menemukan tempat hukuman yang dijatuhkan kepada Siboru Pareme dan mereka bertemu kembali sebagai pasangan suami istri yang sedang berkasih-kasihan. Sariburaja dengan segera membersihkan sekeliling hutan itu dan mendirikan gubuknya agar mereka berdua dapat tinggal dan jauh dari ancaman binatang buas dan ular yang tentunya banyak terdapat di hutan belantara itu.

Hari berganti hari, mereka mulai hidup sebagai keluarga dipengasingan dihutan belantara yang jauh dari keberadaan manusia. Kehamilan Siboru Pareme sudah sedemikian membesar sehingga Sariburaja sudah harus mempersiapkan makanan menyehatkan walaupun sulit didapat di tengah hutan belantara itu.

Disuatu ketika, seekor binatang buas terdengar sedang mengaum didekat gubuk dimana Siboru Pareme sedang berada. Sementara Sariburaja sudah berapalama tidak kembali ke gubuknya karena pergi mencari makanan persediaan dengan berburu binatang. Ketakutan Siboru Pareme kian menjadi-jadi karena auman binatang buas itu terdengar sudah semakin mendekat sementara dia hanyalah seorang perempuan hamil yang tak berdaya untuk membela dirinya apabila ada ancaman seperti ini dari seekor binatang buas.

Binatang buas yang mengaum itu ternyata seekor harimau yang tiba-tiba muncul didepan pintu gubuk yang ditinggali Siboru Pareme. Harimau itu menguakkan mulutnya lebar-lebar sehingga terlihatlah taringnya yang seolah siap untuk menyergap Siboru Pareme sebagai mangsanya. Ketakutan Siboru Pareme kian menjadi-jadi akan tetapi sang harimau tidak juga menyergapnya malah tetap duduk dihadapan Siboru Pareme sambil menguakkan mulutnya mengerang kesakitan.

Akhirnya diketahui oleh Siboru Pareme bahwa harimau itu sedang kesakitan karena tertusuk tulang mangsanya di tenggorokannya. Siboru Pareme memberanikan diri menjulurkan tangannya kedalam mulit harimau itu dengan maksud untuk mengambil tulang yang tertusuk di tenggorokan harimau itu. Tulang-tulang itu berhasil dikeluarkan oleh Siboru Pareme sambil merasa kawatir bahwa harimau itu juga akan memangsanya, namun terjadi keanehan malah sang harimau hanya mengelur-eluskan kepalanya ke tubuh Siboru Pareme yang sedang ketakutan itu seolah mengatakan ucapan terimakasihnya yang menyelamatkannya dari maut karena tertusuk tulang di tenggorokannya.

Keesokan harinya harimau itu datang kembali mendekati gubuk dimana Siboru Pareme tinggal sambil mengaum seolah memberitahukan bahwa dia ada datang kesitu. Siboru Pareme semakin takut dan dipikirannya bahwa harimau itu sudah pulih dari sakitnya tentu sekarang sudah siap memangsanya, Namun yang terjadi ternyata harimau itu membawa segumpal daging rusa segar hasil buruannya sambil meletakkannya didepan Siboru Pareme, lalu harimau itu mengelus-eluskan kepalanya ke tubuh Siboru Pareme sambil mendengus dan kemudian pergi masuk kembali ke dalam hutan belantara. Saat itu sadarlah Siboru Pareme bahwa harimau itu telah menjadi kawannya yang memberikan hadiah daging segar sebagai ucapan terimakasih dari penyelamatannya. Demikianlah Siboru Pareme yang sedang hamil itu berkawan dengan sang harimau yang secara rutin memberinya daging buruan. Maka terpeliharalah kehamilan Siboru Pareme sampai dia melahirkan seorang anak laki-laki bernama Lontung, yang kemudian menjadi leluhur beberapa marga Batak.

Rabu, 21 Oktober 2009

RAJA UTI LELUHUR BATAK DI ACEH




Raja Uti alias Raja Biakbiak alias Gumellenggelleng adalah anak sulung Guru Tatea Bulan yang berasal dari salah satu pusat leluhur Bangsa Batak dari sebuah lembah di tepian Danau Toba di kaki Pusuk Buhit yang dikenal sebagai asal muasal Bangsa Batak.

Peristiwa percintaan dua kembaran anak Guru Tatea Bulan yaitu Sariburaja anak ke-3 dan Siboru Pareme anak ke-2 kembaran anak tertua Gumellenggelleng menjadi awal adanya kemelut dalam keluarga ini. Konsekwensinya bahwa Guru Tatea Bulan harus menebusnya dengan mengadakan kurban manusia kepada Mulajadi Nabolon. Seluruh anak-anak Guru Tatea Bulan kecuali dua anak kembarnya belum mengetahui apa sebab musabab bahwa Guru Tatea Bulan berencana untuk melaksanakan kurban manusia sebagai kurban tertinggi penebus dosa. Oleh karena adanya rencana ini maka anak tertua Gumellenggelleng merasa dialah yang akan dikurbankan oleh ayahnya karena dia berprasangka bahwa dialah yang lebih memungkinkan untuk itu. Oleh karena itu Gumellenggelleng memohon kepada ibunya agar dia disembunyikan saja dan ibunya menyetujuinya sehingga dia disembunyikan di Pusuk Buhit, sementara sebenarnya Sariburajalah yang akan diminta oleh Mulajadi Nabolon sebagai kurban persembahan.

Mulajadi Nabolon datang berkunjung untuk meminta kurban yang dijanjikan. Dengan kepasrahan maka Sariburaja disembelih oleh Guru Tatea Bulan dan dipotong-potong bagian tubuhnya untuk dijadikan kurban yang akan dimasak di dalam sebuah wadah. Sewaktu potongan tubuh Sariburaja dimasukkan kedalam wadah untuk memasaknya maka Mulajadi Nabolon mengetahui kepasrahan dan kesetiaan kedua orangtua ini kepada Pencipta Alam Semesta Mulajadi Nabolon, dan Mulajadi Nabolon dengan kuasanya memanggil Sariburaja kembali keluar dari wadah tempat dia dimasak sebagai kurban, sebuah mujijat bahwa dia kembali menjadi manusia utuh sebagaimana sebelumnya. Sariburaja melumpat keluar dan duduk diantara saudara-saudaranya dan duduk seolah-olah sebagai posisi raja.

Ujian terhadap kesetiaan Guru Tatea bulan lulus dihadapan Mulajadi Nabolon, maka Mulajadi Nabolon bermaksud akan pergi pulang ke kerajaannya melalui Pusuk Buhit. Di Pusuk Buhit, dia berjumpa dengan Gumellenggelleng yang sebenarnya sedang bersembunyi dan disembunyikan oleh ibunya untuk menghindar sebagai kurban oleh ayahnya. Mulajadi Nabolon bertanya kepada Gumellenggelleng “Siapa yang membawa kau kesini?”, lalu dijawabnya bahwa dia telah meminta ibunya untuk menghantarnya ke Pusuk Buhit untuk bersembunyi karena takut menjadi kurban persembahan. “Kalau begitu, apa sebenarnya yang kau inginkan?” tanya Mulajadi Nabolon, lalu dijawab oleh Gumellenggelleng bahwa kalau boleh dia dijadikan oleh Mulajadi Nabolon menjadi raja diantara saudara-saudaranya karena dia adalah sebagai putra yang sulung dan pertama keluar dari rahim ibunya, jadi pantaslah dia yang menjadi raja. Kemudian lanjutnya, “tapi apa dayaku sebagai orang tak sempurnah sebagai manusia yang selalu dianggap remeh oleh saudara-saudaraku.”

Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan Gumellenggelleng dan seketika tubuh Gumellenggelleng berubah menjadi manusia yang sempurnah yang memiliki kaki dan tangan bertumbuh normal. Lalu dia diberi kuasa oleh Mulajadi Nabolon menjadi orang sakti yang disebut namanya menjadi Raja Biakbiak. Setelah Gumellenggelleng disempurnahkan menjadi perkasa sebagai Raja Biakbiak maka Mulajadi Nabolon kemudian pergi ke tahtahnya melalui Pusuk Buhit, dan jadilah Biakbiak menjadi raja pertapa sakti.

Setelah sekian lama dalam pertapaannya, Raja Biakbiak dengan percaya diri turun dari Pusuk Buhit hendak menjumpai orangtuanya dan saudara-saudaranya dan membayangkan bahwa dia akan disambut oleh keluarga itu sebagai raja karena dia sebagai anak yang tertua dan lagipula dia telah menjadi manusia sempurnah dan sakti. Anggapan itu ternyata meleset dan dia menjumpai keluarganya sudah berantakan bercerai berai karena ulah Sariburaja dan Siboru Pareme yang berbuat cinta terlarang. Raja Biakbiak tidak menjumpai lagi Siboru Pareme kembarannya dan demikian juga Sariburaja adiknya tak terlihat lagi karena sudah terusir dari kampungnya.

Karena dia merasa sangat kecewa bahwa keluarga keturunan ayahnya sudah berantakan dan bercerai berai, maka dia pergi ke Singkil. Raja Biakbiak, walaupun bertubuh kate tetapi dia memiliki tubuh sempurnah dan memiliki kesaktian tinggi sehingga raja-raja setempat mempersembahkannya istri. Kekuasaannya kemudian membentuk sebuah kerajaan Batak dan dia digelari sebagai Raja Uti karena memiliki utiutian dari Mulajadi Nabolon sebagai kesaktiannya. Kekuasaannya berkembang di Singkil, Kluet dan sampai ke Barus yang ramai dengan perdagangan. Para keturunannya banyak yang menguasai kerajaan laut di pesisir pantai barat Pulau Sumatra bahkan sudah menjalin persahabatan sampai ke pesisir pantai selatan Pulau Jawa.

Semasa mulai berkembangnya kerajaan Singosari di Jawa, jalinan masyarakat pantai di pesisir pantai barat Pulau Sumatra dan pesisir pantai selatan Pulau Jawa sudah terjalin dan bahkan keturunan Raja Uti ada yang menjadi pimpinan pengawal kerajaan jawa itu, dan biasanya mereka diberi gelar Empu yang berasal dari kata Ompu yang berarti orang yang dituakan, dihormati dan memiliki ilmu yang tinggi serta disegani. Masyarakat Batak keturunan Raja Uti di Singkil dan Kluet menyebut Raja Jawa dengan sebutan Raja Jau.

Terpisahnya keturunan Raja Uti dari pusat peradaban Batak membuat masyarakatnya tidak sepenuhnya melaksanakan tatanan budaya Batak yang disebut ‘habatakon’, disamping mereka berbaur sebagai masyarakat pantai maka mereka telah menghilangkan marganya sebagai salah satu komponen inti peradaban Batak kuno.

Minggu, 13 September 2009

Guru Tatea Bulan

Kemelut Keluarga Guru Tatea Bulan

Alkisah seorang putra Raja Batak bernama Daeng Marata (Mangarata) adalah seorang raja bergelar Guru Tatea Bulan hidup rukun dan damai bersama istrinya Sibaso Bolon dan diwariskan ayahnya sebuah wilayah bernama Rura Limbong Mulana dan juga diwariskan sebuah pusaka berupa buku pintar bernama Pustaha Agong yang berisi sumber-sumber seperti ilmu kedatuan, ilmu gaib, ilmu hipnotis, ilmu beladiri.

Mereka sudah cukup lama mendambakan keturunan yang banyak agar kemudian keturunannya dapat menguasai wilayah yang diwariskan ayahnya kepadanya. Doanya kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan Pencipta Alam Semesta) terkabulkan dan istrinya Sibaso Bolon hamil. Harinya tiba bagi Sibaso Bolon untuk melahirkan, kemudian seorang bayi laki-laki muncul dari rahim dan dilanjutkan oleh seorang lagi bayi perempuan dan kemudian berlanjut lahir bayi laki-laki dan kemudian perempuan dan demikian seterusnya terlahirlah sepuluh anak kembar lima berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Sepuluh anak kembar lima pasang terlahir sehat walafiat namun dua diantaranya mendapat kelainan fisik yaitu anak laki-laki yang pertamakali lahir bertubuh kate sehingga terlihat hampir seperti gumpalan daging saja karena kaki dan tangannya berukuran pendek tidak sebagaimana normalnya, sementara anak perempuan yang terakhir lahir sekilas seperti laki-laki yang berpenampilan perempuan (shemale).

