Minggu, 03 Oktober 2010

Tunggal Panaluan

Oleh: Prof. M. Sorimangaraja Sitanggang


Pada suatu hari Raja Panggana yang terkenal pandai memahat dan mengukir, mengadakan pengembaraan keliling negeri. Untuk biaya hidupnya, Raja Panggana sering memenuhi permintaan penduduk untuk memahat patung atau mengukir rumah. Walaupun sudah banyak negeri yang dilaluinya dan sudah banyak patung dan ukiran yang dikerjakannya, masih terasa padanya sesuatu kekurangan yang membuat dirinya selalu gelisah. Untuk menghilangkan kegelisahannya, ia hendak mengasingkan diri pada satu tempat yang sunyi.

Di dalam perjalanan di padang belantara yang penuh dengan alang-alang, ia sangat tertarik pada sebatang pohon tunggal yang hanya itu saja terdapat pada padang belantara tersebut. Melihat sebatang pohon tunggal itu Raja Panggana tertegun. Diperhatikannya dahan pohon itu, ranting dan daunnya. Entah apa yang tumbuh pada diri Raja Panggana, ia melihat pohon itu seperti putri menari.

Dikeluarkannya alat-alatnya, ia mulai bekerja memahat pohon itu menjadi patung seorang putri yang sedang menari. Ia sangat senang, gelisah hilang. Sebagai seorang seniman ia baru pernah mengagumi hasil kerjanya yang begitu cantik dan mempesona. Seolah-olah dunia ini telah menjadi miliknya. Makin dipandangnya hasil kerjanya, semakin terasa pada dirinya suatu keagungan. Pada pandangan yang demikian, ia melihat patung putri itu mengajaknya untuk menari bersama. Ia menari bersama patung dipadang belantara yang sunyi tiada orang.

Demikianlah kerja Raja Panggana hari demi hari bersama putri yang diciptakannya dari sebatang kayu. Raja Panggana merasa senang dan bahagia bersama patung putri. Tetapi apa hendak dikata, persediaan makanan Raja Panggana semakin habis. Apakah gunanya saya tetap bersama patung ini kalau tidak makan? biarlah saya menari sepuas hatiku dengan patung ini untuk terakhir kali. Demikian Raja Panggana dengan penuh haru meninggalkan patung itu. dipadang rumput yang sunyi sepi tiada berkawan. Raja Panggana sudah menganggap patung putri itu sebagian dari hidupnya.

Berselang beberapa hari kemudian, seorang pedagang kain dan hiasan berlalu dari tempat itu. Baoa Partigatiga demikian nama pedagang itu tertegun melihat kecantikan dan gerak sikap tari patung putri itu. Alangkah cantiknya si patung ini apabila saya beri berpakaian dan perhiasan. Baoa Partigatiga membuka kain dagangannya. Dipilihnya pakaian dan perhiasan yang cantik dan dipakaikannya kepada patung sepuas hatinya.

Ia semakin terharu pada Baoa Partigatiga belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik itu. dipandanginya patung tadi seolah-olah ia melihat patung itu mengajaknya menari. Menarilah Baoa Partigatiga mengelilingi patung sepuas hatinya. Setelah puas menari ia berusaha membawa patung dengannya tetapi tidak dapat, karena hari sudah makin gelap, ia berpikir kalau patung ini tidak kubawa biarlah pakaian dan perhiasan ini kutanggalkan. Tetapi apa yang terjadi, pakaian dan perhiasan tidak dapat ditanggalkan Baoa Partigatiga. Makin dicoba kain dan perhiasan makin ketat melekat pada patung. Baoa Partigatiga berpikir, biarlah demikian. Untuk kepuasan hatiku baiklah aku menari sepuas hatiku untuk terakhir kali dengan patung ini. Iapun menari dengan sepuas hatinya. Ditinggalkannya patung itu dengan penuh haru ditempat yang sunyi dan sepi dipadang rumput tiada berkawam.

Entah apa yang mendorong, entah siapa yang menyuruh seorang dukun perkasa yang tiada bandingannya di negeri itu berlalu dari padang rumput tempat patung tengah menari. Datu Partawar demikian nama dukun. Perkasa terpesona melihat patung di putri. Alangkah indahnya patung ini apabila bernyawa. Sudah banyak negeri kujalani, belum pernah melihat patung ataupun manusia secantik ini. Datu Partawar berpikir mungkin ini suatu takdir. Banyak sudah orang yang kuobati dan sembuh dari penyakit. Itu semua dapat kulakukan berkat Yang Maha Kuasa.

Banyak cobaan pada diriku diperjalanan malahan segala aji-aji orang dapat dilumpuhkan bukan karena aku, tetapi karena ia Yang Maha Agung yang memberikan tawar ini kepadaku. Tidak salah kiranya apabila saya menyembah Dia Yang Maha Agung dengan tawar yang diberikannya padaku, agar berhasil membuat patung ini bernyawa.

Dengan tekad yang ada padanya ini Datu Partawar menyembah menengadah keatas dengan mantra, lalu menyapukan tawar yang ada pada tangannya kepada patung. Tiba-tiba halilintar berbunyi menerpa patung. Sekitar patung diselimuti embun putih penuh cahaya. Waktu embun putih berangsur hilang nampaklah seorang putri jelita datang bersujud menyembah Datu Partawar. Datu Partawar menarik tangan putri, mencium keningnya lalu berkata : “mulai saat ini kau kuberi nama Putri Naimanggale.” Kemudian Datu Partawar mengajak Putri Naimanggale pulang kerumahnya.

Konon kata cerita kecantikan Putri Naimanggale tersiar ke seluruh negeri. Para perjaka menghias diri lalu bertandang ke rumah Putri Naimanggale. Banyak sudah pemuda yang datang tetapi belum ada yang berkenan pada hati Putri Naimanggale. Berita kecantikan Putri Naimenggale sampai pula ketelinga Raja Panggana dan Baoa Partigatiga. Alangkah terkejutnya Raja Panggana setelah melihat Putri Naimanggale teringat akan sebatang kayu yang dipahat menjadi patung manusia.

Demikian pula Baoa Partigatiga sangat heran melihat kain dan hiasan yang dipakai Putri Naimanggale adalah pakaian yang dikenakannya kepada Patung, Putri dipadang rumput. Ia mendekati Putri Naimanggale dan meminta pakaian dan hiasan itu kembali tetapi tidak dapat karena tetap melekat di Badan Putri Naimanggale. Karena pakaian dan hiasan itu tidak dapat terbuka lalu Baoa Partigatiga menyatakan bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Raja Panggana menolak malahan balik menuntut Putri Naimanggale adalah miliknya karena dialah yang memahatnya dari sebatang kayu.

Saat itu pula muncullah Datu Partawar dan tetap berpendapat bahwa Putri Naimanggale adalah miliknya. Apalah arti patung dan kain kalau tidak bernyawa. Sayalah yang membuat nyawanya maka ia berada di dalam kehidupan. Apapun kata kalian itu tidak akan terjadi apabila saya sendiri tidak memahat patung itu dari sebatang kayu. Baoa Partigatiga tertarik memberikan pakaian dan perhiasan karena pohon kayu itu telah menajdi patung yang sangat cantik. Jadi Putri Naimanggale adalah milik saya kata Raja Panggana. Baoa Partigatiga balik protes dan mengatakan, Datu Partawar tidak akan berhasrat membuat patung itu bernyawa jika patung itu tidak kuhias dengan pakaian dan hiasan. Karena hiasan itu tetap melekat pada tubuh patung maka Raja Partawar memberi nyawa padanya. Datu Partawar mengancam, dan berkata apalah arti patung hiasan jika tidak ada nyawanya ? karena sayalah yang membuat nyawanya, maka tepatlah saya menjadi pemilik Putri Naimanggale. Apabila tidak maka Putri Naimanggale akan kukembalikan kepada keadaan semula. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga berpendapat lebih baiklah Putri Naimanggale kembali kepada keadaan semula jika tidak menjadi miliknya.

Demikianlah pertengkaran mereka bertiga semakin tidak ada keputusan. Karena sudah kecapekan, mereka mulai sadar dan mempergunakan pikiran satu sama lain. Pada saat yang demikian Datu Partawar menyodorkan satu usul agar masalah ini diselesaikan dengan hati tenang didalam musyawarah. Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mulai mendengar kata-kata Datu Partawar. Datu Partawar berkata: “marilah kita menyelesaikan masalah ini dengan hati tenang didalam musyawarah dan musyawarah ini kita pergunakan untuk mendapatkan kata sepakat. Apabila kita saling menuntut akan Putri Naimanggale sebagai miliknya saja, kerugianlah akibatnya karena kita saling berkelahi dan Putri Naimanggale akan kembali kepada keadaannya semula yaitu patung yang diberikan hiasan. Adakah kita didalam tuntutan kita, memikirkan kepentingan Putri Naimanggale? Kita harus sadar, kita boleh menuntut tetapi jangan menghilangkan harga diri dan pribadi Putri Naimanggale. Tuntutan kita harus kita dasarkan demi kepetingan Putri Naimanggale bukan demi kepentingan kita. Putri Naimanggale saat sekarang ini bukan patung lagi tetapi sudah menjadi manusia yang bernyawa yang dituntut masing-masing kita bertiga. Tuntutan kita bertiga memang pantas, tetapi marilah masing-masing tuntutan kita itu kita samakan demi kepentingan Putri Naimanggale.”

