Tampilkan postingan dengan label durhaka. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label durhaka. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 04 Juli 2009

Sampuraga Na Maila Marina


(Sampuraga Sidurhaka Terhadap Ibunya)

Cerita ini adalah legenda rakyat Batak Mandailing yang mengisahkan tentang kedurhakaan seorang anak terhadap ibunya yang kemudian termakan sumpah dan berubah menjadi sebuah kolam airpanas.

Dahulu, tersebutlah seorang pemuda bernama Sampuraga yang tinggal bersama ibunya di daerah Padang Bolak sebuah daerah Kecamatan di Kabupaten Padang Lawas Utara (dahulu masuk Tapanuli Selatan). Sampuraga dan ibunya hidup sangat miskin yang kesehariannya bekerja sebagai buruh tani di ladang orang sambil mencari kayu bakar. Pekerjaan keseharian ini dilakukan mereka dengan sungguh-sungguh dan jujur sehingga majikan menyayangi mereka. Kerajinan, kesungguhan dan kejujuran Sampuraga dan ibunya bekerja membuat sang majikan merasa iba akan tetapi tidak dapat berbuat banyak untuk membantu lebih dari apa yang mampu dia berikan.

Disuatu sore sehabis bekerja di ladang majikannya dan sewaktu hendak pulang ke gubuknya, dia dipanggil oleh majikannya. Sambil duduk bersama dia disuguhkan makanan dan minuman sekedarnya sambil berbincang-bincang. Lalu majikannya membuka pembicaraan dengan menyarankan untuk mencari kehidupan baru disuatu daerah yang dikatakan sangat subur dan penduduknya makmur tersebut. Saran ini memunculkan semangatnya untuk berubah.

Setelah Sampuraga pulang ke gubuknya, dia langsung mengutarakan kepada ibunya bahwa dia ingin pergi merantau ke negeri yang disebutkan oleh majikannya sangat subur dan penduduknya makmur. Tidak berapa lama kemudian Sampuraga pamitan dengan ibunya untuk memulai petualangannya merantau ke negeri orang. Ibunya merasa sedih untuk berpisah dari anaknya, namun dia harus teguh untuk melepaskan anaknya untuk mewujudkan cita-cita agar mereka tidak lagi miskin dan merana selamanya. Dengan derai airmata dan disertai doa seorang ibu maka Sampuragapun melangkahkan kakinya dengan pasti.

Dalam perjalanannya yang melelahkan, Sampuraga sampai disuatu daerah yang disebut Pidelhi dan sekarang bernama Pidoli Lombang di Kecamatan Penyabungan Kabupaten Mandailing Natal. Setelah berdiam di desa ini untuk beristirahat memulihkan tenaganya, lalu dia kemudian melanjutkan perjalanannya sehingga sampai disebuah desa bernama Sirambas. Pada saat inipun desa tersebut masih ada dan bernama Desa Sirambas Kecamatan Penyabungan Barat Kabupaten Madina di Sumatera Utara.

Sampuraga merasa cocok tinggal di desa itu lalu dia memantapkan keputusannya untuk tinggal di desa itu. Pada saat itu, Desa Sirambas dipimpin oleh seorang raja bernama Silanjang, kemudian dikenal sebagai Kerajaan Silancang. Sampuraga berkesempatan untuk mendapat pekerjaan pada usaha dagang yang dimiliki oleh raja Silanjang. Kebiasaannya bekerja dengan rajin dan jujur mendapat pujian dari sang raja sehingga rajapun mempercayakan sepenuhnya kepada usaha perdagangannya sehingga menjadi maju sangat pesat. Dengan sendirinya Sampuraga menjadi kaya raya. Kehidupannya sudah menjadi saudagar kaya dengan penampilan bagaikan raja pula.

Raja Silanjang menjadi jatuh hati kepada kesuksesan Sampuraga sehingga dia berniat mengawinkan putrinya dengan Sampuraga. Niatan itu tidak disia-siakan oleh Sampuraga lalu dia secara resmi melakukan pinangan. Tiba saatnya perkawinan dilangsungkan dalam suatu pesta meriah dengan mengundang raja-raja di sekitar negri itu. Berita pesta perkawinan itupun sampai ke telinga ibunya. Ibunya serasa tidak percaya bahwa anaknya ternyata telah sukses di negri orang dan menjadi seorang raja yang sedang melangsungkan perkawinannya.

Sempat terlintas dipikiran ibunya dan bertanya dalam hatinya mengapa Sampuraga tidak memberitahukan rencana perkawinannya dengan putri raja itu kepada ibunya? Apakah dia sudah melupakan ibunya? Namun masih terngiang ditelinganya bagaimana Sampuraga meyakinkan ibunya bahwa dia harus berhasil untuk merubah nasib mereka. Ibunya memberanikan diri untuk menghadiri pesta perkawinan Sampuraga anaknya itu. Dengan bersusah payah maka diapun sampailah di tempat acara berlangsung.