Guru Tatea Bulan dan istrinya Sibaso Bolon menamai anaknya satupersatu dengan sebutan nama untuk yang pertama Gumellenggelleng dan kemudian berurutan Boru Bidinglaut, Sariburaja, Siboru Pareme, Limbongmulana, Boru Antingsabungan, Sagalaraja, Sintahaomasan, Silauraja, Boru Nantinjo. Guru Tatea Bulan dan istrinya Sibaso Bolon merasa berbahagia memelihara anak-anaknya bertumbuh menjadi dewasa dalam sebuah keluarga besar. Masing-masing anaknya, baik yang laki-laki maupun perempuan mempunyai karakter dan sejarahnya masing-masing, tak beda dengan Boru Nantinjo anak perempuan dan paling bungsu yang mempunyai kelainan karakter dan fisik sejak kelahirannya.

Pada masa itu kegiatan mereka lebih banyak dilakukan berburu atau mencari umbi-umbian untuk kehidupan sehari-hari. Walaupun mereka sudah tinggal menetap di wilayah yang diwariskan, namun mereka belum bembuka perladangan menetap melainkan hanya memanfaatkan ketersediaan pangan oleh alam.

Selama masa hidup Guru Tatea Bulan dan istrinya, kelainan fisik Boru Nantinjo merupakan rahasia keluarga yang hanya diketahui oleh 3 orang saja di dunia ini yaitu Nantinjo sendiri, ibunya Sibaso Bolon dan ayahnya Guru Tatea Bulan. Setelah ayahnya dan ibunya meninggal maka hanya dia sendirilah yang mengetahui rahasia kelainan fisiknya. Sepintas Nantinjo terlihat sama sebagaimana anak perempuan lainnya. Fisiknya bertumbuh sebagaimana anak gadis lainnya berwajah cantik, berambut panjang, buah dada yang montok, dan suara merdu, dan rajin bekerja mengerjakan pekerjaan perempuan seperti menganyam tikar, atau menenun ulos, dan perilaku memang 100% sebagaimana perempuan lainnya. Kenyataannya bahwa alat kelaminnya tidaklah sebagaimana perempuan memiliki vagina, tetapi Nantijo malah memiliki alat kelamin laki-laki yang menonjol sebagaimana penis laki-laki (shemale). Oleh karena mereka 10 orang 5 pasang kembar yang bertumbuh dewasa secara bersama-sama maka rahasia kelainannya ini tidak diketahui oleh abang dan kakak lainnya.

Semasa kedua orang tua mereka masih hidup, Gumellenggelleng (gelleng = kecil) karena badannya kerdil sangat ingin memimpin menjadi pemimpin dari semua adik-adiknya akan tetapi dia menyadari bahwa fisiknya hanyalah seorang kate yang tidak segagah adik-adiknya yang memang secara fisik pantas menjadi raja, maka gumellenggelleng selalu merasa rendah diri apabila percekcokan diantara kakak beradik yang harus diselesaikan. Pada masa itu terjadi pula skandal percintaan antara kakak beradik kembar yaitu Sariburaja memadu cinta dengan kembarannya bernama Siboru Pareme. Skandal ini semakin jauh dan mereka melakukan incest antara kakak beradik sehingga Siboru Pareme hamil.

Peristiwa percintaan ini masih belum diketahui oleh saudara-saudara lainnya akan tetapi Guru Tatea Bulan secara gaib sudah didatangi oleh Mulajadi Nabolon bahwa anaknya yang bernama Sariburaja dan Siboru Pareme sudah berbuat kesalahan melanggar hukum yang dititahkan, maka Guru Tatea Bulan harus menyediakan kuban manusia sebagai tebusannya. Rencana pemberian kurban oleh Guru Tatea Bulan sempat didengar oleh Biakbiak, maka dia memohon kepada ibunya agar dia diungsikan saja supaya ketika Mulajadi Nabolon datang maka dia tidak terlihat olehnya untuk diminta sebagai kurban. Gumellenggelleng beranggapan bahwa dia adalah sebagai orang yang tidak sempurnah fisik dan pastilah dia yang akan ditawarkan oleh ayahnya sebagai kurban kepada Mulajadi Nabolon, sementara saudara-saudaranya yang sedang berkumpul berkeliling untuk menyaksikan acara kurban persembahan itu adalah orang-orang yang sempurnah fisik. Permintaannya dikabulkan oleh ibunya dan mengungsikannya ke Pusuk Buhit, sementara Guru Tatea bulan sudah mengetahui bahwa Saribu Rajalah yang akan diminta oleh Mulajadi Nabolon sebagai kurban persembahan.

Mulajadi Nabolon datang berkunjung untuk meminta kurban yang dijanjikan, maka Sariburaja disembelih oleh Guru Tatea Bulan dan dipotong-potong bagian tubuhnya untuk dijadikan kurban yang akan dimasak di dalam sebuah wadah. Sewaktu potongan tubuh Sariburaja dimasukkan kedalam wadah untuk memasaknya maka Mulajadi Nabolon mengetahui kepasrahan dan kesetiaan kedua orangtua ini kepada Pencipta Alam Semesta Mulajadi Nabolon, dan Mulajadi Nabolon dengan kuasanya memanggil Sariburaja kembali keluar dari wadah tempat dia dimasak sebagai kurban, dia kembali menjadi manusia utuh sebagaimana sebelumnya. Sariburaja melumpat keluar dan duduk diantara saudara-saudaranya seolah-olah sebagai posisi raja.

Ujian terhadap kesetiaan Guru Tatea bulan lulus dihadapan Mulajadi Nabolon, maka Mulajadi Nabolon bermaksud akan pergi pulang ke kerajaannya melalui Pusuk Buhit. Di Pusuk Buhit, dia berjumpa dengan Gumellenggelleng dan bertanya “Siapa yang membawa kau kesini?”, lalu dijawab Gumellenggelleng bahwa dia telah meminta ibunya untuk menghantarnya ke Pusuk Buhit untuk bersembunyi karena takut menjadi kurban persembahan. “Kalau begitu, apa yang kau inginkan?” tanya Mulajadi Nabolon, lalu dijawab oleh Gumellenggelleng bahwa kalau boleh dia dijadikan oleh Mulajadi Naboleon menjadi raja diantara saudara-saudaranya karena dia adalah sebagai putra yang sulung dan pertama keluar dari rahim ibunya, jadi pantaslah dia yang menjadi raja. Kemudian lanjutnya, “tapi apa dayaku sebagai orang tak sempurnah sebagai manusia yang selalu dianggap remeh oleh saudara-saudaraku.”

Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan Gumellenggelleng dan seketika tubuh Gumellenggelleng berubah menjadi manusia yang sempurnah yang memiliki kaki dan tangan bertumbuh normal. Lalu dia diberi kuasa oleh Mulajadi Nabolon menjadi orang sakti yang disebut namanya menjadi Raja Biakbiak. Mulajadi Nabolon kemudian pergi ke tahtahnya melalui Pusuk Buhit setelah menyempurnahkan Biakbiak menjadi raja pertapa sakti.

Anak-naknya yang lain membawa sejarahnya masing-masing, seperti Siboru Bidinglaut kembaran Gumellenggelleng hilang entah kemana karena dia pergi mencari saudaranya yaitu adik dibawahnya bernama Sariburaja yang menyingkir akan mendapat hukuman bunuh dari 3 orang adik-adik laki-laki dibawahnya. Siboru Bidinglaut dalam pencaharian adiknya Sariburaja banyak mengalami kendala hidup sehingga dia terdampar di laut selatan dan dipercaya menjadi sosok Nyi Roro Kidul yang menjadi penguasa laut pantai selatan Indonesia.

Limbongmulana, Sagalaraja, Silauraja membentuk rumahtangganya masing-masing dan membuka kampung sendiri-sendiri secara terpisah dan berketurunan disana. Masih semasa hidup Guru Tatea Bulan dan istrinya Sibaso Bolon, kemelut keluarga diantara anak-anaknya sudah membuatnya merasa bersalah tidak mampu membina keluarganya dengan baik sehingga anak-anaknya banyak yang berbuat salah terhadap hukum-hukum yang dititahkan oleh Mulajadi Nabolon sebagai tuhan pencipta yang berkuasa atas alam semesta. Mereka berdua suami istri menjadi sakit dan akhirnya meninggal dunia di dalam kesemrautan kehidupan anak-anaknya.

Guru Tatea Bulan dan istrinya Sibaso Bolon meninggal dunia dengan meninggalkan keberagaman sejarah anak-anaknya. Hubungan diantara semua anak-anaknya tidaklah menjadi seakur sewaktu mereka masih hidup mendampingi dan membina anak-anaknya sebagaimana orang tua berharap kepada kebaikan semua anaknya.


Jumat, 14 Agustus 2009

DANAU TOBA


Oleh: Maridup

Alkisah, seorang pemuda yatim piatu bernama Tabo hidup sendiri digubuknya di tepi sebuah jurang yang dalam, setelah dia dia mengasingkan diri dari keluarga orangtuanya. Dekat dengan gubuknya mengalir sebuah sungai yang banyak ikannya. Pekerjaannya disamping bertani adalah menjala ikan atau memancung ikan di sungai tersebut. Ikan yang dijala biasanya dimasaknya sebagai lauk makanannya. Terkadang dia mendapat ikan yang banyak sehingga harus disimpannya di sebuah kolam yang ada dibelakang gubuknya, untuk kemudian apabila dia butuhkan maka dia dapat mengambilnya tanpa harus pergi menjala atau memancing ke sungai.

Di suatu hari, dia tidak pergi ke ladangnya melainkan direncanakannya untuk menjala ikan di sungai. Sejak pagi itu dia sudah giat melemparkan jalanya namun tidak satupun ikan yang terjaring. Hingga hari menjelang sore, tak satupun ikan didapat, dan diapun berniat untuk pulang saja kerumah dan menangguk ikan yang ada di kolam dibelakang gubuknya untuk lauk makan malamnya. Dia niatkan untuk terakhir kali sore itu melemparkan jaring jalanya di sekitar pojok sungai, lalu di mulai menariknya. Pada saat menarik tali jalanya, dia merasa sangat berat tidak seperti biasanya. Kemudian mengikatkan tali ke sebatang kayu kecil di tepi sungai agar tidak terhanyut. Dia mencoba untuk melihat apakah jaringnya ada yang tersangkut. Ternyata jaringnya tidak tersangkut tetapi ada yang menggelepar di dalam jaringnya. Dia yakin ada sesuatu yang tertangkap oleh jaringnya sehingga berat untuk di tarik. Dengan sekuat tenaga dia menarik jaringnya dan kenyataannya dia mendapat seekor ikan sangat besar yang berwarna keemasan dan sangatlah cantik dilihatnya.

Dengan bersusah payah Tabo membawa dengan memundak ikan itu tetap didalam jaringnya. Sesampai di gubuknya, dia menaruhnya di kolam yang ada dibelakang gubuknya. Ikan itupun menggeliat-geliatkan ekornya keluar dari jaring itu, dan kemudian dari kejauhan sudut kolam berbalik memandang si Tabo dan sesekali mengerdipkan matanya. Semakin dipandang si Tabo, maka ikan itu semakin cantik dilihatnya sehingga dia tidak lagi berniat untuk memakan ikan tersebut untuk lauknya melainkan diniatkannya hanya untuk dipeliharanya saja. Lagipula ikan itu cukup besar untuk dimakan oleh satu orang, bahkan untuk tiga haripun mungkin tidak akan habis.