Raja Panggana dan Baoa Partigatiga mengangguk-angguk tanda setuju dan bertanya: “Apakah keputusan kita Datu Partawar?” Datu Partawar menjawab; “Putri Naimanggale adalah milik kita bersama.” “Mana mungkin, bagaimana kita membaginya.” “Maksud saya bukan demikian, bukan untuk dibagi sahut Datu Partawar. Demi kepentingan Putri Naimanggale marilah kita tanyakan pendiriannya.” Mereka bertiga menanyakan pendirian Putri Naimanggale. Dengan mata berkaca-kaca karena air mata, air mata keharuan dan kegembiraan Putri Naimanggale berkata: “Saya sangat gembira hari ini, karena kalian bertiga telah bersama-sama menanyakan pendirian saya. Saya sangat menghormati dan menyayangi kalian bertiga, hormat dan kasih sayang yang sama, tiada lebih tiada kurang demi kebaikan kita bersama. Saya menjadi tiada arti apabila kalian cekcok dan saya akan sangat berharga apabila kalian damai.”

Mendengar kata-kata Putri Naimanggale itu mereka bertiga tersentak dari lamunan keakuannya masing-masing, dan memandang satu sama lain. Datu Partawar berdiri lalu berkata: “Demi kepentingan Putri Naimanggale dan kita bertiga kita tetapkan keputusan kita.”:


  1. Karena Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah ia menjadi Ayah dari Putri Naimanggale.

  2. Karena Baoa Partigatiga yang memberi pakaian dan hiasan kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Amangboru dari Putri Naimanggale.

  3. Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Tulang dari Putri Naimanggale.
Mereka bertiga setuju akan keputusan itu dan sejak itu mereka membuat perjanjian, padan atau perjanjian mereka disepakati dengan:


  1. bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar akan menyelesaikan semua permasalahan yang terjadi dan mungkin terjadi dengan jalan musyawarah.

  2. bahwa demi kepentingan Putri Naimanggale dan turunannya kelak, Putri Naimanggale dan turunannya harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga dan Datu Partawar.
Baoa Partigatiga yang menjadi amangboru Putri Naimanggale Nan Sindak Pangaluan meminang langsung Putri Naimanggale untuk menjadi suami anak yang bernama Guru Hatautan, dan atas persetujuan mereka Guru Hatautan dan Putri Naimanggale, Nan Sindak Panaluan pun menikah dan merekapun mengadakan pesta ritual untuk pernikahan ini.

Setelah mereka sudah lama kawin sebelum perempuan itu hamil. Perempuan itu sangat lama mengandung. Selama mengandung terjadilah kelaparan di daerah itu. sesudah tiba saatnya, Nan Sindak Panaluan melahirkan dua orang anak kembar, seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Kisah ini menjadi aib bagi masyarakat Batak Toba. Anak kembar dengan jenis kelamin berlainan membawa malapetaka pada masyarakat setempat dan sedini mungkin secepatnya dipindahkan. Kemudian Guru Hatautan dan istrinya Nan Sindak Panaluan memberi nama kepada kedua anak kembar itu sesuai dengan adat yang berlaku pada masa itu. Anak laki-laki itu disebut Si Aji Donda Hatautan dan anak perempuan itu disebut Si Boru Tapi Nauasan.

Sesudah acara atau upacara pemberian nama, tokoh-tokoh masyarakat pada waktu itu menganjurkan untuk memisahkan kedua anak itu. alasannya adalah bahwa kedua anak kembar itu tidak akan mengindahkan norma-norma dan hukum adat dikemudian hari. umumnya sikap dan sifat anak kembar tidak jauh berbeda satu sama lain. Atas dasar pandangan ini masyarakat setempat pada masa itu menghendaki kedua anak kembar itu dipisahkan. Lama-kelamaan anak itu berkembang dan tumbuh dewasa. Rasa cinta dan keakraban tumbuh tanpa disadari kedua orang tersebut.

Pada suatu ketika mereka saling berjalan ke hutan bersama seekor anjing. Rasa cinta yang tumbuh tanpa disadari bergejolak pada saat itu. mereka melakukan hubungan seksual (incest). Sesudah melakukan hubungan yang tabu itu mereka melihat pohon si Tau Manggule yang sedang berbuah. Mereka ingin memakan buah pohon itu. si Aji Donda Hatautan memanjat pohon tersebut dan memakan buahnya. Seketika itu ia melekat pada pohon itu. Kemudian SiTapi Boru Nauasan memanjat pohon tersebut dan memakan buahnya dan ia pun melekat juga pada pohon itu.

Menurut terjadinya tunggal Panaluan merupakan hukuman dari Dewa-dewi, karena kedua anak kembar tersebut melakukan hubungan badan yang tidak sepantasnya. Kedua anak tersebut melekat pada pohon yang sedang berbuah menandakan bahwa Siboru Tapi Nauasan telah mengandung dari kakaknya Si Aji Donda Hatautan.

Sesudah kedua insan itu melekat pada pohon tersebut, mereka berusaha melepaskan diri, namun mereka tidak berhasil. Anjing yang ikut bersama mereka saat itu pergi memberitahukan keadaan kedua insan itu kepada orangtuanya. Guru Guta Balian bersama dengan Datu datang ketempat mereka untuk melepaskan mereka dari pohon tersebut. Beberapa Datu yang lain yang datang kemudian ikut berusaha melepaskan kedua insan itu, namun mereka semua ikut melekat pada pohon Piu-piu Tunggale tersebut. Susunan personil pada Tunggal Panaluan itu adalah Si Aji Donda Hatautan, Siboru Tapi Nauasan, Datu Pulu Panjang Na Uli, Si Parjambulan Namelbuselbus, Guru Mangantar Porang, Si Sanggar Meoleol, Si Upar Manggalele, Barit Songkar Pangurura.

Mitos terjadinya Tunggal Panaluan diceritakan dengan bentuk ajaran yang dialnjutkan secara turun temurun. Unsur rasionalitas mitos tersebut ialah bahwa Tunggal Panaluan sungguh ada hasil karya seni ukir masyarakat Batak Toba.

*) Prof. M. Sorimangaraja Sitanggang adalah ahli mengenai sejarah dan budaya Batak, tinggal di Parapat.



Sabtu, 12 Juni 2010

Nasib dan Momok Pikiran

Cerita ini dipetik dari “World and I” yang menceritakan ceriat pendek dari Tanah Batak, karangan Jan Knappert seorang professor tentang bahasa-bahasa Asia dan Afrika di Universitas Leuven-Belgia




Raja Doli Martua adalah seorang raja yang bijaksana di Tanah Batak dahulu kala. Setiap kali dia menyampaikan perkataannya kepada masyarakatnya, para tetua mengagumi setiap kata dan apa yang diucapkannya. Sia juga adalah seorang yang sangat kaya raya, tetapi dia tidak mempunyai keturunan. Oleh karena itu, dia menyadari bahwa dia adalah orang yang sangat malang diseluruh kerajaannya. Dia kemudia mengawini wanita lain sebagai istrinya yang kedua, kemudian yang ketiga dari keluarga yang dikenal memiliki banyak keturunan, tetapi keinginannya yang utama tidak juga terpenuhi. Akhirnya dia bersujud berdoa kepada Tuhan yang maha tinggi Mulajadi Nabolon: “ Oh, Tuhan, dengarlah doaku. Engkau telah memberikan saudaraku tujuh orang keturunannya. Jika engkau tidak memberikan aku tujuh keturunan, berilah aku enam keturunan. Jikapun tidak engkau berikan enam keturunan, berikan saya lima keturunan. Jikapun tidak lima keturunan, berikan aku empat, atau tiga atau dua, atau bahkan satu saja, tetapi janganlah biarkan saya mati tanpa memiliki keturunan.”

Beberapa bulan setelah doanya yang khusuk itu, istri ketiga dari raja itu memberitahukan bahwa dia sedang hamil. Kemudian dia melahirkan. Tetapi anak yang lahir itu tidak sempurnah, bahkan lebih buruk daaripada anak-anak yang pernah lahir ke dunia. Bayi yang lahir itu hanyalah berbentuk setengah laki-laki, kepalanya hanya setengah, kakinya hanya satu, lengannya hanya satu, punggungnya hanya sebelah, matanya hanya satu, telinganya hanya satu, hidungnya hanya satu lubang, dadanya hanya sebelah, pantatnyapun hanya sebelah. Maka mereka menyebut nama bayim itu Siaji Sambola, (Seorang yang hanya memiliki tubuh setengah saja.)

Abyi itu tidak mati sebagaimana yang dianggap oleh orang banyak, tetapi dia tetap tumbuh menjadi besar sebagaimana biasanya. Dia mulai belajar berbicara dengan mulutnya yang setengah itu dan dia mulai merangkah dengan melompat dengan satu kakinya. Sesungguhnya dia adalah seorang anak yang tidak mendapat kebahagiaan karena selalu bermurung. Setiap petang dia selalu terlihat duduk didepan istana ayahnya, selalu memandang langit diarah barat. Suatu hari, sewaktu dia sudah benar dewasa, dia memutuskan bahwa dia meniatkan sesuatu yang diimpikannya. Dia akan pergi mencari Mulajadi, yang menciptakan leluhurnya dan semua Bangsa Batak. Maka dia berjalan pincang dengan tongkatnya denga satu tangannya, kearah matahari terbenam.

Dia telah diberitahukan oleh orang-orang tua bahwa gerbang menuju surga adalah disebelah barat. Bisakah dia sampai dengan tubuhnya yang setengah itu? Sewaktu akhirnya dia sampai dikaki langit, Mulajadi mengirim Mandi (Leangleangmandi, red.), seekor burung laying-layang sakti, untuk menjemput anak itu. Burung layanglayang sakti itu berkata kepada Siaji Saqmbola: “Mari sini dan duduklah diantara sayap-sayapku ini dan aku akan membawamu ke Surga.”