Dengan tubuh tua dan lusuh, ibunya terlihat menyolok ada disekitar pesta itu. Ibunya berusaha untuk bertemu langsung kepada Sampuraga, namun dia selalu tersingkir dari keramaian para undangan para raja-raja dan orang-orang kaya. Kemudian ibunya memberanikan diri berkata kepada seseorang agar menyampaikan langsung kepada Sampuraga bahwa ibunya ada datang menghadiri pesta perkawinannya. Karena orang itu tau bahwa ibu Sampuraga yang sedang meminta tolong itu, lantas dia mengajak si ibu itu mendekat kearah Sampuraga yang sedang bersanding.

Sampuraga merasa sangat malu mengetahui bahwa ibunya ada dihadapannya dalam keadaan lusuh dan tua. Diapun menyangkal bahwa itu adalah ibunya lantas dia membentak dan mengusir ibunya dan mengatakan bahwa dia bukanlah ibunya. Mengetahui sikap Sampuraga yang menyangkal ibunya, sehingga ibunya menangis dan sedih, sembari dia dipinggirkan oleh orang-orang sekitar.

Ibunya meronta dari usiran orang-orang. Sambil menangis dengan sangat sedih, ibunya berdoa dan mengutuk Sampuraga sebagai orang durhaka terhadap ibunya. Dia memeras susunya dan berkata bahwa Sampuraga hidup dari air susu ibunya, dan kalau memang benar Sampuraga telah durhaka terhadap ibunya, maka Tuhan akan menunjukkan keadilannya.

Tiba-tiba angin berhembus dengan kencang, badai membawa banjir airpanas besar sehingga tempat berlangsungnya pesta perkawinan itu tenggelam dan Sampuraga ikut tenggelam dan ikut mati. Sisa banjir airpanas itupun membentuk sebuah kolam airpanas, dan saat ini masih terdapat di Desa Sirambas dengan nama Airpanas Sampuraga.

Demikianlah kisah sebuah legenda tentang seorang anak yang durhaka terhadap ibunya menjadi kenyataan mendapat kutukan. Oleh karena itu, barang siapa yang tidak menghormati ibu, bapak, orangtua, leluhur; bertobatlah, berbuatlah dan mumpung waktu masih ada sebelum kutukan dating.

Rujukan cerita ada di http://www.madina.go.id/Content/Pariwisata/legenda.asp

Rabu, 03 Juni 2009

Pulau Simardan




Durhaka Kepada Orang Tua, Berwujud Menjadi Pulau

Cerita ini dipetik dari Waspada Online di www.waspada.co.id dengan judul aslinya “Legenda Simardan – Durhaka Kepada Orang Tua, Berubah Wujud Menjadi Pulau”, berikut adalah ceritanya:

Berbagai kisah dan cerita tentang legenda anak durhaka. Di antaranya, Malin Kundang di Sumatera Barat yang disumpah menjadi batu, Sampuraga di Mandailing Natal Sumatera Utara yang konon katanya, berubah menjadi sebuah sumur berisi air panas.

Di Kota Tanjungbalai, akibat durhaka terhadap ibunya, seorang pemuda dikutuk menjadi sebuah daratan yang dikelilingi perairan, yakni Pulau Simardan. Berbagai cerita masyarakat Kota Tanjungbalai, Simardan adalah anak seorang wanita miskin dan yatim. Pada suatu hari, dia pergi merantau ke negeri seberang, guna mencari peruntungan. Setelah beberapa tahun merantau dan tidak diketahui kabarnya, suatu hari ibunya yang tua renta, mendengar kabar dari masyarakat tentang berlabuhnya sebuah kapal layar dari Malaysia. Menurut keterangan masyarakat kepadanya, pemilik kapal itu bernama Simardan yang tidak lain adalah anaknya, yang bertahun-tahun tidak bertemu.

Bahagia anaknya telah kembali, ibu Simardan lalu pergi ke pelabuhan. Di pelabuhan, wanita tua itu menemukan Simardan berjalan bersama wanita cantik dan kaya raya. Dia lalu memeluk erat tubuh anaknya Simardan, dan mengatakan, Simardan adalah anaknya. Tidak diduga, pelukan kasih dan sayang seorang ibu, ditepis Simardan. Bahkan, tanpa belas kasihan Simardan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh. Walaupun istrinya meminta Simardan untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya, namun pendiriannya tetap tidak berubah. Selain itu, Simardan juga mengusir ibunya dan mengatakannya sebagai pengemis.