Demikianlah Tabo akhirnya hanya menangguk ikan kecil yang ada di kolamnya untuk dijadikannya lauk makan malamnya. Sewaktu dia menangguk, di dapatnya 3 ekor jurung-jurung, lalu dipersiapkannya untuk dijadikan lauk. Tabo menyiangi 3 ekor ikan itu dengan membuang isi perut dan insang, lalu membuang sisiknya, selanjutnya di sayat-sayat daging ikan dan dilaburinya dengan asam jeruk diambil dari pekarangan gubuknya. Tabo menyalakan api dari ranting-ranting kayu bakar dan dibiarkannya sampai ranting kayu itu menjadi bara arang. Sembari dia menunggu kayu menjadi bara, maka dia mempersiapkan bumbu-bumbu yang semuanya terdapat di sekitar gubuknya. Cabe rawit, cabe merah, andaliman, daun lalapan dan daun pisang diambilnya. Daun pisang ditumpukkannya diatas bara, lalu diletakkannya 3 ekor ikan yang sudah terbalur perasan air asam jeruk tadi. Ikan yang di bakar mengeluarkan aroma yang mewangi, lalu dibalik-balikkannya agar matangnya merata, sambil menggiling bumbu-bumbu yang sudah dipersiapkannya tadi.

Dia melihat bahwa ikan bakarnya sudah matang berminyak dan mengeluarkan aroma selera, lalu diangkatnya seekor untuk dimakannya sore atau malam itu, sementara yang dua ekor lagi dipersiapkannya untuk sarapan pagi sebelum pergi ke ladang dan seekor lainnya untuk makan siang di ladang. Tabo mulai mencuci tangannya untuk mulai mengepal nasi panas dengan jari-jarinya, lalu dimasukkannya kedalam mulutnya sambil agak seperti bersiul karena nasi tersebut masih terasa panas dimulutnya. Depetiknya ikan bakar tersebut, pertama diambilnya dari bagian tengkuk kepala ikan, lalu dicoelnya kebumbu cabe dan disantapnya. Dia merasa memang hidup ini indah dan nikmatnya terasa sewaktu makan sore tersebut. Dengan lahap Tabo menghabiskan hambir seperiuk nasi karena nikmatnya. Selesai makan dia menjerangkan air untuk membuat sejenis teh hangat menjelang tidur.

Tidak seperti biasanya dikehidupan moderen sekarang ini, bahwa terlebih dahulu mandi sore baru memulai untuk makan sore atau makan malam. Tabo justru melakukan sebaliknya oleh karena dia sudah keburu lapar bekerja fisik di ladang atau menjala ikan, maka makan sore terlebih dulu dilakukan baru dia pergi mandi sebelum tidur. Tabo bersiap untuk pergi mandi ke pancuran yang ada dekat gubuknya, tetapi sebelum berangkat disempatkannya pergi kebelakang gubuknya untuk melihat ikan besar tangkapannya tadi. Tabo melihat ikan itu meliuk-liuk menggerakkan ekornya dan mendekat merapat ke arak Tabo. “Cantik kalilah ikan ini bah..” demikian kata Tabo dalam hatinya. Disambarnya air kolam dengan tangannya sambil memercik-mercikkannya kearah ikan. Sesaat Tabo akan pergi mandi, sekilas ikan itu mengerdipkan matanya, sehingga Tabo pun menolehkan pandangannya untuk berbalik melihat ikan itu. Dalam pikirnya “Mentel kali ikan ini kulihat…” katanya dalam hati lalu pergi untuk mandi.

Sesampai di gubuk setelah mandi, Tabo mengambil jerangan airpanas yang sudah mendidih, lalu menuangnya ke sebuah wadah yang terbuat dari bambu menjadi seperti wadah untuk minum. Tabo mengambil sejenis daun yang sudah dikeringkannya dan diseduhnya kedalam airpanas tersebut. Itulah minumannya sore menjelang malam itu dimana zat-zat yang terlarut dari daun itu membawanya menikmati indahnya hidup di dunia ini sambil menyulutkan sebatang rokok yang terbuat dari daun ari-jagung bagian dalam yang sudah dikeringkan.

Demikianlah kehidupan sehari-hari Tabo yang mampu menikmati kehidupannya di dunia yang sudah dikaruniakan kepadanya. Malam itu Tabo merasa nyenyak tidurnya disertai mimpi indah seorang pemuda yang bertemu dengan seorang putri kayangan yang cantik jelita. Paginya, Tabo terbangun dari tidurnya disambut oleh kicauan burung yang bertenggek di ranting-ranting pohon. Matahari menyembul dari arah timur menyinari pepohonan yang masih diselimuti embun pagi. Terlihat kepulan seperti asap yang keluar dari pepohonan menandakan dimulainya proses fotosintesis, menguapkan butiran embun oleh sinar matahari pagi. Demikianlah siklus kehidupan di alam ini hari demi hari, sama hal nya seperti kehidupan Tabo.

Pagi itu sebagaimana biasanya, Tabo menjerangkan airpanas untuk minumannya dan sarapannya sambil juga memasak nasi untuk makanannya pagi itu dan siangnya sewaktu bekerja di ladang atau selagi menjala. Karena udara yang cukup dingin maka pekerjaan di dapur menjadi disenanginya karena dia bisa sambil mansisulu (menghangatkan badan di perapian). Air sudah mendidih, nasi sudah matang, tunggu apa lagi… Tabo pertama menyeduh teh racikannya, lalu mulai mengambil nasi dan ikan bakar yang sejak kemarin malam sudah dipersiapkannya. Sebentar saja sudah habis dilahapnya untuk ukuran 2 piring. Sambil mempersiapkan peralatan kerjanya, dia meneguk teh racikannya dan rokok gulungnya. Seperti biasanya, diapun berangkat bekerja ke ladangnya dengan kesegaran tubuh penuh energi.

Sorenya dia sudah pulang dari ladangnya langsung pergi ke belakang gubuknya untuk menyimpan peralatan kerjanya. Sekilas dilihatnya ikan kesayangannya secara genit menghampirinya. Diamatinya sebentar sebelum dia membersihkan diri untuk segera akan menyiapkan makanan untuk sore dan esok harinya sebagaimana biasa. Tabo memasuki gubuknya untuk mempersiapkan memasak seperti biasanya, namun dia terperanjat karena ada didapatinya makanan yang sudah tersedia. Tabo merasa heran, lalu dia keluar ke sekeliling gubuknya sambil mencari-cari apakah ada seseorang saudaranya yang datang sehingga ada tersedia makanan. Tabo tidak melihat seorangpun ada disekitar gubuknya. Setaunya, tidak ada penduduk dekat sekitar situ. Tabo berkata sendiri dalam hati, “Bagaimana mungkin ada makanan tersedia disini?”. “Apa aku sendiri yang memasaknya tadi pagi?”. Cukup lama dia memikirkan keanehan itu, “mungkin aku lupa dan pasti aku yang memasaknya tadi pagi”, demikian kesimpulan yang dibuat Tabo untuk membenarkan kejadian itu. Karena Tabo sudah lapar setelah letih berladang, maka diapun menyantap makanan itu.

Untuk kedua kalinya, kejadian kemarin terulang kembali dan makanan memang ada terhidang di dapur gubuknya sekembalinya dari ladangnya. Kali ini dia yakinkan dirinya bahwa yang membuat itu sudah pastilah seseorang. “Aku tak mungkin sedang bermimpi ! karena sudah jelas tadi pagi aku tak ada buat apa-apa untuk persiapan makan” pikirnya dalam hati. “Pasti sudah ada penghuni baru di sekitar sini, karena ingin memberitahukan kehadirannya maka dia menghadiahkan makanan sebagai tanda bersahabat!” pikirnya lagi. “Tak mungkin setan bisa masak, so pasti manusia” demikian dalam hati Tabo berkecamuk sejumlah pertanyaan. “Malam ini aku harus berkeliling untuk melihat sekitar sini. Pastilah akan ada nyala api disuatu tempat yang dapat terlihat pada malam hari !” demikian Tabo memutuskan untuk berkeliling sambil membawa sejenis obor yang terbuat dari biji-bijian yang mengandung minyak, seperti biji jarak (dulang) yang ditusuk pada lidi bambu seperti sate. “Kalau aku nanti diketahui orang pendatang membawa obor ini tentulah dia akan menyapaku” pikirnya sambil berjalan dan mengarahkan pandangannya ke berbagai arah. Setelah letih berkeliling-keliling maka Tabo memutuskan untuk pulang ke gubuknya dan ternyata tidak ada siapa-siapa. Sambil merebahkan tubuhnya di dipan yang terbuat dari tikar bambu untuk berusaha tidur malam itu. Pikirannya menerawang dengan seribu tanya dikepalanya dan diapun tak dapat tidur malam itu.

Oleh karena kurang tidur malamnya maka Tabo memutuskan untuk tidak pergi ke ladang karena badanya masih terasa letih. Dia memutuskan untuk pergi memancing saja. Sebelum berangkat memancing, tak lupa dia pergi ke belakang gubuknya untuk melihat ikan kesayangannya yang ada di kolam belakang. Memang sudah dua hari dia tidak melihat ikan itu, dan ternyata ikan itu masih ada dan meluncur berenang di permukaan air menuju kearahnya. Ikan itu semakin cantik saja dilihatnya. Tabo kemudian menyapa ikan itu; “Hei ikan ! sudah rindu aku tak melihatmu dua hari ini, apa kabarmu?” demikian kata Tabo sambil mengusap-usap badan ikan dengan tangannya dari pinggir kolam. Kemudian dia berkata lagi kepada ikan itu; “Jaga dirimu baik-baik ya ! makan aja apa yang ada di kolam ini supaya sehat kau”, lalu, “Aku mau pergi memancing dulu ke sungai sana, nanti kubawakan makananmu yang enak dari hasil pancinganku.” Demikian kata Tabo, maksudnya adalah ikan-ikan kecil sebagai makanan ikan kesayangannya itu. Lalu Tabo pun berlalu dan pergi ke arah sungai sambil membawa kail untuk memancing.

Dalam perjalanannya kearah sungai, dia teringat lagi akan keanehan terhidangnya makanan dalam dua hari belakangan ini. Lalu Tabo berniat untuk mengintai kira-kira siapa yang menyediakan makanan tersebut. Tabo mulai mengambil posisi yang tersembunyi di tepi sungai itu, tetapi pandangannya dapat mengintai gubuknya dari kejauhan. Sambil memancing, diapun menolehkan pandangannya sesekali kearah gubuknya, siapatahu ada asap mengepul tandanya ada orang yang memasak di gubuknya. Setelah sekian kali menoleh ke gubuknya, ternyata memang benar bahwa gubuknya sedang mengepulkan asap tandanya ada seseorang yang sedang memasak. Toba pun tak luput dari keingin tauannya untuk mengetahui siapa gerangan yang ada di gubuknya. Dengan mengendap-endap, Tabo menuju gubuknya sambil berusaha untuk tidak mengeluarkan suara langkah yang berisik dari gesekan semak-semak ke badannya. Ahirnya dia sampai juga ke gubuknya dengan aman tanpa ketahuan. Jantungnya berdebar saat akan mengintip siapa gerangan yang ada di dapur. Dari selah-selah dinding tepas di dapur gubuknya terlihatnya seorang putri cantik sedang memasak sesuatu di dapurnya. Jantungnya semakin berdetak keras karena dia tidak habis pikir bahwa ada seorang putri cantik di tengah hutan belantara seperti ini.