Sebelum sampai di singgasana Yang Maha Kuasa, anak setengah badan itu bersujud dengan penuh hormat dan berkata: “Ompung, mengapa engkau membuat saya berbeda dengan anak lainnya? Orang-orang selalu mengejek saya, membuat saya sangat bersedih. Tak seorangpun wanita mau melirik saya kecuali hanya melihat sinis dan merasa jijik. Tak akan ada yang mau menikah dengan saya, walaupun ayahu mampu membayar mahar jauh lebih tinggi dari yang mampu diberikan orang lain. Tuhan yang termulia, aku sedang mencari kesempurnahan, berilah aku tubuh yang sempurnah!”

“Bentukmu yang setengah itu adalah wujud dari ketidakpatuhan dari rohmu,” demikian jawaban Tuhan. “Roh itu tidak akan masuk kepada tubuh yang tak sempurnah, sebagaimana saya sudah titahkan. Tondi itu tidak akan betah tinggal. Mereka terlalu tergesa-gesa, beberapa diantara mereka mengambil dedaunan dari pohon kehidupan tanpa melihat tanda-tanda yang termateraikan. Boleh jadi itu adalah mengandung nasib buruk. Orang-orang yang demikian mungkin akan menjadi pencuri atau pembunuh. Marilah kesini ke Langit ke Enam, dan aku akan memperlihatkan apa masalah yang terjadi padamu.”

Dalam sekejap Tuhan dan anak setengah badan itu sampai di Langit Keenam dari Langit Ketujuh. Disana Mulajadi merkata: “Lihatlah anakku, tondimu sebenarnya diberikan tubuh yang sempurnah. Aku sebenarnya telah menentukan untuk mendapatkan masa depan yang indah, akhir yang agung. Tetapi tondimu mengatakan: “Takdir ini terlalu berat, dan akan membuat saya terlalu berat membawanya ke bumi. Bolehkah engkau memotongnya setengahnya saja? Lalu saya memotong takdirmu menjadi setengahnya dan badanmupun menjadi demikian, karena hanya sedemikian saja rohmu memilih tempatnya. Tetapi kali ini. aku kasihan kepadamu, Aku berjanji memberimu apa yang belum pernah diberikan kepada manusia untuk memilih. Kesinilah, Aku akan memisah takdirmu menjadi dua. Sekarang pilihlah dengan seksama, karena kau tidak punya pilihan ketiga.

Disana, dihadapan Siaji Sambola, sejumlah kehidupan digelarkan: sebuah kehidupan yang penuh dengan petualangan, yang lainnya diisi dengan cinta dan kebencian, yang lainnya penuh dengan kerja keras membanting tulang, dan juga kehidupan yang seperti ayahnya yang penuh dengan kemegahan dan penuh tanggung jawab. Tetapi Sianak setengah tubuh khawatir akan tugas-tugasnya. “Tolonglah Ompung,” diapun mencoba berdalih. “Semua kehidupan yang ditawarkan terlalu berat bagi saya, aku tak mampu menjalaninya. Lihatlah semua perasaan emosi ini, pekerjaan dan tanggungjawab! Mereka semua akan menghancurkan saya atau memperbudak saya. Kini saya jadi faham. Bolehkah saya mengambil takdir ringan saya yang asli sebelumnya itu?”

“Yah, bolehlah kau ambil lagi,” demikian jawab Tuhan. “Tetapi ingat, setelah itu, kamu tidak boleh komplain lagi. Kamu akan tetap hidup dengan setengah tubuh. Hanya ada satu solusi, satu yang tidak pernah aku tawarkan kepada manusia. Aku dapat meleburmu kembali dan mencetakmu menjadi tubuh baru.”

“Ya, tolonglah Ompung!” demikian anak setengah badan itu memelas. “Leburkanlah saya, buatlah tubuh yang jelak ini musnah. Berikanlah saya tubuh manusia yang normal, tanpa ada sesuatu yang mengerikan dengan kehidupan yang berat dihadapanku!”

Mulajadi meletakkan anak setengah tubuh itu kedalam kuali peleburan logam yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Setelah enam kali ternyata anak setengah tubuh itu gagal mendapatkan tubuh yang baru. Setelah pembuatan yang ketujuh kalinya maka terjadilah tubuh yang lengkap, ringan dan seperti angina, rapuh seperti kaca dan tidak kokoh, tetapi penampilan luarnya memang sempurnah. Maka akhirnya Siaji Sambola pun pilang kerumahnya, sebagai mana bentuk manusia sempurnah yang hanya diluarnya saja.

Selasa, 08 Juni 2010

DANAU PARA DEWA

Cerita Mitologi ini dipetik dari “World and I” oleh Jan Knappert berupa cerita pendek berjudul “Lake of the Gods – Danau Para Dewa”, Sebuah mitologi dari Tanah Batak. Jan Knappert adalah seorang professor di Universitas Leuven di Belgia, tentang Bahasa-bahasa Asia dan Afrika. Dan beginilah diceritakan:


Di Tanah Batak terdapat sebuah danau yang sangat besar. Warna kelabu menyelimutinya dan segera berubah menjadi awan, dan deru air terjun yang berbusa yang bercampur dengan percikan liar dari gelombang-gelombang berbuih, yang dihembuskan oleh angina. Pada saat yang demikian Danau Para Dewa sudah akan minta korban.

Berabad-abad yang lalu belum ada danau disana, hanya berupa dataran yang subur dan luas, tertata rapi menjadi petak sawah yang terpelihara dengan baik. Di tempat berpemandangan yang indah ini mengalir sebuah sungai yang besar. Suatu hari zaman dahulu kala, seorang lelaki sedang memancing di tepian sungai. Sudah berjam-jam memancing tetapi umpannya belum juga mendapat pancingan, diapun menjadi heran apakah mungkin ikan-ikannya telah kapok untuk dipancing.

Tiba-tiba sewaktu dia sedang terkantuk, pancingnya tertarik yang hamper menceburkannya jatuh dari sampannya. Segera dia terbangun dan mulai menarik tangkapannya. Sampannya berayun sewaktu dia menarik ikan itu kedalam sampan. Beratnya hamper seberat dirinya. Sambil berteriak kegirangan, dia mengayuh sampannya untuk pulang, kemudian mengangkat ikan itu kelur dari sampan, dan meletakkannya di lantai gubuknya. Kemudian dia pergi ke dapur untuk mengambil nasi karena dia sudah seharian tidak makan.

Segera setelah dia selesai makan dia kembali untuk melihat ikan tangkapannya. Ikannya ternyata tidak disitu lagi, hilang. Dalam keadaan terpaku dalam kegelapan, pemuda itu secara perlahan menyadari bahwa ada seseorang sedang berada di pojok ruangan. Dia mendekat, dan sangat terheran, dia melihat seorang perempuan, sedang mencoba untuk menutupi tubuhnya dengan rambut panjangnya yang terurai.

Merasa terkejut hebat, pemuda itu melompat menuju pintu, tetapi sebelum sampai disana, perempuan muda itu berbicara:

“Tolong saya! Berikan saya mandar (sarung) dan pakaian supaya saya berpakaian secara pantas dan boleh pergi. Tidak kah kau mengasihani saya?”

Lelaki itu berlari dari gubuknya. Ibunya yang belum lama meninggal, dan di dalam rak ditemukannya pakaian yang pernah dipakainya. Dia mengambil mandar dan pakaian yang masih bagus. Kemudian dia kembali ke gubuknya. Perempuan muda itu masih berada disana. Perempuan itu meraik pakaian itu dari pemuda itu, kemudian segera berpakaian, dan berusaha untuk men-sanggulkan rambutnya yang panjang itu. Pemuda itu memandang dengan terpukau. Sewaktu selesai berpakaian pemuda itu mengijinkannya berada di gubuk itu. Disana mereka duduk dengan diam seribu bahasa, kemudian perempuan muda itu mulai menceritakan peristiwa aneh yang terjadi pada dirinya.

“Saya adalah ikan yang kau tangkap. Dahulu saya bertemu seorang datu (pesulap) yang memberikan kepada saya sebuah resep yang dapat merubah saya, seekor ikan berubah menjadi seorang ikan. Ada satu syarat: Saya diijinkan mengucapkan kata-kata mantra bila seorang nelayan yang sabar, punya ketekunan, dan berkeinginan kuat untuk menarik saya dari air dan membawa saya kerumah. Kau telah menunjukkan dedikasi itu, dan Saya sekarang menjadi milikmu. Saya akan tinggal disini dan tinggal bersamamu. Tetapi jangan bercerita kepada siapapun tentang ini.”

“Saya berjanji” demikian kata pemuda itu dengan jujur.

“Jangan beritahu siapapun dimana ku menjumpai saya dan bagaimana saya berubah seperti sekarang ini. “ demikian lanjutnya.

“Saya berjanji,” demikian pula jawab pemuda itu mengulangi.

“Dan satu hal lagi. Jangan sekali-kali menyebutkan tentang kematian (mate ho.., red) atau tentang akhir dari sesuatu (mago ma ho.. red)”, demikian kata perempuan itu sambil kemetar, dengan menyebutkan kata kematian seolah dia merasakan bayangan dinginnya awan yang akan mendatangkan bencana.

“Saya berjanji,” demikian lanjut pemuda itu mengulangi.