Berasal Dari Tapanuli

Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, Pulau Simardan masih sebuah perairan tempat kapal berlabuh. Lokasi berlabuhnya kapal tersebut di Jalan Sentosa Kelurahan Pulau Simardan Lingkungan IV Kota Tanjungbalai, kata tokoh masyarakat di P. Simardan, H.Daem, 80, warga Jalan Mesjid P. Simardan Kota Tanjungbalai. Tanjungbalai, terletak di 20,58 LU (Lintang Utara) dan 0,3 meter dari permukaan laut. Sedangkan luasnya sekitar 6.052,90 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 144.979 jiwa (sensus 2003-red).

Walaupun peristiwa tersebut terjadi di daerah Tanjungbalai, Daem mengatakan, Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjungbalai atau sekitar daerah Tapanuli. Hal itu juga dikatakan tokoh masyarakat lainnya, Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi Kota Tanjungbalai. “Daerah asal Simardan bukan Tanjungbalai, melainkan di hulu Tanjungbalai, yaitu daerah Porsea Tapanuli,” jelasnya.


Menjual Harta Karun

Dari berbagai cerita atau kisah tentang legenda anak durhaka, biasanya anak pergi merantau untuk mencari pekerjaan, dengan tujuan merubah nasib keluarga.Berbeda dengan Simardan, dia merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukannya di sekitar rumahnya, kata Marpaung.

“Simardan bermimpi lokasi harta karun. Esoknya, dia pergi ke tempat yang tergambar dalam mimpinya, dan memukan berbagai macam perhiasan yang banyak,” tutur Marpaung. Kemudian, Simardan berencana menjual harta karun yang ditemukannya itu, dan Tanjungbalai merupakan daerah yang ditujunya. Karena, jelas Marpaung, berdiri kerajaan besar dan kaya di Tanjungbalai. Tapi setibanya di Tanjungbalai, tidak satupun kerajaan yang mampu membayar harta karun temuan Simardan, sehingga dia terpaksa pergi ke Malaysia. “Salah satu kerajaan di Pulau Penang Malaysialah yang membeli harta karun tersebut. Bahkan, Simardan juga mempersunting putri kerajaan itu,” ungkapnya. Berbeda dengan keterangan Marpaung, menurut H.Daem, tujuan Simardan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun di Malaysia, Simardan akhirnya berhasil menjadi orang kaya dan mempersunting putri bangsawan sebagai isterinya.


Malu

Setelah berpuluh tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjungbalai bersama isterinya. Kedatangannya ke Tanjungbalai, menurut Daem, untuk berdagang sekaligus mencari bahan-bahan kebutuhan. Kalau menurut Marpaung, Simardan datang ke Tanjungbalai dilandasi karena tidak memiliki keturunan. Jadi atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami isteri itu pergi ke Tanjungbalai. Lebih lanjut dikatakan Marpaung, berita kedatangan Simardan di Tanjungbalai disampaikan masyarakat kepada ibunya. Gembira anak semata wayangnya kembali ke tanah air, sang ibu lalu mempersiapkan berbagai hidangan, berupa makanan khas keyakinan mereka yang belum mengenal agama. “Hidangan yang disiapkan ibunya adalah makanan yang diharamkan dalam agama Islam,” tutur Marpaung.

Dengan sukacita, ibu Simardan kemudian berangkat menuju Tanjungbalai bersama beberapa kerabat dekatnya. Sesampainya di Tanjungbalai, ternyata sikap dan perlakuan Simardan tidak seperti yang dibayangkannya. Simardan membantah bahwa orang tua tersebut adalah wanita yang telah melahirkannya. Hal itu dilakukan Simardan, jelas Marpaung, karena dia malu kepada isterinya ketika diketahui ibunya belum mengenal agama. “Makanan yang dibawa ibunya adalah bukti bahwa keyakinan mereka berbeda.” Sementara menurut H. Daem, perlakuan kasar Simardan karena malu melihat ibunya yang miskin. “Karena miskin, ibunya memakai pakaian compang-comping. Akibatnya, Simardan tidak mengakui sebagai orangtuanya.”


Kera Putih dan Tali Kapal

Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sembari memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan. Usai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita Marpaung dan Daem, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan.

Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap durhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan. “Sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan,” jelas Marpaung. Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjungbalai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi. Di samping itu, sekitar tahun lima puluhan masyarakat menemukan tali kapal berukuran besar di daerah Jalan Utama Pulau Simardan. Penemuan terjadi, ketika masyarakat menggali perigi (sumur). Selain tali kapal ditemukan juga rantai dan jangkar, yang diduga berasal dari kapal Simardan, kata Marpaung. Benar tidaknya legenda Simardan, tergantung persepsi kita. Tapi dengan ditemukannya tali, rantai dan jangkar kapal membuktikan bahwa dulu Pulau Simardan adalah perairan.

Sumber : Rahmad F Siregar (sn) , Waspada Online www.waspada.co.id