Dengan memberanikan diri, Tabo tiba-tiba masuk dari pintu dapurnya dan memergoki putri cantik itu. “Ternyata kau yang memasak makanan yang terhidang selama dua hari ini ya” lalu katanya, “Darimana seorang putri cantik ada di hutan ini? Apa kau bukan setan?” kata Tabo bertanya. Sambil tersipu malu sang putri menjawab, “ya Tuanku, memang aku yang memasak makanan terhidang untuk tuanku, aku adalah jelmaan ikan yang tuanku jaring waktu itu” katanya sambil menundukkan kepala. Lalu Tabo berkata lagi, “Ah mana mungkin ikan berubah menjadi putri cantik seperti kau? Siapa yang menyuruh kau ke sini?” Tanya Tabo sambil berbalik bergerak ke arah kolam yang memang persis berada dekat pintu dapurnya dan memang tidak terlihat lagi ikan kesayangannya itu. Lalu Tabo berbalik lagi ke arah putri cantik itu dan disambut oleh putri cantik itu dan berkata; “Memang benar tuanku, aku diutus oleh Mulajadi (Tuhan pencipta alam semesta) untuk mendampingi hidup bersama sebagai istri tuanku.” Karena putri cantik itu menyebut nama Tuhan pencipta alam semesta maka percayalah dia karena tidak sembarangan dapat menyebutkan nama Tuhan kalau untuk dusta.
Singkat cerita, Tabo dan Putri Ikan itu menjadi pasangan yang berbahagia sebagai suami-istri. Waktu berjalan sampai suatu saat Putri Ikan mengandung bayi. Tabo merasa bahagia karena dia akan mendapat keturunan. Tabo berharap bahwa dia akan mendapat anak laki-laki terlebih dahulu agar pasti generasinya bersambung karena titah dari Tuhannya bahwa anak laki-laki adalah sebagai pengganti generasinya. Kemudian Putri Ikan berkata; “Kalau anak kita lahir nanti, jangan sekali-kali kau mengatakan bahwa ibunya adalah jelmaan dari seekor ikan, ini adalah sumpah kita berdua”. Tabo setuju dengan sumpah itu, lalu mereka berdoa untuk mengikat sumpahnya atas nama tuhannya Mulajadi. Mereka membentangkan selembar ulos dan diatasnya diletakkan 3 lembar daun sirih, 1 butir telur, 1 butir jeruk purut jantan, dan air bersih yang ditaruh di cawan yang terbuat dari kulit buah labu. Lalu mereka membentangkan tangannya ke atas dan berdoa; “Mulajadi Nabolon, kami bersumpah untuk sehidup semati menjadi keluarga yang menurunkan generasi, bersumpah untuk tidak menceritakan tentang asal muasal kami masing-masing kepada keturunan kami, dan kalau kami melanggarnya maka engkau junjungan kami dapat menghukum kami sesuai dengan kemauanmu yang akan terjadi, Manjadilah (amin).” Demikianlah mereka bersumpah dalam doa mereka. Lalu mereka memasukkan 3 lembar daun sirih itu ke dalam air yang ada di cawan itu dan memotong dua jeruk purut dan menaruhnya di dalam air di cawan itu. Mereka memercikkan air dari dalam cawan itu dengan daun sirih ke sekeliling gubuknya. Setelah selesai memercik air itu, lalu diperasnya ke dua belah jeruk purut mencampurkannya dengan sisa air yang masih ada di cawan itu dan mereka minumnya bersama, lalu sisanya untuk mencuci muka dan membasahi rambut mereka.

Bulannya datang, harinya tiba, maka terlahirlah seorang bayi laki-laki yang terlihat sehat dan kuat. Tabo dan istrinya menjadi berbahagia mendapatkan anak karunia dari Mulajadi. Mereka membesarkan anak itu dengan bahagia. Lima tahun berlalu, sang anak tumbuh sehat sebagai buah hati yang menyenangkan kedua orang tuanya. Anak itupun rajin membantu ke dua orang tuanya semampu yang dapat dia lakukan. Hari itu Tabo sedang bekerja diladangnya, biasanya istri dan anaknya datang membawa makanan untuk mereka makan bersama di ladang, tetapi hari itu Putri Ikan tidak dapat menghantarkan makanan siang itu dan dia menyuruh anaknya yang menghantarkan. Sang anak yang sedang aktif-aktifnya itu dengan senang hati mau disuruh sedirian oleh ibunya. Sang anak membawa bekal makanan itu menyusuri jalan setapak menuju ladangnya. Sebelum tiba di lading itu, sang anak harus pula menyusuri tepian sungai dimana mereka sering memancing dan menjala ikan bersama ayahnya Tabo. Sewaktu melintasi tepian sungai, anak itu melihat ikan-ikan banyak berlompatan yang menarik perhatian si anak. Anak itupun menghentikan langkahnya lalu asyik mengamati ikan-ikan yang sedang melumpat-lumpat. Dia terlupa dengan tugasnya untuk menghantarkan makanan untuk ayahnya, malah dengan tertawa riang menaburkan makanan yang dibawanya kepada ikan-ikan yang disungai itu. Makanan itupun habis diberikannya kepada ikan-ikan yang ada disungai itu, lalu diapun melanjutkan perjalanannya menuju ladang dimana ayahnya sedang menantinya. Siang itu Tabo sudah istirahat dari kerjanya di ladang dan sedang duduk santai mengisap rokok yang terbuat dari kumis jagung dan daun jagung muda yang sudah dikeringkan. Tabo memang merasa ada yang aneh, bahwa biasanya istrinya dan anaknya sudah seharusnya tiba membawa makanan untuk mereka makan bersama, tetapi siang itu dia cukup jenuh menanti kedatangan mereka. Sesaat kemudian dia melihat anaknya sendirian menghampirinya sambil membawa tentengan yang dia ketahui adalah makanan untuk makan siang mereka.

Sesampai anaknya dipondokan dimana mereka sering beristirahat siang, Tabo menanya anaknya; “Dimana ibumu? Kok sendirian kau?”. “Ibu sedang ada keperluan penting dan aku yang disuruhnya ke sini sendirian” katanya dengan lugu. Tabo tak sabar membuka bungkusan yang dibawa oleh anaknya, karena dia memang sudah lapar sehabis bekerja setengah hari itu. Tak disangkanya bungkusan itu ternyata kosong, dan hanya bekas-bekasnya saja yang ada. Lalu Tabo dengan marah berkata; “Kemana kau bikin makanan ini? Apa kau makan semuanya?” “Tak ada kumakan, pa” katanya lugu. “Jadi kemana semua, kok bisa habis?” katanya lagi dengan penuh selidik apakah memang sudah dimakan anaknya semuanya, tetapi dia melihat anaknya tidak ada tanda-tanda sudah memakan makanan itu. Dengan rasa takut anaknya menjawab; “Tadi aku kasi kepada ikan-ikan yang ada di sungai tempat kita sering memancing, karena ikan-ikan itu berlompat-lompan meminta makan, jadi aku kasi semuanya” demikian kata anaknya dengan lugu. Karena memang sudah sangat lapar, diapun dengan marah menampar pipi anaknya sambil berkata; “Dasar anak ikan, tak tau diri kau, makanan bapakmu kau kasih sama ikan.” Anak itupun menangis karena terasa sakit di tampar pada pipinya. Tabo kemudian mengusir anaknya pulang sambil berkata lagi “Pergi sana ke mamamu, memang betullah kau anak ikan” bentaknya. Anak itupun sambil menangis pulang kembali ke gubuknya .

Sesampai di gubuknya, anak itupun disambut ibunya dengan tanya; “Kok nangis kau, ada apa?”. “Aku ditampar papa karena semua makannya aku kasi kepada ikan-ikan di tempat pemancingan sana” katanya. “Sudahlah, diamlah, biarkan aku bawa lagi makanan kepada bapakmu” demikian kata ibunya sambil bersiap-siap untuk mengambil lagi makanan untuk dihantarkannya kepada suaminya. Tetapi anaknya semakin menangis saja dengan sedih, walau dibujuk oleh ibunya, dia tetap saja bertambah menangis. Akhirnya dia mengatakan “Aku dikatakan anak ikan, karena makanannya aku kasi sama ikan” anaknya terisak sambil mengusap matanya. Putri Ikan tersentak dan segera berlari membawa anaknya menuju ladang menjumpai suaminya Tabo. Setelah tiba, Putri Ikan menanyakan langsung kepada suaminya Tabo; “Apa benar kau mengatakan anak kita ini anak ikan?” Saat itu, Tabo teringat akan sumpahnya dan mereka menyadari bahwa akan segera terjadi sesuatu karena memang sudah disumpahkan. Tangisan anaknya membawa suasana mereka berdua menjadi menangis juga. Mereka sangat yakin bahwa sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi pada mereka.

Sesaat kemudian petir menyambar silih berganti, awan tiba-tiba berkumpul tebal diatas mereka, dan hujan turun dengan sangat lebat, bahkan air dari tanah keluar mengebul sehingga kawasan itu sudah mulai dibanjiri oleh air. Tabo memeluk anaknya sambil memandangi istrinya Putri Ikan yang juga sedang menangis. Mereka sudah saling tau bahwa air yang semakin membanjiri kawasan itu menjadi cara bagi Mulajadi untuk memisah mereka karena termakan sumpah. “Tabo, pergilah ke bukit sana dan jangan lagi berada di lembah ini karena kutukan telah terjadi pada kita” demikian kata Putri Ika sambil menangis.” “Jagalah anak kita, biarlah dia sebagai pertanda bagi manusia bahwa dia berasal dari mahluk air, aku akan segera dipanggil oleh Tuhan untuk hidup di alam yang diciptakannya bagiku” demikian kata Putri Ikan menyampaikan kata-kata perpisahannya. Air semakin naik, Tabo mulai berlari kearah bukit menjauhi daerah banjir itu, sementara istrinya Putri Ikan ingin juga berlari mengikuti suaminya namun kakinya seperti terpaku di tempat karena sudah mulai berubah wujudnya. Kakinya yang sudah terendam air berubah menjadi sirip ekor, dan semakin keatas berubah menjadi sisik. Tabo dan anak yang digendongnya sudah berlari menjauhi daerah banjir. Dari kejauhan terlihat perubahan wujud istrinya perlahan-lahan menjadi ikan sepenuhnya sampai suatu saat tak terlihat lagi. Air yang banjir itu sudah mengitari bukit dimana Tabo dan anaknya berada. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah air yang mengelilingi pulau, itulah yang disebut Danau Toba dan Pulau Samosir ada di tengahnya.

Catatan:
Berdasarkan kajian ilmu pengetahuan bahwa Danau Toba terbentuk sekitar 30.000 tahun yang lalu. Danau Toba terbentuk dari sebuah kawah Gunung Toba yang meletus sekitar 75.000 tahun lalu, dimana letusannya mengakibatkan terjadinya musin dingin dan jaman es. Debu letusannya menyebar sampai ke Timur Tengah, dimana sampai saai ini debu vulkanis tersebut terdapat disemenanjung Malaysia dengan ketebalan 9m dan sampai di India dengan ketebalan 3m. Letusan ini juga menimbulkan tertutupnya sinar matahari sehingga terjadi gelap dan dingin selama 6 tahun, dan memicu musim es selama 1000 tahun. Banyak mahluk yang punah, tetapi manusia Batak dapat survive dan inilah awalnya manusia menyebar dari Tanah Batak. Jadi, setelah terjadinya letusan Gunung Toba maka 45.000 tahun kemudian kawasan itu perlahan-lahan dialiri oleh air dari gunung-gunung tang sudah ditumbuhi oleh pepohonan yang menghutan sehingga akhirnya terjadi Danau Toba.

Minggu, 19 Juli 2009

BORU NATUMANDI


(Boru Natumandi - Boru Hutabarat yang menjelma menjadi ular)
Alkisah sepasang petani bernama Ompu Raja Natumandi mempunyai seorang putri semata-wayang bernama Boru Natumandi yang tinggal disebuah desa bernama Banjar Nahor - Silindung di pinggiran kota Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara.

Boru Natumandi memiliki paras yang cantik dan sangat disayangi oleh kedua orangtuanya, sehingga dia tidak diperbolehkan untuk bekerja di ladang sebagaimana dilakukan oleh teman sebayanya. Untuk menghilangkan kebosanan yang hanya sendiri tinggal dirumah selama orangtuanya mengerjakan sawah dan ladangnya, maka Boru Natumandi diperkenankan untuk mengerjakan pembuatan ulos di sebuah pondokan terbuka yang tidak jauh dari rumahnya, di tepian sebuah sungai.