Hari-hari berikutnya diikuti dengan suasana yang sangat membahagiakan. Laki-laki itu pergi berburu, dan bilamana duri-duri dan daun ilalang menyayat kulitnya, istrinya itu merawat lukanya itu sehingga menjadi cepat sembuh daripada sebelumnya. Dia pergi memancing, dan setiap hari dia mendapat ikan lebih banyak. Bila musim kering datang, di menjemur tangkapannya untuk dapat berguna pada musin penghujan. Suatu hari perempuan itu berkata kepadanya:

“Pergilah sekarang ke pasar membawa ikan-ikanmu dank u bias mendapatkan uang, belilah selendang, pakaian, untuk bayi kita yang akan lahir.”

Dia begitu berbahagia sewaktu istrinya menyampaikan permintaannya itu. Hari-hari berikutnya, dia sering melihat istrinya duduk dekat tebing sungai. Memandang ke dalam air. Dia melarangnya untuk pergi kesana, dan mengatakan “Calon anak kita bisa jadi i….”

Perempuan itu menghentikannya melanjutkan bicaranya. “Kau sudah berjanji untuk tidak mengatakan demikian itu. Dan saya tak punya kawan untuk diajak bicara.”

Tiba waktunya bayi mereka lahir. Seorang bayi yang kuat dan sehat, dia tidak suka berbaring di selendang berlama-lama. Tidak lama dia sudah dapat berjalan, dan dalam waktu singkat dia menjadi anak kecil yang cerdas dan aktif kesana-kemari. Tubuhnya terlihat licin dan memantul warna coklat muda.

Suatu hari ayahnya pulang ke rumah setelah letih berburu burung. Anak kecil itu duduk di dapur, memakan makanan yang dipersiapkan perempuan itu untuk suaminya. Ini adalah pelanggaran yang dianggap berat! Tak seorangpun anak diijinkan menyentuh makanan ayahnya. Lelaki itu mengangkat tangannya seperti hendak memukul anaknya itu tetapi dia berlari sambil membawa mangkuk nasi yang dimakannya.

Ayang yang sedang lapar itu menjadi murka. Kemarahannya membuatnya lupa apa yang ada dihatinya, dimana semua yang rahasia tersimpan. Pada saat itu sesosok begu (hantu, red.), sesosok roh jahat, melayang-layang disekitarnya dan hinggap dihatinya. Begu itu berbisik kepadanya:

“Katakan saja, teruskan, katakana saja!”

”Anak ni dekke! (Anak ikan!)” demikian teriak lelaki itu.

Sesaat berikutnya dia menyadari sudah berdosa. Tetapi dia tidak bias lagi menarik kata-katanya. Istrinya memandang kepadanya. Perempuan itu mengetahui sesosok begu telah tau bahwa dia tidak waspada. Tanpa sepatah kata, perempuan itu masuk ke dalam gubuknya dan mengumpulkan semua pakaian dan barang-barang anaknya. Di menaruhnya dalam keranjang. Diperintahkannya anaknya mengambil bamboo dan mengikutinya. Anak itu mematuhinya tanpa komentar, merasakan sesuatu yang mengerikan bakal terjadi. Perempuan itu membawanya melalui jalan setapak menuju kearah gunung.

Pada kaki gunung yang curam itu dimana jalan kecil itu mendaki menuju tebing batu, perempuan itu menyuruh anaknya mulai memanjat. “Pergilah ke puncak dan cari sendiri tempat yang hijau di lembah diseberang. Dirikanlah gubukmu dan tanami padi untukmu. Selamat tinggal.”

Perempuan itu menatapi anak itu sewaktu dia tanpa bicara menapaki tangga-tangga dan memanjat sepanjang jalan setapak sewaktu dia merangkak dinding batu. Sewaktu dia berada pada ujung curam itu, anak itu menoleh kebelakan untuk terakhir kalinya, masih terperangah dan merasa heran mengapa semuanya harus terjadi. Dia melambaikan tangan, tetapi ibunya memberitanda agar dia meneruskan langkahnya. Itulah saat terakhir anak itu melihat ibunya. Dia berbalik dan berjalan memasuki lembah itu, kemudian tak terlihat lagi kampong halamannya.

Perempuan itu kembali pulang kerumahnya di tepian sungai. Suaminya masih duduk disana, terlihat pasrah tak berdaya dan putus asa. Perempuan itu berdiri di tebing sungai dan mulai memanggil air. Air mulai membludak. Air mulai menggenangi dan meninggi bagaikan monster yang sedang murka. Banjirpun dating menggenangi hamparan itu, kemudian setinggi pohon bamboo, bahkan lebih tinggi dari pohon bagot (enau, red.) Tetapi suaminya tidak terhanyut malah berubah menjadi ikan. Perempuan itupun berubah lagi ke kehidupan sebelumnya di air, memakai pakaiannya yang bersisik. Dia masih tetap setia kepada duaminya, -karena memang demikian seharusnya- tetapi karena hukumannya yang melanggar sumpah perempuan itu memaksanya untuk bersama di kehidupan bawah air.

Kampung itu berubah menjadi sebuah danau, yang sampai sat ini penampakannya sering mengancam bahaya. Begitulah terjadi bila janji tidak dipenuhi manusia, untuk mengingatkan bahwa iblis terburuk dari seorang laki-laki yang mampu dia lakukan adalah mengatakan kata-kata yang dia sendiri tidak ingin mengatakannya.

Sada Do Mataniari (Hanya Ada Satu Matahari)


Cerita Mitologi ini dipetik dari “World and I” oleh Jan Knappert berupa cerita pendek berjudul “Why There Is Only One Sun – Mengapa Hanya Ada Satu Matahari”. Jan Knappert adalah seorang professor di Universitas Leuven di Belgia, tentang Bahasa-bahasa Asia dan Afrika. Dan beginilah diceritakan:

Disuatu malam, ketika hari lebih panas diri biasanya, manusia bergerombol pergi ke dataran terbuka untuk menunggu bulan purnama. Dengan wibawanya bulan itu terbit, dan manusiapun menyembahnya:

“Oh, Bulan, ibu dari sepuluh ribu bintang, tolonglah kami! Bebaskanlah kami dari kekuasaan sembilan matahari yang menghanguskan ini.”

Demi untuk kebahagiaan manusia, Bulanpun menanggapi permintaan manusia itu dengan bahasa mereka sendiri:

“Manusia yang terhormat, Saya tidak mampu melawan mahari-matahari itu dalam pertempuran. Tetapi saya akan memikirkan tipu muslihat untuk mengatasi mereka secara licik. Empat minggu dari sekarang saya akan kembali dalam bentuk purnama, dan saya akan memberikan jawaban kepada kalian. Jumpailah saya lagi disini dalam waktu empat minggu lagi.”

Duapuluh tujuh malam berikutnya, orang-orangpun bergabung dipelataran yang sama. Ratusan, bahkan ribuan, telah dating untuk mendengar Bulan berbicara. Dengan penuh sabar mereka berjongkok di tempat itu. Bulan pun muncul dengan purnamanya yang indah itu, dan manusiapun memujanya. Kemudian dia berbicara:

“Hai manusia bumi, saya telah menemukan jawaban atas kesulitan anda, tetapi saya belum dapat mengatakannya sekarang. Sekarang pergilah untuk mengumpulkan daun sirih untuk saya sebanyak yang mampu kamu kumpulkan.”

Sepanjang hari yang kering itu manusia telah belajar menjadi kebiasaan mengunyah daun sirih, untuk mengurangi rasa haus di mulut mereka yang kering terpanggang matahari. Mereka semua pulang kerumahnya dan segera kembali dengan membawa semua daun sirih yang mereka punyai, walaupun mereka menyadari harus pergi tanpa daun sirih berhari-hari lamanya. Setelah menerima semua yang dibawa manusia, Bulan mengumpulkan semua kumpulan awan di langit malam dan mendirikan tembok besar, sedemikian tingginya sehingga semua bintang-bintang yang ceria itu dapat bersembunyi dibalknya. Kemudian, Bulan memasukkan daun sirih kedalam mulutnya dan mulai mengunyahnya, sesering mungkin meludahkannya dan menyerakkan cairan yang seperti darah merah ke segala penjuru langit, sementara mulutnya dan dagunya menjadi merah. Ketika dia sudah bersiap untuk hilang dari pandangan, seluruh kaki-langit terlihat memerah seolah seperti lautan darah yang sedang mengalir. Sebentar kemudia mahari-matahari terbit, yang pertama muncul adalah ayahnya dan kemudian menyusul delapan anaknya. Heran melihat kemerahan di seantero langit, Ayah matahari lantas bertanya kepada Bulan:

Matahari (M): “Kelihatannya ada pembunuhan missal disini. Berapa orang yang terbunuh?”

Bulan (B): “Memang pembunuhan missal benar terjadi,” demikian kata Bulan meringis, sambil membiarkan cairan merah mengalir keluar dari mulutnya sambil terlihat seolah sedang merasakan suatu kenikmatan yang luar biasa.

(B): ”Saya telah memakan semua bintang-bintang anak saya”

(M) “Kau memakan anakmu? Saya memang tak lagi melihat bintang. Bagaimana rasanya?”

(B): “Luar biasa, enak sekali,” demikian bulan menyeringai sambil membiarkan cairan merah itu semaki keluar. “Mengapa kau tang mengikuti seperti aku? Mulutmu jauh lebih besar?”

Rasa lapar ingin membunuh berkecamuk di benak si Matahari tuan. Dia membuka mulutnya yang buas itu dan menyantap anaknya satu persatu.

Sejak saat itu hanya ada tinggal satu Matahari, semakin membesar dan semakin semangat karena kekuatan dari anak-anaknya. Terbakar akan kemarahan, sesal, dan rakus, diapum masih menghanguskan bumi tetapi dia hanya tinggal sendirian. Malam berikutnya bintang muncul lagi, dang Matahari segera menyadari bahwa Bulan telah membohonginya yang membuatnya tergoda untuk memakan anaknya sendiri.