Disuatu siang hari, sewaktu Boru Natumandi mengerjakan pembuatan ulos, dia didatangi seorang pemuda tampan bernama Mangunsong yang menegurnya dengan ramah dan sopan. Merka berkenalan dan saling bercerita sembari Boru Natumandi mengerjakan pembuatan ulosnya. Pertemuan sering dilakukan mereka di pondok itu untuk saling bercerita bercanda ria, namun menjelang sore sebelum kedua orangtua Boru Natumandi pulang dari ladangnya maka pemuda Mangunsong pamitan diri untuk pulang. Selama perkenalan mereka, Boru Natumandi pernah menanyakan asal-muasal pemuda Mangunson, dan pemuda itu mengatakan bahwa kampungnya sangat jauh dan ada ditepian sebuah danau. Sejenak Boru Tumandi bertanya dalam hatinya “Kalau kampungnya sangat jauh mengapa dia dapat dating setiap hari?” demikian pikirnya. Lalu Boru Tumandi mengungkapkan tanda tanyanya, “Berapa lama perjalanyan ke kampungnya?” tanyanya menyelidik. Lalu pemuda itu menjawab, “Aku ada tinggal dekat sini” jawabnya singkat. Boru Tumandi bertanya pula dalam hatinya bahwa tidak ada kampong sekitar situ yang bermarga Mangunsang, tapi dia tidak melanjutkan pertanyaannya.

Keakraban mereka tidak pernah diceritakan oleh Boru Natumandi dia mempunyai seorang hubungan dengan seorang pemuda yang tampan bernama Mangunsong. Setelah menjalin hubungan sekian lama dan mereka sudah merasa saling cocok satu sama lain, maka di suatu hari pemuda Mangunsong mengutarakan niatnya untuk meminang sang putri, akan tetapi sang pemuda tampan harus membawa orang tuanya untuk meminang sang putri, sementara kampung sang pemuda sangat jauh ada di tepian Danau Toba. Kalau pemuda Mangunsong sendiri sebenarnya dia adalah orang sakti sehingga mampu datang setiap saat mengunjungi Boru Natumandi, akan tetapi kesaktiannya tidaklah mungkin membawa orang lain sama cepat seperti dia. Rahasia kesaktiannyapun tidak diberitahukannya kepada Boru Natumandi.

Karena mereka tidak mempunyai jalan keluar agar hubungan mereka dapat terjalin sesuai kultur adat, dimana orangtua Mangunsong harus datang mengunjungi orangtua Boru Natumandi untuk meminang, maka mereka berdua sepakat untuk kawin lari saja. Mereka membuat janji dengan menentukan hari kapan mereka akan kawin lari.

Tiba waktu yang ditentukan, dan sama seperti biasanya bahwa Boru Natumandi berangkat ke pondokannya sambil menbawa segumpal padi. Sebagaimana biasa pemuda Mangunsong tiba di pondok, lalu mereka mulai melaksanakan niatnya. Sebelum melangkahkan kakinya, Boru Natumandi mengambil padi yang dipersiapkan sebelumnya untuk digunakan sebagai tanda agar orangtuanya mengetahui kemana dia akan pergi.

Sebagaimana biasa, sore itu Ompu Raja Natumandi dan istrinya pulang dari lading tidak menemukan putrinya. Mereka coba cari kesekitarnya tetapi juga tidak ditemukan. Kegelisahan muncul setelah menunggu beberapa lama, lalu mereka pergi menanyakan kepada seisi kampong barangkali ada yang tau dimana putrid mereka berada. Mereka kini memastikan bahwa Boru Natumandi hilang dan seluruh kampungpun ikut bergegas mencarinya.

Akhirnya mereka menemukan tanda-tanda yaitu terlihat butir-butir padi ada berserakan yang mengarah ke suatu tempat. Mereka menanyakan kepada orang bijak tentang tanda-tanda padi yang diberikan itu dan si orang bijak mengatakan bahwa itu adalah pertanda bahwa dia sedang dipersunting oleh seorang pemuda yang mengajaknya kawin lari. Lalu mereka mengikuti kemana tanda itu mengarahkan perjalanan mereka. Tidak berapa lama mereka mengikuti butiran beras itu, maka mereka tiba di sebuah liang yang ada di bawah sebuah pohon beringin dan butiran beras itu berhenti sampai disitu, namun mereka tidak menemukan siapa-siapa di liang itu karena hanya berbentuk gua kecil yang tidak dapat diterobos seukuran manusia sampai kedalamnya. Akhirnya merekapun bubar.

Keesokan harinya, si ibu yang bersedih kehilangan putrinya tetap mencari putrinya itu ke dalam liang yang ada disitu. Sampai selama seminggu sang ibu dan bapanya setiap hari berkunjung ke dalam liang dan berharap akan menemukan putrinya. Pada hari yang ke-7 mereka menemukan sebuah kendi dengan sebuah pesan yang diketahuinya adalah dari putrinya. Pesan yang ada menyebutkan bahwa kendi itu adalah sebagai mahar dari Mangunsong karena dia sudah menikah dengan seorang pemuda bernama Mangunsong. Kemudian pesannya supaya kendi tidak dibuka sebelum 7 hari, dan kalau tidak ditepati maka jangan berharap dia akan kembali lagi. Kejadian ini diberitahukan kedua orangtuanya kepada tetua kampung dan seorang bijak mengatakan bahwa setelah hari ke-7 supaya dipersiapkan kedatangan Boru Tumandi untuk dibuatkan pestanya.

Kendi itupun dibawa oleh kedua orangtuanya kerumah. Pada hari pertama, kedua orang tua masih mampu untuk mengingat janji. Hari kedua berlalu, hari ketiga… dan semakin hari semakin besar kerinduan orang tua untuk bertemu dengan putrinya dan keinginan membuka kendipun semakin besar. Sampai pada hari keenam mereka tidak mampu lagi untuk menahan keinginan untuk membuka kendi tersebut, lalu mereka sepakat untuk membukanya. Sebenarnya Ompu Raja Tumandi masih melarang istrinya untuk tidak membukanya, tetapi istrinya memaksakan supaya dibukakan saja.

Sewaktu kendi dibuka maka merekapun terkejut karena yang ada dalam kendi penuh dengan batangan emas. Namun batangan emas itu kemudian berubah perlahan-lahan menjadi rimpang kunyit. Maka tersadarlah kedua orang tua itu bahwa mereka sudah melanggar janjinya. Dan merekapun menangis sejadi-jadinya. Kemudian merekapun merasa takut hal ini diketahui oleh tetua kampong karena pesta penyambutan sudah harus dipersiapkan.

Kemudian satu per satu sanak saudara menanyakan kapan pesta penyambutan akan dilaksanakan, akan tetapi kedua orangtua diam saja sambil menundukkan kepala mereka bila berpapasan dengan orang sekitarnya. Sang ibu pun setiap pagi berkunjung ke liang dimana dia menemukan kendinya. Selang tujuh hari kemudian, sewaktu sang ibu berkunjung lagi pagi harinya, dia mencium bau harum bunga di sekitar liang dan melihat ada sepasang ular besar sedang berdiam di dalam liang dan terhampar bunga-bungaan beserta beberapa lembar daun sirih dan jeruk purut. Lalu kedua ular seolah bicara dan dimengerti oleh sang ibu bahwa mereka adalah Mangunsong dan Boru Natumandi yang menjelma menjadi ular dan tak dapat lagi berubah wujud menjadi manusia.

Mangunsong sebenarnya adalah seorang sakti yang dapat menjelma menjadi seekor ular, oleh karenanya dia dulunya mampu datang setiap hari menemui Boru Tumandi. Mangunsong datang dari kampungnya melalui lubang yang terdapat pada liang tersebut dalam wujud ular dan hanya muat untuk dilewati oleh ular. Setelah sampai pada liang dia menjelma lagi jadi manusia. Sewaktu mereka kawin lari, sang pangeran menjelma menjadi ular, lalu dengan suatu janji Boru Tumandi pun berubah menjadi ular. Untuk dapat jelmaan ular kembali menjadi manusia maka mereka harus memberi mahar kepada orang tua Boru Tumandi berupa mas-batangan, dan agar orang tuanya mampu membuat pesta penyambutannya dengan biaya yang dari emas tersebut.

Oleh karena ada janji yang tidak ditepati maka semua akan menjadi berantakan. Boru Tumandi tidak dapat lagi berubah menjadi manusi. Inilah sebuah pesan pada manusia bahwa sebuah janji adalah janji yang harus ditepati. Pada saat sekarang ini, Liang tersebut telah menjadi lokasi wisata local di kawasan Tarutung. Banyak orang percaya bahwa dengan Boru Tumandi dapat memberikan berkah kepada orang yang berat jodoh. Biasanya penduduk yang tinggal dekat dengan liang Boru Tumandi mengarahkan orang yang mau bernazar dengan menyediakan daun sirih dan jeruk purut dan telur sebagai media permintaan. Sungai yang mengalir disekitar kampong itu disebut dengan nama Aek Situmandi. Liang Boru Natumandi sekarang terletak di sebuah kampong yang bernama Desa Hutabarat Banjar Nauli.

Sabtu, 04 Juli 2009

Sampuraga Na Maila Marina


(Sampuraga Sidurhaka Terhadap Ibunya)

Cerita ini adalah legenda rakyat Batak Mandailing yang mengisahkan tentang kedurhakaan seorang anak terhadap ibunya yang kemudian termakan sumpah dan berubah menjadi sebuah kolam airpanas.

Dahulu, tersebutlah seorang pemuda bernama Sampuraga yang tinggal bersama ibunya di daerah Padang Bolak sebuah daerah Kecamatan di Kabupaten Padang Lawas Utara (dahulu masuk Tapanuli Selatan). Sampuraga dan ibunya hidup sangat miskin yang kesehariannya bekerja sebagai buruh tani di ladang orang sambil mencari kayu bakar. Pekerjaan keseharian ini dilakukan mereka dengan sungguh-sungguh dan jujur sehingga majikan menyayangi mereka. Kerajinan, kesungguhan dan kejujuran Sampuraga dan ibunya bekerja membuat sang majikan merasa iba akan tetapi tidak dapat berbuat banyak untuk membantu lebih dari apa yang mampu dia berikan.

Disuatu sore sehabis bekerja di ladang majikannya dan sewaktu hendak pulang ke gubuknya, dia dipanggil oleh majikannya. Sambil duduk bersama dia disuguhkan makanan dan minuman sekedarnya sambil berbincang-bincang. Lalu majikannya membuka pembicaraan dengan menyarankan untuk mencari kehidupan baru disuatu daerah yang dikatakan sangat subur dan penduduknya makmur tersebut. Saran ini memunculkan semangatnya untuk berubah.

Setelah Sampuraga pulang ke gubuknya, dia langsung mengutarakan kepada ibunya bahwa dia ingin pergi merantau ke negeri yang disebutkan oleh majikannya sangat subur dan penduduknya makmur. Tidak berapa lama kemudian Sampuraga pamitan dengan ibunya untuk memulai petualangannya merantau ke negeri orang. Ibunya merasa sedih untuk berpisah dari anaknya, namun dia harus teguh untuk melepaskan anaknya untuk mewujudkan cita-cita agar mereka tidak lagi miskin dan merana selamanya. Dengan derai airmata dan disertai doa seorang ibu maka Sampuragapun melangkahkan kakinya dengan pasti.

Dalam perjalanannya yang melelahkan, Sampuraga sampai disuatu daerah yang disebut Pidelhi dan sekarang bernama Pidoli Lombang di Kecamatan Penyabungan Kabupaten Mandailing Natal. Setelah berdiam di desa ini untuk beristirahat memulihkan tenaganya, lalu dia kemudian melanjutkan perjalanannya sehingga sampai disebuah desa bernama Sirambas. Pada saat inipun desa tersebut masih ada dan bernama Desa Sirambas Kecamatan Penyabungan Barat Kabupaten Madina di Sumatera Utara.

Sampuraga merasa cocok tinggal di desa itu lalu dia memantapkan keputusannya untuk tinggal di desa itu. Pada saat itu, Desa Sirambas dipimpin oleh seorang raja bernama Silanjang, kemudian dikenal sebagai Kerajaan Silancang. Sampuraga berkesempatan untuk mendapat pekerjaan pada usaha dagang yang dimiliki oleh raja Silanjang. Kebiasaannya bekerja dengan rajin dan jujur mendapat pujian dari sang raja sehingga rajapun mempercayakan sepenuhnya kepada usaha perdagangannya sehingga menjadi maju sangat pesat. Dengan sendirinya Sampuraga menjadi kaya raya. Kehidupannya sudah menjadi saudagar kaya dengan penampilan bagaikan raja pula.