Demikianlah ceritanya, orang Batak mengatakan bahwa Matahari mengejar Bulan dan Bulan selalu menyingkir dari Matahari, atau muncul agak jauh dari Matahari setiap petang. Tetapi pada akhirnya Matahari dapat melewatinya dan mengurangi terangnya. Kemudian bersembunyi untuk beberapa malam, dan selama itulah orang-orang berdoa kepada dewa-dewa:

“Tolonglah jangan biarkan Matahari menang. Kami tak dapat hidup tanpa Bulan. Jangan juga ijinkan Matahari melahap Bulan.”

Untungnya Bulan selalu muncul kembali, kecil lalu membesar.

Selasa, 25 Mei 2010

Raja Lontung dan Ibu Kandungnya

Memang sungguh berat penderitaan seorang istri yang ditinggal sendiri bersama seorang anak oleh suami yang pergi merantau entah kemana tak tau rimbanya. Demikian pula derita yang dialami oleh Siboru Pareme setelah kejadian ditinggal pergi oleh suami yang juga sebagai saudara kandungnya sendiri. Apalagi dia mendapat beban untuk memelihara anaknya tercinta yang diberinama Lontung. Kepergian sang suami memang bukan karena ada tujuan tertentu akan tetapi memang demikianlah adanya bahwa Sariburaja adalah kembarannya yang menjadi bapak dari anaknya itu pergi melanglang buana karena melarikan diri untuk menghindari hukuman dari saudara-saudaranya sendiri, karena perbuatan terlarang yang diperbuatnya kepada kembaran perempuannya itu, bahkan anak yang lahir itupun tidak sempat dilihatnya bertumbuh.

Siboru Pareme dan anaknya Lontung tinggal di Bukit Sibulan. Mereka hidup sederhana yang hanya mengandalkan kemurahan alam untuk menghidupi mereka.Namun demikian dia dapat menghidupi anaknya bertumbuh dalam keprihatinan itu, walaupun terkadang dia bertanya dalam hati mengapa Sariburaja suaminya harus jauh darinya sehingga tidak ada lagi waktu untuk bercengkerama atau paling tidak berkasihkasihan dimasa muda yang masih memerlukan belaian kasih sayang baik dikala suka dan duka kehidupan.

Lontung sudah cukup dewasa untuk pergi berburu binatang agar mereka mendapatkan makanan enak yang bergizi. Tubuhnya yang kuat dan kekar memampukan dia untuk selalu berhasil mendapatkan buruannya seperti babi dan rusa. Kalaupun waktu sedang apes, dia selalu membawa hasil buruan paling tidak burung atau ruba dan musang. Makanan yang penuh gizi dan kalori tinggi ini membuatnya memiliki tubuh seorang pemuda kekar dan perkasa. Demikian pula ibunya Siborupareme memang masih muda dan berperawakan cantik rupawan, dan bahkan terlihat jelita dengan wajah ceria merona diusia yang sedang matang-matangnya sebagai perempuan.

Karena tinggal hanya sendiri digubuknya, terkadang dia sering merasa kesepian sambil menanti anaknya pulang dari berburu atau dari ladang. Dia menjadi terkenang akan kehidupannya dahulu sewaktu masih tinggal bersama orangtua dan saudarasaudaranya.  Dia juga sering terkenang kepada saudara kembarannya Sariburaja yang menjadi suaminya, dimana mereka dahulu elalu pergi bersama-sama ke ladang. Dan bahkan dia terkenang kepada perbuatan mereka yang saling berkasihkasihan dibawah rimbunnya rumpun bambu. Dia terkenang juga bagaimana keringat mereka bercucuran sewaktu bergelut berguling-guling diatas hamparan dedaunan kering yang mereka benahi untuk menikmati kehangatan tubuh dan memahami hidup baru yang mereka belum pernah rasakan sebelumnya. Terkadang merinding bulu-bulu tubuhnya bila mengingat kejadian itu dimana dia merasakan nikmat dan kelembutan, serta greget rasukan cinta. Tetapi semakin terngiang kepada peristiwa yang tak terlupakan itu maka semakin tersiksa dirinya lahir dan batin karena tidak bisalagi dia merasakan nikmat yang pernah dirasa menjadi hilang begitu saja.

Semasa Lontung masih kecil, tidak pernah terpikirkan olehnya apa yang terjadi termasuk apa yang selalu dipikirkan oleh ibunya. Walaupun ada rintangan dan tantangan hidup yang dihadapi oleh ibunya, dia tidak pernah menggubris suasana itu karena dia memang belum mampu menjangkau pemikiran yang demikian. Kalau dahulu dia masih sering diajak oleh ibunya untuk mandi bersama di pancuran atau di sungai, tetapi dia merasa sudah lama ibunya itu mengajak dia karena memang sudah tak mungkin lagi ibunya itu mampu menggendong-gendongnya seperti dulu.

Disutu ketika sewaktu Lontungan sedang terbaring di gubuknya, Siboru Pareme merasa terpana dan tergiur menatap kekekaran tubuh anaknya itu. Bahkan tak sadar air liurnya yang hampir meleleh dari bibirnya membuatnya tersentak dari lamunan kesadarannya. Terkadan hampir-hampir dia tak tahan untuk mengelus tubuh anaknya yang kekar itu, tetapi selalu saja tertahan hasratnya dan membatalkan niatnya itu.

Sudah sering dan berulang-ulang suasana hati yang demikian dirasakan oleh Siborupareme dan bahkan gelora dihatinya itu membuat mulutnya terkatup sehingga Siboruparemelebih sering berdiamdiam seribu bahasa. Demikian pula Lontungan yang sudah berbinar darahmudanya selalu juga melirik secara sembunyi melihat kecantikan wajah ibunya itu.

Pernah juga disuatu sore terjadi sewaktu Lontungan sedang duduk-duduk mengamati ibunya yang sedang mandi bunga (marpangir) ditepi sungai. Pada saat itu saatnya matahari condong dibalik bebukitan menjelang terbenam sehingga suasana hari menjadi redup dari pancaran sinarnya sehingga memang menyejukkan untuk mandi. Siboruparema mengetahui anaknya sedang mengamatinya mandi tetapi dia seolaholah tidak tau, agar anaknya itu memang diinginkannya tetap melihat dia mandi, bahkan dia semakin memperlama mandinya yaitu dengan mengulangi menggosok-gosok tubuhnya dengan jeruk purut lainnya.

Walaupun suasana pada hari itu sudah sejuk karena sinar matahari sudah bersembunyi dibalik gunung tetapi tubuh Lontungan malah menghangat dan darah yang mengalir ditubuhnya menggetarkan sendi-sendi tubuhnya. Hampir saja dia melangkahkan kakinya mendekati ibunya yang sedang mandi itu supaya dia bisa melampiaskan greget yang ada dalam pikirannya. Tetapi niatan itu dibatalkannya dan dia mampu mengalahkan niat jahat darahmudanya dan sewaktu dia tersadar, maka timbul rasa malu dalam dirinya. Tapi hanya sebentar itusaja dia tersadar dan tubuhnya kembali hangat terbakar oleh darah mudanya bahkan kepalanya menjadi pusing menahan gejolak keinginan untuk menerkam ibunya itu. Diapun menjadi gelisah tak mampu menguasai akal sehatnya.

Sewaktu dilihatnya ibunya bergerak akan pulang ke gubuk, seketika dia melumpat menyingkir dan agak berlari agar dia lebih dulu sampai digubuknya itu dan dia berpurapura tidur dan berbaring seperti orang yang sedang sakit. Setelah ibunya sampai di gubuk dan melihat anaknya sedang terbaring, maka dia membalikkan kepala anaknya itu agar saling berhadapan muka, tetapi Lontung memejamkan matanya karena masih ada rasa malu dalam dirinya. Oleh karena itu Siborupareme mengoleskan sedikit minyak ke bagian mata Lontungan sambil mendongokkan wajahnya yang sudah bersih berseri itu. Setelah dia mengurut kening anaknya itu lalu dia merebahkan kepala anaknya itu dipangkuannya sambil memeliknya. Lontung merasakan kelembutan sewaktu buah dada ibunya itu tersentuh ke wajahnya dan seketika ibunya itu membukakan kelopak mata anaknya itu dengan jari-jarinya, lalu mereka saling berpandangan. Diciumnya anaknya itu dan dipeluknya dengan gemas, dan diapun menerawangkan dirinya merasakan enaknya berumahtangga hidup bersama suami. Dia sudah terlupa bahwa lelaki yang dipeluknya itu adalah anaknya sendiri tetapi dia merasakan bahwa dia adalah suaminya.