Raja Silanjang menjadi jatuh hati kepada kesuksesan Sampuraga sehingga dia berniat mengawinkan putrinya dengan Sampuraga. Niatan itu tidak disia-siakan oleh Sampuraga lalu dia secara resmi melakukan pinangan. Tiba saatnya perkawinan dilangsungkan dalam suatu pesta meriah dengan mengundang raja-raja di sekitar negri itu. Berita pesta perkawinan itupun sampai ke telinga ibunya. Ibunya serasa tidak percaya bahwa anaknya ternyata telah sukses di negri orang dan menjadi seorang raja yang sedang melangsungkan perkawinannya.

Sempat terlintas dipikiran ibunya dan bertanya dalam hatinya mengapa Sampuraga tidak memberitahukan rencana perkawinannya dengan putri raja itu kepada ibunya? Apakah dia sudah melupakan ibunya? Namun masih terngiang ditelinganya bagaimana Sampuraga meyakinkan ibunya bahwa dia harus berhasil untuk merubah nasib mereka. Ibunya memberanikan diri untuk menghadiri pesta perkawinan Sampuraga anaknya itu. Dengan bersusah payah maka diapun sampailah di tempat acara berlangsung.

Dengan tubuh tua dan lusuh, ibunya terlihat menyolok ada disekitar pesta itu. Ibunya berusaha untuk bertemu langsung kepada Sampuraga, namun dia selalu tersingkir dari keramaian para undangan para raja-raja dan orang-orang kaya. Kemudian ibunya memberanikan diri berkata kepada seseorang agar menyampaikan langsung kepada Sampuraga bahwa ibunya ada datang menghadiri pesta perkawinannya. Karena orang itu tau bahwa ibu Sampuraga yang sedang meminta tolong itu, lantas dia mengajak si ibu itu mendekat kearah Sampuraga yang sedang bersanding.

Sampuraga merasa sangat malu mengetahui bahwa ibunya ada dihadapannya dalam keadaan lusuh dan tua. Diapun menyangkal bahwa itu adalah ibunya lantas dia membentak dan mengusir ibunya dan mengatakan bahwa dia bukanlah ibunya. Mengetahui sikap Sampuraga yang menyangkal ibunya, sehingga ibunya menangis dan sedih, sembari dia dipinggirkan oleh orang-orang sekitar.

Ibunya meronta dari usiran orang-orang. Sambil menangis dengan sangat sedih, ibunya berdoa dan mengutuk Sampuraga sebagai orang durhaka terhadap ibunya. Dia memeras susunya dan berkata bahwa Sampuraga hidup dari air susu ibunya, dan kalau memang benar Sampuraga telah durhaka terhadap ibunya, maka Tuhan akan menunjukkan keadilannya.

Tiba-tiba angin berhembus dengan kencang, badai membawa banjir airpanas besar sehingga tempat berlangsungnya pesta perkawinan itu tenggelam dan Sampuraga ikut tenggelam dan ikut mati. Sisa banjir airpanas itupun membentuk sebuah kolam airpanas, dan saat ini masih terdapat di Desa Sirambas dengan nama Airpanas Sampuraga.

Demikianlah kisah sebuah legenda tentang seorang anak yang durhaka terhadap ibunya menjadi kenyataan mendapat kutukan. Oleh karena itu, barang siapa yang tidak menghormati ibu, bapak, orangtua, leluhur; bertobatlah, berbuatlah dan mumpung waktu masih ada sebelum kutukan dating.

Rujukan cerita ada di http://www.madina.go.id/Content/Pariwisata/legenda.asp

Rabu, 03 Juni 2009

Pulau Simardan




Durhaka Kepada Orang Tua, Berwujud Menjadi Pulau

Cerita ini dipetik dari Waspada Online di www.waspada.co.id dengan judul aslinya “Legenda Simardan – Durhaka Kepada Orang Tua, Berubah Wujud Menjadi Pulau”, berikut adalah ceritanya:

Berbagai kisah dan cerita tentang legenda anak durhaka. Di antaranya, Malin Kundang di Sumatera Barat yang disumpah menjadi batu, Sampuraga di Mandailing Natal Sumatera Utara yang konon katanya, berubah menjadi sebuah sumur berisi air panas.

Di Kota Tanjungbalai, akibat durhaka terhadap ibunya, seorang pemuda dikutuk menjadi sebuah daratan yang dikelilingi perairan, yakni Pulau Simardan. Berbagai cerita masyarakat Kota Tanjungbalai, Simardan adalah anak seorang wanita miskin dan yatim. Pada suatu hari, dia pergi merantau ke negeri seberang, guna mencari peruntungan. Setelah beberapa tahun merantau dan tidak diketahui kabarnya, suatu hari ibunya yang tua renta, mendengar kabar dari masyarakat tentang berlabuhnya sebuah kapal layar dari Malaysia. Menurut keterangan masyarakat kepadanya, pemilik kapal itu bernama Simardan yang tidak lain adalah anaknya, yang bertahun-tahun tidak bertemu.

Bahagia anaknya telah kembali, ibu Simardan lalu pergi ke pelabuhan. Di pelabuhan, wanita tua itu menemukan Simardan berjalan bersama wanita cantik dan kaya raya. Dia lalu memeluk erat tubuh anaknya Simardan, dan mengatakan, Simardan adalah anaknya. Tidak diduga, pelukan kasih dan sayang seorang ibu, ditepis Simardan. Bahkan, tanpa belas kasihan Simardan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh. Walaupun istrinya meminta Simardan untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya, namun pendiriannya tetap tidak berubah. Selain itu, Simardan juga mengusir ibunya dan mengatakannya sebagai pengemis.


Berasal Dari Tapanuli

Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, Pulau Simardan masih sebuah perairan tempat kapal berlabuh. Lokasi berlabuhnya kapal tersebut di Jalan Sentosa Kelurahan Pulau Simardan Lingkungan IV Kota Tanjungbalai, kata tokoh masyarakat di P. Simardan, H.Daem, 80, warga Jalan Mesjid P. Simardan Kota Tanjungbalai. Tanjungbalai, terletak di 20,58 LU (Lintang Utara) dan 0,3 meter dari permukaan laut. Sedangkan luasnya sekitar 6.052,90 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 144.979 jiwa (sensus 2003-red).

Walaupun peristiwa tersebut terjadi di daerah Tanjungbalai, Daem mengatakan, Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjungbalai atau sekitar daerah Tapanuli. Hal itu juga dikatakan tokoh masyarakat lainnya, Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi Kota Tanjungbalai. “Daerah asal Simardan bukan Tanjungbalai, melainkan di hulu Tanjungbalai, yaitu daerah Porsea Tapanuli,” jelasnya.


Menjual Harta Karun

Dari berbagai cerita atau kisah tentang legenda anak durhaka, biasanya anak pergi merantau untuk mencari pekerjaan, dengan tujuan merubah nasib keluarga.Berbeda dengan Simardan, dia merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukannya di sekitar rumahnya, kata Marpaung.

“Simardan bermimpi lokasi harta karun. Esoknya, dia pergi ke tempat yang tergambar dalam mimpinya, dan memukan berbagai macam perhiasan yang banyak,” tutur Marpaung. Kemudian, Simardan berencana menjual harta karun yang ditemukannya itu, dan Tanjungbalai merupakan daerah yang ditujunya. Karena, jelas Marpaung, berdiri kerajaan besar dan kaya di Tanjungbalai. Tapi setibanya di Tanjungbalai, tidak satupun kerajaan yang mampu membayar harta karun temuan Simardan, sehingga dia terpaksa pergi ke Malaysia. “Salah satu kerajaan di Pulau Penang Malaysialah yang membeli harta karun tersebut. Bahkan, Simardan juga mempersunting putri kerajaan itu,” ungkapnya. Berbeda dengan keterangan Marpaung, menurut H.Daem, tujuan Simardan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun di Malaysia, Simardan akhirnya berhasil menjadi orang kaya dan mempersunting putri bangsawan sebagai isterinya.


Malu

Setelah berpuluh tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjungbalai bersama isterinya. Kedatangannya ke Tanjungbalai, menurut Daem, untuk berdagang sekaligus mencari bahan-bahan kebutuhan. Kalau menurut Marpaung, Simardan datang ke Tanjungbalai dilandasi karena tidak memiliki keturunan. Jadi atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami isteri itu pergi ke Tanjungbalai. Lebih lanjut dikatakan Marpaung, berita kedatangan Simardan di Tanjungbalai disampaikan masyarakat kepada ibunya. Gembira anak semata wayangnya kembali ke tanah air, sang ibu lalu mempersiapkan berbagai hidangan, berupa makanan khas keyakinan mereka yang belum mengenal agama. “Hidangan yang disiapkan ibunya adalah makanan yang diharamkan dalam agama Islam,” tutur Marpaung.

Dengan sukacita, ibu Simardan kemudian berangkat menuju Tanjungbalai bersama beberapa kerabat dekatnya. Sesampainya di Tanjungbalai, ternyata sikap dan perlakuan Simardan tidak seperti yang dibayangkannya. Simardan membantah bahwa orang tua tersebut adalah wanita yang telah melahirkannya. Hal itu dilakukan Simardan, jelas Marpaung, karena dia malu kepada isterinya ketika diketahui ibunya belum mengenal agama. “Makanan yang dibawa ibunya adalah bukti bahwa keyakinan mereka berbeda.” Sementara menurut H. Daem, perlakuan kasar Simardan karena malu melihat ibunya yang miskin. “Karena miskin, ibunya memakai pakaian compang-comping. Akibatnya, Simardan tidak mengakui sebagai orangtuanya.”


Kera Putih dan Tali Kapal

Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sembari memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan. Usai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita Marpaung dan Daem, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan.

Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap durhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan. “Sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan,” jelas Marpaung. Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjungbalai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi. Di samping itu, sekitar tahun lima puluhan masyarakat menemukan tali kapal berukuran besar di daerah Jalan Utama Pulau Simardan. Penemuan terjadi, ketika masyarakat menggali perigi (sumur). Selain tali kapal ditemukan juga rantai dan jangkar, yang diduga berasal dari kapal Simardan, kata Marpaung. Benar tidaknya legenda Simardan, tergantung persepsi kita. Tapi dengan ditemukannya tali, rantai dan jangkar kapal membuktikan bahwa dulu Pulau Simardan adalah perairan.

Sumber : Rahmad F Siregar (sn) , Waspada Online www.waspada.co.id

Tuak Dalam Legenda - 02

Legenda Tuak
Oleh: Rapolo

Pohon Enau dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren, dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya ‘nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot’. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo Sumatera Utara.
Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi.

Dalam tradisi orang Batak, tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu meninggal dunia.

Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. Pertanyaannya adalah kenapa tuak(nira) memiliki fungsi yang amat penting dalam kehidupan sosial-budaya orang Batak?

Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Siboau menolong abangnya?

Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.

Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.

“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.

“Ada apa, Bang!” jawab Beru.

“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.

“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.

“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.

“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.

“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.

Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.

Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.

“Selamat sore, Kek!”

“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”

“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”

“Siapa nama abangmu?”

“Tare Iluh, Kek!”

“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”

“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang. Apakah kakek tahu di mana negeri itu?

“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”

“Apakah saran Kakek itu?”

“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya."

Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”

Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.

Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.

Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Artikel ini dipetik dari rapolo.

Selasa, 02 Juni 2009

Tuak Dalam Legenda - 01


Palm Wine - Situak Natonggi
Oleh: Maridup Hutauruk

Mendengar kata wine tentu orang-orang akan terngiang pada minuman khas di Eropah maupun di negara-negara lain yang disebut minuman anggur. Sejarah minuman anggur sudah demikian lama ada pada peradaban manusia. Perancis termasuk negara yang paling terkenal sebagai produsen anggur disamping negara-negara Eropah lainnya termasuk negara-negara Amerika Latin dan Australia. Anggur yang diproduksi memang terbuat dari buah anggur dengan proses fermentasi yang menghasilkan dua jenis minuman anggur yang disebut anggur merah (red wine) dan anggur putih (white wine). Biasanya minuman anggur yang diproduksi disimpan di gudang bawah tanah (Dungeon) agar terkondisi sejuk. Semakin lama tersimpan akan semakin baik mutunya dan bahkan bila anggur yang tersimpan puluhan dan ratusan tahun tentu akan semakin mahal harganya.