Entah berapalama Siborupareme menikmati berpelukan dengan anaknya itu, seketika terlintas dipikirannya sebuah skenario yang akan dilakukannya. Dia lantas mendudukkan anaknya itu dan mulai menyampaikan maksudnya kepada anaknya itu: "Begini anakku, kau sudah dewasa, pergilah kau mencari istri, berangkatlah kau mempersunting putri pamanmu di Sianjurmulamula. Aku sudah melihat apa yang ada dalam hatimu karena memang benar kau sudah dewasa. Begitupun, kita harus memohon kepada Tuhan Mulajadi Nabolon agar kau diijinkan bertemu dengan putri pamanmu di Sianjurmulamula, dan itulah yang akan menjadi istrimu. Oleh karena itu, kalau kau sudah merasa sehat, bersiapsiaplah untuk pergi. Putri pamanmu itu mirip dengan aku, bahkan sangat mirip, wajahnya, rambutnya, perawakannya, tingginya memang sangat mirip dengan aku. Biasanya dia mengambil air pada sore menjelang malam atau pagi hari. Apabila kau ada yang mirip seperti aku seperti yang aku jelaskan tadi, coba tegaskan apakah memang benar dia putri pamanmu. Coba pasangkan cincin ini dijarinya dan kalau semu cirinya cocok, sudah pasti itu adalah putri pamanmu. Kau harus pintar merayunya, supa mau dia kau ajak ke kampung kita ini, karena bila dia yang akan membawamu ke kampung pamanmu maka kita harus menyediakan tuntutan adat dan mereka pasti akan meminta mahar seperti kerbau, lembu, seperangkat gong, termasuk emas dan uang, padahal tak ada yang ditinggalkan bapakmu kepada kita. Kalau demikian yang terjadi, biasanya kau akan dipekerjakan paling tidak selama setahun-duatahun barulah dinilai apakah kau pantas jadi menantunya. Jadi, kau harus benar-benar pintar merayunya dan kalau boleh paksakan dia ikut ke kampung kita. Nanti dikemudian hari baru kita berkunjung menjumpai pamanmu untuk menyatakan bahwa putrinya ada disini bersama kita."

Mendengar penjelasan dari ibunya itu maka dia semakin semangat dan diapun mengangguk tanda setuju untuk berangkat besok hari. Ibunya mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa besok, termasuk barang-barang yang akan ditunjukkan kepada putri pamannya itu.Lalu ibunya menjelaskan jalur jalan yang akan ditujunya menyusuri tepi pantai danau dan terus berjalan sampai disuatu tempat dimana harus mendaki menuju gunung Pusuk Buhit. Setelah kau temukan tempat pemandian disitulah kau menunggu kedatangan putri pamanmu itu, dan pada siang hari di hari kedua maka kau pasti melihat dia sedang mandi bunga (marpangir).

Sementara itu ibunya Siborupareme sudah semakin bersemangat dimana semua persendian tubuhnya seolah hidup kembali bagaikan putri yang sedang dipersunting pangeran tampan. Setelah dia melihat anaknya berjalan turun menuju tepian danau, diapun segera bersiapsiap membawa perlengkapan yang biasa dibawanya bila akan mandi kembang ke pemandian. Dia sudah mempersiapkannya segala sesuatunnya sejak malam hari agar dia dapat berjalan mendahului anaknya sampai dipemandian itu. Oleh karena itu, sebelum Lontung sampai maka ibunya sudah tergesagesa berlari agar lebih dahulu sampai ditempat yang dituju itu.

Setelah hari ke dua pagi harinya Siborupareme sudah sampai ditempat pemandian. Dia meletakkan sepotong bambu yang biasanya digunakan untuk mengambil air dan dia mulai membuat nyanyian bertutur (andung-andung) yang mengisahkan penantian seorang pemuda anak bibinya. Oleh karena sudah agak lama Siborupareme menanti di dalam air sehingga kulitnya terlihat agak hitam. Menjelang tengah hari dan tubuhnya sudah semakin kedinginan di dalam air itu dan dia merasa agak khawatir apakah anaknya yang dinantikannya itu kesasar. Perasaan takut itu membuat kecantikannya agak berubah sedikit dibanding dua hari lalu yang begitu berbinar wajahnya. Ada terbetik dalam hatinya apakah nantinya Lontung menjadi tidak suka kepadanya karena kulitnya sudah semakin menghitam.

Walaupun demikian, dia masih menenangkan hatinya lalu duduk dibatu dimana dia akan mandi kembang dan berada pada posisi membelakangi jalan masuk ke pemandian itu dengan maksud agar punggungnya tampak jelas bila Lontung datang ketempat itu. Tidak berapalama ada terdengar dari arah bawah suara gemerecik ranting dan dia merasa yakin Lontung sudah datang dari arah suara itu. Lontung sudah kelelahan mencari tempat itu selama dua hari ini sehingga dia terengahengah, tetapi letihnya segera sirna karena dia melihat seorang perempuan sedang berada dipemandian. Dia mengambil posisi duduk sebentar untuk mengembalikan keletihan nafasnya yang sedang terengahengah lalu terbesit dipikirannya: "Benar juga yang dikatakan ibu itu, memang ada perempuan dipemandian itu", pikirnya.

Setelah dia menyimak lagu tembang yang dialunkan perempuan itu maka dia merasa yakin bahwa itulah yang dimaksudkan ibunya sebagai putri pamannya. "Kayaknya dia memang sudah menunggu kedatangan anak bibinya". Lalu dia mengucapkan syukur kepada Tuhan Mulajadi Nabolon.

Kemudian Lontung berdiri dan meyakinkan dirinya untuk menghampiri putri pamannya itu. Setelah berjalan beberapa jauh, sejarak yang mampu untuk berkomunikasi dalu dia bersuara, "Halloooo yang ada di pemandian!" serunya dengan suara yang agak keras, tetapi tidak segera ada jawaban. Karena tidak ada suara maka dia merasa kecut juga karena memang biasa juga terjadi setan ada dipemandian. Tetapi kemudian pikirnya, "inikan siang hari, mana mungkin ada setan!" pikirnya. Lalu dia mengulangi panggilannya, "Hallloooo yang ada dipemandian! aku sudah haus dan mau kearah situ", serunya agak kuat. Tetapi masih belum ada sahutan dari seberang sana. Perempuan itu hanya menoleh sekejap kearah suara yang memanggil dan kemudian melanjutkan mandi kembangnya. Untuk ketigakalinya Lontung memanggil orang yang ada dipemandian itu sambil melangkahkan kakinya menuju pemandian itu.

Setelah sampai dipemandian dan bertemu pandang dengan perempuan yang mandi itu lalu dia berkata, "Kalau memang setan ya setan ibulah kamu, kalau memang seorang putri, ya putri pamanku lah kamu. Aku hanya mau minta sedikit air untuk minum karena aku sangat haus, kalau memang nggak keberatan." Perempuan itupun memberikan air yang diminta Lontung dan diapun lantas meminumnya.

"Sepertinya anda orang baru, siapakah anda ini dan mau kemana tujuannya?" demikian sapaan perempuan itu. Karena perempuan itu memulai dengan pertanyaannya maka Lontung merasa tersambut dan senang hatinya, lalu dia menjawab; "Memang iya ito, tetapi kalau nggak salah ito adalah putri paman saya? aku memang sengaja diberangkatkan oleh ibuku untuk menjumpai putri pamanku di pemandian ini." Demikian jawab Lontung. Kemudian lanjutnya, "Tetapi bukan asalan putri paman, karena ibuku menyebutkan ada tanda-tanda yang mengenalkan?" demikian kata Lontung menyelidik. "Akupun demikian, aku seorang putri yang sedang menantikan seorang putra bibiku bernama Siborupareme", demikan disebutkan perempuan itu nama ibu Lontung maka dia merasa yakin yang ada dihadapannya memang benar putri paman yang disebutkan oleh ibunya itu.

Tetapi Lontung masih belum begitu yakin walaupun memang mirip seperti yang diceritakan oleh ibunya, "Tetapi kok agak hitam dan jari-jarinya terlihat kecil," pikirnya dalam hati. Hatinya pun agak goyah juga untuk meyakini apakah memang benar perempuan ini putri paman yang dimaksud oleh ibunya itu. Melihat gelagat yang agak kurang yakin pada diri Lontung maka Siborupareme berdiri dari pemandian itu sambil membelakangi Lontung. Lantas Lontug merasa yakin setelah melihat tubuh perempuan itu dari belakang memang cantik, bahwa tingginya dan rambutnya memang persis sama seperti yang diceritakan. "Kalau hanya kulitnya yang agak hitam ya nggak apalah itu," demikian pikirnya dalam hati.

Lalu perempuan itu membuka pembicaraan,"kalau memang harus memenuhi ketentuan adat, ayo kita ke kampung ayah saja!". Mendengarkan itu Lontung menjadi takut, karena dia memang belum pernah mengerti perkataan adat istiadat, dan memang belum pernah tau bagaimana meminang seorang gadis, termasuk belum pernah dia merantau ke kampung lain. Dengan segera dia membalas perkataan perempuan itu dan berkata, "kalau memang benar kau putri pamanku berikanlah aku air untuk minum". Perempuan itu memberikan air itu tetapi Lontung meremas jari-jari tangan perempuan itu sewaktu menerima air pemberiannya, lalu dia mengeluarkan cincin yang dipesankan oleh ibunya untuk disematkan pada jari-jari perempuan itu. Tetapi karena jarijari perempuan itu sudh mengecil selama berendam dalam air sehingga cincin itu kurang pas, tetapi masih ada yang dia mau berikan sebagai penegasan pembuktian bahwa itu adalah putri pamannya dan dia mengeluarkannya dan kebetulan memang cocok. Maka yakinlah Lontung bahwa perempuan itu memang putri pamannya.

Pada awalnya perempuan itu pura-pura menolak sambil menegaskan supaya mereka berdua pergi menghadap bapaknya dan orang tuatua kampung. Lontung menjadi semakin takut karena dia merasa akan berhutang besar kepada pamannya padahal dia tidak punya harta apaapa. Oleh karena itu dia lantas merayu , "Aku tidak menolak untuk membawa kau ke kampung paman tetapi aku sudah sangat yakin bahwa kau memang putri pamanku dan ibuku sudah memesan agar kau kubawa saja kekampungku menjumpai ibu".

Kemudian Lontung meraih tangan perempuan itu sambil membawanya jalan kearah kampungnya. Diperjalanan dia selalu mengiyakan apasaja yang diminta oleh perempuan itu. Setelah berjalan sedemikian jauh, perempuan itu berkata, "Kakiku sudah letih berjalan, kita bermalam di liang ini saja supaya bisa kita memulihkan tenaga untuk melanjutkan perjalanan besok". demikian kata perempuan itu sambil meninjukkan gua kecil yang ada disitu.

Lontung menyetujuinya dan mereka tinggal untuk bermalam di gua itu. Terkadang memang tidak dapat disembunyikan gelora yang menyesak didada seperti itu juga Siborupareme yang sudah gregetan dengan gelora birahi, bahkan dia berpikir agar tidak ada halangan yang mengganggu. "Bukan hanya keinginan hatiku, tetapi hasrat anakku inipun sudah memuncak, jadi sekarang saja dilakukan," demikian terbesit dihati Siborupareme. Setelah hari mulai gelap sewaktu dia merebahkan tubuhnya, dia mulai menggeserkan tubuhnya mendekat ke Lontung.

"Sudah semakin kencang hembusan angin dari danau dan udaranyapun sudah dingin" demikian dibisikkan Siboruparema langsung ketelinga Lontung. Merekapun semakin merasakan nikmatnya suasana malam. Sebenarnya Lontung sudah sedari tadi menggelora birahinya namun karena dia merasa malu karena baru berjumpa sehingga dia menahan hasratnya sehingga dia kelihatan seperti orang bego saja. Oleh karena itu Siborupareme menarik tangannya dan menempelkannya dibagian dadanya lalu dipeluknya Lontung dengan erat dan gemas. Nafas Lontung seperti sesak dan tak mampu lagi membedakan mana kepala dan mana kaki karena demikian eratnya dipeluk Siborupareme. Nafasnya terdengar tersengalsengal dan seluruh ototnyapun terasa menegang. Perempuan itupun semakin  menggila karena dia sudah pernah merasakan nikmatnya bercinta dengan kembarannya dulu dan saat inipun dia sangat ingin melampiaskan hasrat yang sudah menggebugebu itu. Dia sudah tidak mengenal lagi mana saudara sedarah dan mana anak kandung karena gelora nafsu birahinya sudah tak adalagi yang mampu meredamnya karena suasana dan alam sekitar seolah mengijinkan semua itu terjadi untuk memenuhi kenikmatan. Sudah sekian lama dia tidak menikmati hajat tubuhnya sejak ditinggal suaminya sehingga dia selama ini tersiasiakan tanpa terpenuhi hasrat nafsu badani. Demikian pula Lontung bagaikan kerbau remaja yang baru dilepas dari kandangnya menggeliat kekiri dan kekanan meresapi nikmatnya hidup, dia tidak sadar bahwa yang ditungganginya adalah ibunya sendiri. Sebentar kemudian mereka berdua sepertinya menyepakati irama klimak untuk dicapai secara bersamaan, dan sesaat irama itupun luruh mulai melemas, tubuh mereka seolah luruh tak bertenaga tersedot oleh kenikmatan badani. Kedua tubuh terkulai lemah lunglai menggelepar dan tertidur pulas karena keletihan diiringi berjalannya waktu dikegelapan malam yang dingin.
 
Keesokan harinya mereka terbangun dan berkemas untuk melanjutkan perjalanannya. Selepas tengah hari mereka sudah sampai digubug ibunya. Sesampai digubuk itu Lontung segera berkemas membereskan yang ada di gubuk itu. Lontung bergerak kesana kemari sambil memanggil ibunya yang tentu saja tidak ditemukannya tetapi dia menyangka ibunya sedang pergi mencari kayu bakar atau makanan.
 
Setelah menunggu beberapa lama tidak juga muncul ibunya, diapun berkata kepada Siborupareme, "mungkin ibu sedang mencari makanan untuk menyambut menantunya, sebaiknya kita berteduk saja dibawah pohon disamping gubuk ini, karena hari sudah mulai teduh:, demikian katanya kepada Siborupareme. Lontung melangkah keluar untuk berteduh dibawah pohon rindang itu lalu dia merebahkan tubuhnya yang dihembus oleh angin sepoi-sepoi lalu dia memanggil putri pamannya itu. Pada awalnya panggilan itu pura-pura tidk didengar oleh Siborupareme sehingga Lontung menghampirinya dan mengiringnya untuk duduk dibawah pohon itu. Perempuan itupun kemudian berkata, "Aku mau tidur saja di gubuk karena kakiku sudah letih selama perjalanan tadi". "Betul juga," pikir Lontung dalam hatinya, lalu dihantarnya perempuan itu kembali ke gubuk dan dia berniat untuk mencari dimana ibunya berada.
 
Kemudian Lontung pergi ke ladang arah tempat pemandian karena mungkin ibunya sedang mandi disitu. Sebentar dia mengamati tetapi tidak ada tanda-tanda dan yang terlihat ada bampu tempat mengambil air, lalu dia menyingkir agak menjauh maksudnya supaya tidak kepergok malu melihat ibunya mandi. Dari agak kejauhan dicobanya untuk memanggil ibunya tetapi tidak ada sahutan, kemudia pikirnya, "biar ajalah mandi mandi dulu" lalu dia berjalan kembali ke gubuk.
 
Sesampai di gubuk dilihatnya putrid pamannya itu tertidur kearah pinggir gubuk lalu dia ingin memindahkannya kearah tengah gubuk dengan mengangkatnya dengan maksud agar lebih nyaman tidurnya karena dianya sudah letih dalam perjalanan jauh. Sesaat dia mengangkat, putrid pamannya itu terbangun dan melihat dia sedang dalam bopongan Lontung dan lantas seketika dia memeluknya dan mereka berduapun tertawa terbahak-bahak. Bopongan Lontung masih belum lepas tetapi wajah Siborupareme sudah terlihat semakin berbinar memerah dan kembali mendidih birahinya. Lontungpun tidak lagi melepaskan bopongannya dan bahkan diperlakukannya seperti menggendong anak-anak layaknya dan tidak dirasakannya lagi berat perempuan itu karena darah mudanyapun sudah mulai mendidih lagi dan segalanyapun terlupakan.

Kemudian Lontung berbisik ditelinga perempuan itu sambil membaringkannya secara perlahan sambil mendampinginya rebah-rebahan. Kemudian mereka berdua bercengkerama bercanda-canda sampai-sampai keringatpun bercucuran serta nafas yang sersengalsengal. Diluaran sana juga terdengar suara-suara binatang seolah ikut menikmati kebahagiaan mereka berdua dan seolah bergembira menyambut kedatangan putrid pamannya dari Sianjurmulamula, tempat dimana asalmuasal manusia dan kebijakan.

Sewaktu mereka kemudian duduk bersama disamping dapur perapian memasak, teringat pula Lontung dimana ibunya sedang berada. Timbul pertanyaan mengapa ibunya belum pulang juga. Timbul kekhawatirannya siapa tau ibunya itu sudah dimangsa harimau karena nggak ada orang yang menolongnya. Kemudian dia berkata kepada putrid pamannya itu, “Aku pergi sebentar ke tepi hutan dekat gunung sana, karena biasanya ibu ada disana.” Siborupareme membiarkannya pergi dan dia menghantarnya tidak berapa jauh arah ke lading yang ada disitu.

Di tengah perjalanan Lontung terus berpikir mengapa ibunya pergi tanpa menunggu kedatangan menantunya. Tetapi pikirannya cenderung mengarah kepada bahaya yang menimpa ibunya. Tercucur juga airmatanya didekat hutan itusambil melihatlihat kesekitar dimana mereka sering berada ditepi hutan itu. Setelah memastikan bahwa ibunya memang tidak ada disitu maka dia melangkah pulang dengan gontai dan terlihat lemas.

Sesampai di gubuk itu, perempuan itu melihat kesedihan tergambar diwajah Lontung dan diapun berusaha menghiburnya dengan mengatakan bahwa ibunya itu mungkin pergi mencari Sariburaja suaminya karena dia merasa tidak akan betahan melihat mereka berdua berkasihkasihan sementara ibunya ditinggal lama oleh suaminya. Memang agak terhibur hati Lontung.

Demikianlah harihari berlalu dalam kebahagiaan mereka, tetapi dihati Lontung masih bertanyatanya dimana keberadaan ibunya. Kalau karena dimangsa harimau tentu sudah ada bekasnya. Mungkin saja pohon-pohon disitu pasti ada bekas cakaran, atau bekas cabikan pakaian.

Terkadang timbul juga keheranan dalam hatinya yang bertanya-tanya bahwa mungkin saja perempuan yang digaulinya ini adalah ibunya sendiri karena semua cirri-cirinya sangat mirip. Bentuk tubuhnya, tingginya, panjang rambutnya, jarijarinya dan lainya. Tetapi kecurigaannya itu disembunyikannya didalam hatinya Karen kalaupun harus ditanyakan langsung kepada perempuan itu, dia merasa malu.

Kalau begitu, Horas ma na manjalahi, horas ma na nijalahan, horas muse ma antong na so pola jalak-jalak.



Catatan: kisah ini dipetik dan diterjemahkan secara bebas dari buku berjudul “DOLOK PUSUK BUHIT-7, oleh Drs. Gens G Malau (Ompu Adintya)

Rabu, 31 Maret 2010

SIBORU NAITANG

Siboru Naitang sudah demikian tersohor kecantikannya, dan sudah menjadi istri seorang raja yaitu Raja Sinaga dari daerah Sirait Nainggolan, kira-kira berjarak sekitar 25 kilometer dari Pangururan di arah selatan.