Menurut catatan Alkitab bahwa Nabi Nuh adalah orang yang pertama kali berkebun anggur dan meminum anggur yang membuatnya mabuk dan selanjutnya mengeluarkan kutukan kepada cucunya Kanaan. Alkitab juga meriwayatkan bahwa Yesus sedemikian akrabnya dengan istilah anggur sehingga banyak perumpamaan-perumpamaanNya yang berintikan kepada anggur, dan bahkan membuat simbol bahwa anggur adalah darahNya dalam Perjamuan Terakhir (The Last Supper). Sebagai contoh Yesus berkata atau bertanya bahwa belukar berduri tidak mengeluarkan buah anggur. Juga ada perumpamaan tentang pekerja-pekerja di kebun anggur. Juga ada perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur. Yesus juga berkata bahwa Dia adalah pohon anggur sejati. Air menjadi anggur pada pesta perkawinan di Kana yang merupakan mujizat pertama yang dilakukan oleh Yesus. Sampai sekarang tradisi ritual keagamaan Jahudi masih menyediakan anggur yaitu pada perjamuan sebelum sabbat yang disebut Kiddush dan perjamuan setelah sabbat yang disebut Havdallah. Pada pesta perkawinan di Kana dan Perjamuan Terakhir tentu saja Yesus meminum anggur walaupun mungkin tidak sampai mabuk.

Pada masa kolonial Belanda di Indonesia bahwa Palm Wine disamping wine yang sebenarnya sudah termasuk minuman khas pada pesta-pesta dansa oleh orang-orang Belanda yang mengundang para petinggi-petinggi pribumi maupun orang-orang keturunan, seperti para pedagang-pedagang Cina dan India. Palm Wine yang dimaksud disini bukanlah terbuat dari anggur melainkan dari sadapan pohon aren atau enau yang orang Batak bilang bagot. Demikianlah orang-orang kolonial menyebutnya palm-wine, sementara orang Batak bilang tuak. Banyak suku-suku di daerah yang mengenal tuak sebagai minuman tradisional. Orang Badui di Banten juga mengenal tuak yang sama seperti di Tanah Batak. Ada juga kelompok penduduk di Jawa Timur yang mengkonsumsi tuak sebagai minuman khas. Di Sulawesi terutama di Sulawesi Utara, tuak diproses lanjut dengan penyulingan sehingga diperoleh minuman mirip sake di Jepang yang mengandung kadar alkohol tinggi sehingga sangat gampang memabukkan. Penduduk Pulau Nias ternyata memiliki minuman khas yang sama seperti di Sulawesi yang diproses lanjut dengan penyulingan dan mereka menyebutnya nifóru. Di Filipina, tuak juga merupakan minuman tradisional yang disadap dari bagot, dan ternyata orang Inggris juga mengenal tuak sehingga ada kata dalam Bahasa Inggeris dengan sebutan toddy.

Tuak yang menjadi minuman khas orang-orang Batak memang aslinya disadap dari pohon bagot, akan tetapi tuak minuman khas itu dapat pula disadap dari pohon kelapa. Maka secara umum bagi orang Batak sekarang ini bahwa tuak berdasarkan sumbernya dibagi dalam dua kategori yang disebut tuak bagot dan tuak kalapa. Berdasarkan prosesnya dikategorikan sebagai tuak raru dan tuak na tonggi. Dan adapula yang disebut sebagai tuak tangkasan yaitu tuak yang selalu disertakan sebagai minuman dalam suatu prosesi adat, termasuk tuak na tonggi yang pada umumnya dikhususkan untuk kaum wanita walaupun banyak pula kaum lelaki yang menggemarinya.

Secara umum tuak dikenal oleh masyarakat di Indonesia adalah jenis minuman yang disebut arak. Jenis minuman dari tuak yang lebih ringan dan lebih segar disebut nira, dengan rasa manis menyegarkan, tetapi nira sebenarnya disadap dari pohon kelapa dan bukan dari bagot. Melihat tuak secara fisik adalah seperti seduhan susu yang berwarna putih dan adapula yang berwarna putih kekuningan, sementara nira juga berwarna putih lebih bening.

Tuak, disamping sebagai minuman, merupakan bahan baku untuk pembuatan gula dengan berbagai sebutan seperti gula aren atau gula merah atau gula jawa karena orang-orang jawa memang lebih banyak memproses tuak menjadi gula. Untuk memproses tuak menjadi gula sangatlah sederhana. Secara tradisional, tuak hanya dimasak diatas kuali dengan kayu bakar selama beberapa jam, lalu diaduk sampai mengental dan dituang kedalam cetakan yang biasanya terbuat dari bongkol bambu atau batok kelapa. Belakangan ini tuak sudah diproses secara moderen menjadi kristal gula yang disebut palm sugar atau brown sugar dan penjualannya tidak lagi di pasar-pasar tradisional melainkan di super market dengan kemasan bermerek dagang untuk olesan gula pada roti. Tuak juga sebagai bahan mutlak untuk membuat cuka makan yang disebut Arenga Vinegar.

Bagaimana tuak menjadi minuman khas orang Batak dan bahkan menjadi penganan yang disertakan dalam prosesi adat, tentu sudah sangat panjang sejarahnya. Bermula dari sebuah legenda bagot (nama lain: arenga pinnata) yang dianggap sebagai pohon mistis. Sewaktu Marco Polo mengunjungi Sumatra tahun 1290, menyebutkan bahwa bangsa Batak sudah gemar minum tuak.

Bangsa Batak melegendakan sebelum penciptaan manusia bahwa di kerajaan Banua Ginjang (kayangan) sudah ada komunitas dewa-dewi yang dipimpin oleh Mulajadi Nabolon (Maha Pencipta Alam Semesta). Dewa Batara Guru memiliki putra dan putri yang menjadi dewa dan dewi, dan dua putrinya bernama Dewi Sorbajati dan Dewi Deakparujar. Sementara Dewa Mangalabulan juga memiliki putra dan putri yang menjadi dewa dan dewi. Salah seorang putra Dewa Mangalabulan bernama Dewa Odapodap sudah cukup dewasa untuk mendapatkan seorang putri pendamping. Dewa Mangalabulan bersusah hati karena putranya Dewa Odapodap berburuk rupa karena bentuknya seperti ilik atau sejenis kadal sehingga Dewa Odapodap merasa malu untuk keluar rumah untuk mencari sendiri pasangannya. Kegundahan Dewa Mangalabulan tentang anaknya ini memberanikan dirinya untuk mengadukannya kepada Mulajadi Nabolon dan meminta agar Dewa Odapodap dapat dinikahkan dengan putri Dewa Bataraguru. Lalu Dewa Mangalabulan pergi menghadap Dewa Bataraguru untuk melamar putrinya agar dipasangkan kepada putranya yang berbentuk kadal tersebut. Oleh karena lamaran ini adalah atas persetujuan Mulajadi Nabolon maka Dewa Bataraguru menyetujui untuk menikahkan putrinya Dewi Sorbajati dengan Dewa Odapodap. Olehkarena mengetahui Dewa Odapodap berburuk rupa seperti ilik maka Dewi Sorbajati tidak rela namun tidak kuasa untuk menolak perintah ayahnya. Singkat cerita, Dewi Sorbajati memohon agar pesta perkawinannya diiringi dengan gondang dan dia ingin melampiaskan tekanan dan penolakan jiwanya dalam tarian. Dewi Sorbajati menari semalaman hingga dia mengalami trance dan melompat ke Banua Tonga (dunia fana/ alam nyata, yang kita kenal sekarang). Pada masa itu Banua Tonga masih berupa lautan dan tidak ada tanah untuk berpijak, maka Dewi Sorbajati terombang ambing di lautan.

Karena pesta perkawinan harus berlangsung maka Dewa Bataraguru meminta putri kedua yaitu Dewi Deakparujar untuk menerima Dewa Odapodap menjadi suaminya. Dengan terpaksa dia menerimanya dengan syarat dan memohon kepada Mulajadi untuk diberikan segumpal kapas agar dia terlebih dahulu memintal benang dan kemudian menenun ulos yang disebut Ulos Bintang Maratur. Sewaktu memintal benang, Dewi Deakparujar memperlama pemintalannya sehingga Mulajadi Nabolon menegurnya. Sewaktu Mulajadi Nabolon menghampirinya maka dia terkejut dan terjatuhlah pintalan benang tersebut dan tongkol benangnya bergantung-gantung di Banua Tonga. Dengan rasa takut dan gemetar dia menarik tongkol benang tersebut akan tetapi tongkol benang tersebut terus melorot mengakibatkan Dewi Deakparujar terpeleset dan ikut tergantung di Banua Tonga. Lalu dia memohon kepada Mulajadi Nabolon agar dia diberikan segumpal tanah untuk tempatnya berpijak sambil melakukan penenunan ulos. Semakin lebar ulos ditenun maka semakin lebar pula tanah berpijaknya karena ulos yang ditenun tersebut menjadi hamparan tanah tempat tinggalnya. Akhirnya Mulajadi Nabolon dan para dewa mengutus Dewa Odapodap untuk menemui Dewi Deakparujar dan kemudian menjadi pasangan yang melahirkan manusia Batak pertama di Banua Tonga.

Dewi Sorbajati yang terapungapung di air lautan akhirnya terdampar ditanah yang ditempa oleh Dewi Deakparujar dan bertumbuh menjadi sebuah pohon yang disebut bagot. Maka bagot menjadi pohon mistis yang seluruh bagian-bagiannya sangat berguna bagi keperluan manusia. Daunnya dapat di anyam untuk digunakan atap atau dinding sopo di sawah dan ladang. Lidi daunnya dapat dibuat untuk sapu lidi dan penggunaan pada anyaman atap rumah atau tusuk sate dan keperluan lainnya. Ijuknya dapat digunakan untuk atap ruma batak, termasuk untuk penyaringan air, atau bahkan dapat digunakan untuk busa jok mobil yang mahal harganya. Ijuh halus yang terdapat pada pelepah pohon dulunya digunakan untuk menyalakan api dari percik lantakan batu api. Sagu yang terdapat pada tengah batangnya dapat diproses menjadi bahan makanan yang disebut mie bihun. Batak Karo dulunya memanfaatkan sagu bagot untuk pembiakan sejenis ulat sagu yang berwarna putih dan penjadi penganan khas yang disebut kidu-kidu dan sangat kaya dengan protein tinggi. Batang kerasnya dapat digunakan untuk titian anak sungai atau bila dibelah akan menjadi bahan untuk penyaluran air ke sawah. Batang ini pula yang digunakan untuk cantolan pengikat atap ijuk pada Ruma Batak yang disebut tarugi. Buahnya (halto) digunakan untuk bahan makanan yang disebut kolang-kaling. Dari tangkai bunga jantan yang tidak bakal menjadi buah dapat disadap untuk mengambil tetesan airnya untuk menjadi tuak dan produk-produk yang disebutkan sebelumnya, disebutlah sebagai air susu sang dewi Siboru Sorbajati.

Demikianlah hanya secuil cuplikan legenda bagot sebagai pohon mistis bagi orang Batak dan kenyataannya tidak termanfaatkan kegunaannya yang menyangkut hajat hidup orang-orang Batak secara ekonomis, bahkan ada berupa pantangan bila ada bagot yang tumbuh dekat rumah akan mendatangkan bencana, karena katanya bagot menjadi sasaran empuk dari sambaran petir.

Pada masa sekarang ini orang Batak memanfaatkan bagot hanya sebagai penghasil tuak, sementara kegunaan lainnya hampir tak dimanfaatkan lagi. Mungkin ini pula yang mengindikasikan kehidupan perekonomian rakyat di desa-desa Tanah Batak begitu melorot karena memang sudah tidak memaknai lagi bahwa bagot adalah jelmaan dari dewi yang dulunya bermukim di kayangan yang pada dasarnya sebagai salah satu unsur tani yang mampu memakmurkan. Apakah pohon produktif seperti kopi sigarar utang atau mangga atau pinasa atau durian atau haminjon mampu menandingi fungsi2 yang dihasilkan oleh bagot? Dari kajian yang diuraikan diatas tentu bagot merupakan superior dari tanaman-tanaman endemik yang tumbuh di Tanah Batak. Apakah pula ini mengindikasikan datangnya kutukan karena tidak menghargai satu jelmaan Dewi yang dipercaya oleh orang Batak dahulu? Wallahuallam! Kita boleh menilai sendiri.

Bagot sebagai pohon produktif bukanlah merupakan pohon yang dibudidayakan oleh orang Batak, melainkan tumbuh secara alami melalui penyebaran binatang seperti rubah dan musang. Habitat tumbuhnya sekitar 200-1200 dpl namun lebih produktif untuk menghasilkan tuak pada ketinggian tumbuh sekitar 350-900 dpl. Pada tanah dataran rendah sekitar permukaan laut tanaman ini tidak tumbuh sehingga produksi tuak diperoleh dari penyadapan pohon kelapa yang menghasilkan tuak dan nira. Disamping sebagai pohon yang pada dasarnya bernilai ekonomis tinggi, maka bagot merupakan penyangga kesuburan tanah karena mampu menahan banyak air tanah dan mencegah kelongsoran tanah-tanah bertebing.

Kalau kita menyusuri jalan-jalan lintas di Tanah Batak semisal jalan lintas selepas Sipirok sampai ke Medan atau selepas Sibolga sampai ke Medan, maka di kiri kanan jalan akan banyak terlihat kedai-kedai yang disebut lapo tuak sebagai tempat orang-orang Batak meluangkan waktunya berkumpul bercengkerama antar sesama untuk menikmati tuak sebagai minuman khas. Ada tercatat dalam sejarahnya bahwa komunitas Batak yang ada di Tanah Batak memang sangat doyan minum tuak yang memang kontur tanahnya berbukit-bukit bercuaca relatif dingin sehingga membutuhkan kehangatan melalui kebiasaan minum tuak. Sebelum Tanah Batak dijajah Paderi tak terkecuali komunitas Batak di Tanah Batak selatan juga doyan dengan minum tuak, namun di jaman kemerdekaan ini komunitas Batak di utara lah yang tetap memelihara ke-khas-an ini sampai sekarang dan bahkan sampai keseluruh pelosok tanah air dimana bermukim orang-orang Batak akan selalu ada yang disebut lapo tuak.

Kehangatan tuak yang memang mengandung kadar alkohol sekitar 3-5% merupakan minuman murah meriah yang tidak memandang klas dan status sosial bagi pengkonsumsinya. Dahulu di Tanah Batak ada diproduksi jenis minuman keras golongan B atau A yang disebut gimlet yang konon katanya terbuat dari buah haramonting sejenis tanaman semak liar yang banyak tumbuh di Tanah Batak, namun jenis minuman ini sudah tidak kelihatan lagi dan mungkin dilarang atau kalah bersaing dengan tuak. Kandungan mineral yang cukup komplit dari tuak sebenarnya berguna untuk kesehatan tubuh apabila dikonsumsi secukupnya sesuai dengan kebutuhan. Ada anggapan bahwa seseorang yang berpenyakit gula (diabetes) dianjurkan untuk mengkonsumsi tuak karena kadar gula darah dapat terlarut oleh mineral yang terdapat pada tuak dan dikeluarkan melalui respirasi kencing. Oleh karena lancar kencing ini pula maka tuak dianggap sangat baik untuk mencegah penyakit ginjal dan kencing batu. Tuak na tonggi untuk kaum wanita terutama yang baru melahirkan sering diberikan karena dianggap sebagai penambah darah dan menghangatkan serta akan memperlancar pengeluaran air susu untuk si bayi dan diasumsikan sang Dewi Sorbajati yang memelihara sang bayi dengan air susunya alias tuak. Wallahualam! Masih perlu diadakan penelitian supaya dapat teruji secara medis.

Proses pembuatan tuak menjadi minuman sebenarnya tidak memiliki standar baku makanya secara umum bahwa setiap tuak yang disajikan di lapo tuak mempunyai citarasa yang berbeda-beda. Setiap penyadap (parragat) memiliki standar racikan sendiri-sendiri yang saling menonjolkan keunggulannya. Tuak yang dikonsumsi siap minum bukanlah tuak yang langsung turun dari sadapan melainkan masih melalui racikan oleh parragat karena tuak yang dari ragatan masih kental dan bahkan hampir seperti bubur. Formula racikan tuak biasanya dirahasiakan oleh parragat, namun sesama parragat sebenarnya sudah saling mengetahui formula tuaknya semisal yang disebut sebagai formula 1-4, 1-6, 1-8 yang artinya pencampuran antara tuak asli yang belum dapat diminum dengan air sebagai campuran pengencer. Kadang-kadang racikan tuak yang sampai di Lapo masih pula diracik oleh parlapo dengan harapan akan mendapat keuntungan yang lebih banyak dengan mengorbankan rasa dan efek kehangatan dan penenangan pikiran. Oleh karena belum ada standarisasi pencampuran tuak yang layak minum maka sangat disangsikan pula nilai higienisnya. Adakalanya pencampuran dilakukan dengan memberikan air yang belum matang dan disangsikan kebersihannya. Adapula peracikan yang diberi air cucian beras untuk mengelabui warna putih dan adapula racikan dicampur dengan ragi untuk berusaha menyamai rasa. Maka tak jarang bahwa setelah meminum tuak seseorang menderita sakit perut atau mencret-mencret.

Dari perbandingan pencampuran tuak asli dengan air dengan komposisi tertentu dapat diperoleh tuak siap minum yang terasa manis, dan inilah yang disebut sebagai tuak na tonggi. Jenis tuak manis biasanya digemari oleh para wanita termasuk juga para kaum pria akan tetapi secara umum kaum pria lebih menggemari tuak yang mengandung rasa pahit tertentu sebagaimana yang tersedia di lapo tuak. Untuk mendapatkan rasa pahit tertentu ini maka tuak akan dibubuhi sejenis serat kayu yang disebut raru. Jenis raru pun ada dua jenis yaitu yang tidak mengeluarkan warna sehingga warna tuak tetap sebagaimana warnanya, tetapi ada juga raru yang mengakibatkan warna tuak agak berubah menjadi berwarna lebih kuning.

Tuak yang disajikan di bonapasogit memanglah tuak yang berasal dari bagot maka disebutlah sebagai tuak bagot. Sedangkan tuak yang ada di tanah dataran rendah seperti di Kota Medan, Jakarta dan kota-kota lainnya yang berada di dataran rendah adalah disebut tuak kalapa karena habitat bagot tumbuh di dataran relatif tinggi sedang kelapa tumbuh di dataran rendah.

Sering juga kita mendengar sebutan tuak tangkasan padahal tuak tersebut bukanlah tuak tangkasan yang sebenarnya. Ada asumsi kalau tuak tangkasan disebut hanya karena rasanya yang enak sesuai selera, padahal tuak tersebut sudah dari hasil sadapan tangkai yang kesekian kalinya. Tuak tangkasan sebenarnya adalah tuak yang dihasilkan dari tangkai bunga yang pertamakali disadap dari satu pohon bagot dan biasanya memang mengandung citarasa yang lengkap sebagai tuak konsumsi. Kalau tuak yang disadap dari tangkai bunga berikutnya tidak lagi disebut sebagai tuak tangkasan dan mungkin kandungan mineral yang mempengaruhi cita rasanya sudah tidak sama lagi dengan sadapan dari tangkai yang pertama. Keduanya tuak tangkasan dan tuak na tonggi dahulu selalu disajikan dalam suatu prosesi adat, namun belakaangan ini keberadaan tuak tangkasan dan tuak na tonggi sudah ditukar dengan amplop yang berisi uang sejumlah tertentu sebagai media adat dan disebut pasi tuak na tonggi (pemberian sejumlah dana agar sipenerima dapat membeli sendiri tuak na tonggi). Dalam acara adat pemberian makan khusus kepada orang tua yang disebut manulangi selalu disertai dengan pemberian tuak na tonggi sebagai minumannya dengan harapan orang tua akan memberkati anak-anaknya mendapat kehidupan yang manis. Dalam upacara penguburan orang tua yang meninggal dan sudah mendapat status sebagai sarimatua atau saurmatua, biasanya kuburan yang disebut tambak ditanami sejenis tanaman bakung. Upacara menanam bakung ini disebut sebagai manuan ompuompu akan disertai dengan menuangkan tuak na tonggi dan air bersih ke tambak tersebut. Demikianlah peran tuak dalam tatanan adat-istiadat Bangsa Batak, akan tetapi untuk penyembahan kepada Mulajadi Nabolon dan para dewa-dewi penghuni Banua Ginjang, penyediaan tuak tidak dilakukan karena dianggap sebagai hasil dari jelmaan Dewi Sorbajati yang membangkang.

Proses penyadapan tuak dari bagot disebut mar-ragat biasanya dilakukan oleh seorang par-ragat dengan melakukan ritual-ritual tertentu. Setiap par-ragat memahami bahwa bagot adalah jelmaan dewi yang harus dibujuk rayu agar mau memberikan tetesan air susunya yang disebut tuak. Tangkai tandan bunga jantan yang akan diragat biasanya dielus-elus dan digoyang-goyang serta diketuk-ketuk dengan sepotong kayu sambil dinyanyi-nyanyikan syair rayuan yang berbunyi:

“Boru Sorbajati siboru nauli, Boru na so ra jadi na uli diagati”

Demikianlah syair pantun tersebut dinyanyikan berulang-ulang sampai dirasa Siboru Sorbajati dianggap sudah termakan bujuk rajuan oleh par-ragat. Bila rayuan itu memang diterima oleh Dewi Sorbajati maka diyakini penyadapan akan berlangsung lama berbulan-bulan dan menghasilkan tuak yang banyak dari satu tandan. Penyadapan biasanya dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore harinya dengan menampung tetesan tuak dalam sebuah wadah yang terbuat dari bambu yang disebut poting.

Apabila seorang par-ragat mampu menghasilkan 10 botol untuk dua kali panen sehari, dan dengan formula racikan 1-8 maka akan dihasilkan jumlah tuak sebanyak 80 botol yang setara dengan 160 gelas. Satu gelas tuak di bonapasogit berharga Rp 1000, sehingga seorang par-ragat akan mendapat penghasilan sebesar Rp 160.000 per hari. Bila penyadapan dapat berlangsung selama 2 bulan untuk satu tandan, maka setiap tandan bagot bagi par-ragat akan mampu berpenghasilan senilai Rp 9.600.000, suatu penghasilan yang fantastis! Beginilah apabila seorang Batak mau menghargai budaya leluhurnya, maka seorang dewi murtad seperti Siboru Sorbajati akan bersedia memberikan rejeki berlimpah kepada yang mau dan mampu bersikap rendah hati merayu rejeki. Kalau tandan yang dihasilkan oleh satu pohon bagot mencapai 3-5 tandan sebelum pohon itu mati, bahkan batang dan inti batang serta serabut dan lidinya masih dapat termanfaatkan, maka secara kasar satu pohon akan bernilai setara dengan Rp 50.000.000. Sungguh fantastis dan sangat tinggi nilai ekonomis sebuah pohon bagot jelmaan Dewi Sorbajati.

Itulah riwayat tuak yang bahasa kerennya disebut palm wine ternyata bermakna tinggi bagi Bangsa Batak dan pohon bagot yang banyak tumbuh di Tanah Batak ternyata secara ekonomis sangat menggiurkan. Siapa mau invest? Silahkan kalkulasi prospektifnya. Horas.

Artikel ini dipetik dari:
Naipospos Online, Maridup's Blogs, Bupatitaput.