Sebelum kisah ini terjadi, hampir semia orang memuji dan mensyukurinya karena jadi dipinang oleh seorang anak raja yang kaya dan terhormat. Sang pangeran si anak raja itupun memang seorang yang genteng dan tampan, sehingga mereka memang sepadan dari segi fisik, akan tetapi mungkin juga kurang serasi dalam hal sifat dan kelakuannya.

Walaupun sudah sekian lama menjadi suami istri, namun belum ada terlihat tanda-tanda bahwa Siboru Naitang sedang mengandung anak. Disuatu saat, Siboru Naitang membuka pembicaraan kepada suaminya:

"Suamiku tercinta, alangkah baiknya kalau kita bisa berkunjung ke rumah bapak mertua di Pangururan". Demikian kata Siboru Naitang membuka pembicaraan.

"Wah.. itu ide yang baik, istriku sayang..., senang hatiku atas idemu itu; kalau begitu persiapkan saja bekal-bekal yang perlu agar kita dapat segera berangkat besok." demikian kata suaminya.

"Karena perjalanan kita cukup jauh, kira-kira perjalanan setengah hari, jadi ngga usalah membawa bekal yang banyak, cukup untuk bekal diperjalanan saja," demikian jawaban dari Siboru Naitang.

Perjalan ini baru pertama kali dilakukan mereka berkunjung ke rumah orangtua mereka Raja Sinaga. Mereka berangkat berdua dan juga membawa seekor anjing kesayangan mereka.

Walaupun sudah beberapa bulan mereka menjadi suami istri, tetapi rupanya Siboru Naitang tidak pernah mau memberikan perhatian kepada suaminya. Sering juga dianya hanya duduk santai dirumahnya, karena dia selalu terngiang tentang apa yang pernah dia lakukan dengan saudara laki-laki kandung kembarannya sendiri bernama Inar Naiborngin, sebagai temannya bermain di taman, di ladang, maupun di sawah, termasuk sebagai temannya bersenda gurau di Balai yang terdapat di ladang mereka.

Orangtua mereka sebenarnya kurang cermat memperhatikan tingkahlaku anak kembarnya ini sehingga mereka sudah terlanjur terlalu jauh berhubungan yang tidak sepantasnya. Mereka sudah mengenal nikmatnya tidur bersama di balai, mereka sudah mengenal nikmatnya mandi bersama di pancuran kecil yang terdapat di dekat persawahan kampung mereka. Terkadang mereka tidak sempat lagi membersihkan ladang ubi mereka yang sudah ditumbuhi oleh semak dan ilalang. Mereka lupa untuk menyiangi semak yang tumbuh diantara pohon singkong yang sudah mulai tumbuh meninggi. Terkadang mereka berdua duduk-duduk saja ditengah rimbunnya daun singkong, sehingga mereka tak terlihat entah apa yang mereka lakukan berduaan disitu. Yang jelas mereka sudah terjatuh kedalam lembah kenistaan. Hanya mereka berdua yang tau nikmat yang mereka lakukan, karena mereka luput dari pengamatan dan perhatian orangtua mereka. Memang benar kenikmatan yang mereka dapatkan, akan tetapi sungguh tak terkatakan efeknya dikemudian hari.

Semua kejadian nikmat itu selalu terngiang di benak Siboru Naitang dalam perjalanannya dengan suaminya itu walaupun terik matahari demikian kuat menyengat kulit mereka, namun tak disadari mereka keringat mengucur bagaikan air mendidih. Oleh karena itu mereka menjadi cepat lelah, lebih lagi suaminya yang sudah beberapakali menguap ternganga karena mengantuk, sehingga badannyapun sudah mengidamkan untuk berbaring karena lelah di terik matahari itu. Akan tetapi karena dia merasa malu kepada istrinya, diapun berusaha melangkahkan kakinya selalu di depan dengan dipaksakan.

Seketika mereka telah sampai di kawasan Tanah Simbolon arah ke perbukitan dekat kampung, dan karena sudah tidak tahan lagi kantuknya, maka dia minta berhenti untuk beristirahat, dan mereka berteduh dibawah pohon Bintatar yang ada dekat lembah. Memang perjalanan mereka kira-kira sudah setengah jalan.

Mereka duduk bersama disebelah pohon itu. Ada perasaan lega berteduh dibawah rindangnya daun-daun pohon Bintatar itu. Memang demikian kantuknya sang anak raja itu sehingga dia tertidur pulas di pangkuan sang istri Siboru Naitang.

Mungkin memang sudah ada niat asing dibenak Siboru Naitang sejak dari rumahnya di Sirait Nainggolan. Sewaktu dia melihat suaminya tertidur pulas, maka timbullah niatnya yang jahat. Pada saat bersamaan itu terngiangpula dia kepada saudara laki kembarannya Inar Naiborngin, seolah tergambar sedang melambaikan tangan memanggilmangilnya, dan seolah meminta agar mereka dapat segera bertemu untuk berpelukan.

Siboru Naitang mengamati suaminya yang tertidur pulas itu dengan mata yang berbinar-binar layaknya bagai seorang yang sedang mabuk tuak. Dia mengeram giginya yang terlihat geram seolah ingin membalas dendam sehingga nafasnyapun terdengar terengah-engah bagaikan kerbau yang sedang menyeret beban berat.

Dia kemudian mencabut belati tajam yang terselip dipinggang suaminya, lalu dia mengatur posisinya dengan menumpu lutut kirinya ke tanah sementara kakinya sebelah kanan mengangkangi kepala suaminya yang sedang tertidur pulas itu, terlihat dia seperti dalam posisi seorang pencak silat yang mengatur kuda-kuda yang siap untuk membinasakan musuhnya. Dalam sekejap mata sudah digorokkan belati tajam itu ke leher suaminya itu, dan seketika itu pula tewas tanpa ada perlawanan.

Siboru Naitang segera mengemasi mayat itu, lalu digulingkan kedalam lembah, akan tetapi kepalanya yang sudah terputus itu dijinjingnya sampai ke kampungnya kembali. Dalam perjalanannya yang tergesa-gesa itu, dia tidak lagi menanggapi orang-orang yang sedang menyapanya dalam perjalanannya. Memang pada jaman itu dirasa aneh apabila seorang berempuan yang melakukan perjalanan tanpa didampingi oleh laki-laki. Segera sampai di kampung itu, dia langsung mencari saudara laki kembarannya itu, tetapi bungkusan kepala yang dijinjingnya itu disembunyikannya di bagian luar rumah yang tersembunyi.

Sebelumnya dia tidak memperhatikan bahwa anjingnya tidak mengikutinya sejak perjalanannya itu karena anjingnya itu ternyata sudah pulang duluan kembali ke kampung tuannya di Sirait Nainggolan. Memang agak heran raja di Sirait, dan dia merasa bahwa ada sesuatu yang tak beres dalam perjalanan anaknya dan menantunya itu makanya anjing itu pulang lebih dulu.

Keesokan harinya, seorang dukun dihadirkan untuk membaca tenungan (parhalaan = kalender batak) atas anaknya dan menantunya. Setelah sang dukun menggerak-gerakkan jeruk purut yang mengambang di cawan, lalu berkata: "Aku ada melihat menantu raja dalam keadaan sehat walafiat, akan tetapi anak raja tak terlihat, dan hanya ada bungkusan yang menyertai perjalanan menantu raja itu, ngga ada manusia yang lain yang tampak."

Biasanya hati sang raja tidak pernah khawatir bahkan untuk memberangkatkan anaknya ke medan perang, namun kali ini sepertinya hatinya merasa gusar, serasa keyakinannya tidak goyah.

Sang raja menyuruh anaknya untuk mempersiapkan bekal untuk menyusuk ke kampung hula-hula anaknya itu di Pangururan di bawak kaki Dolok Pusuk Buhit. Juga dipersiapkan anakbuahnya yang biasanya diberangkatkan dalam peperangan, karena dia sudah yakin ada masalah yang terjadi dalam perjalanan anaknya itu.

Setelah mereka sampai di Pangururan, langsung mereka menuju kampung Naibaho Siahaan, lalu ditegaskan untuk menanyakan dimana anaknya dan menantunya berada. Raja yang ditanya itupun menjadi bingung oleh karena menurut pemberitahuan putrinya bahwa dia hanya sendirian datang karena alasan yang sangat rindu keluarga.

Memang benar juga itu ipar (lae), putriku sudah disini dua hari yang lalu. Aku memang menanyakan mengapa hanya dia sendiri yang datang tanpa menantu kami anak raja itu. Putri kami mengatakan, mungkin menantu kami itu kurang suka perjalanan yang agak jauh, tetapi walaupun hanya putriku yang datang, katanya mereka sudah sepakat.

Dari jawaban Raja Naibaho itu, tubuh Raja Sinaga mengucurkan keringat dan terasa lunglai, dan dia semakin bertanyatanya kemana gerangan anaknya berada, karena memang mereka diberangkatkan secara resmi. Olehkarena itu maka dimintanya untuk memanggil saja menantunya itu supaya dapat didengar penjelasan tentang perjalanan mereka.

Pada awalnya, Siboru Naitang mengatakan: "Suamiku sudah pulang kembali dari tengah perjalanan karena merasa sangat letih melakukan perjalanan itu. Aku dengan senang hati memberangkatkan dia pulang dari tengah perjalanan, aku merasa khawatir juga bahwa anak raja itu ngga terbiasa melakukan perjalanan jauh, makanya aku usulkan dia pulang saja."

Kemudian Siboru Naitang melanjutkan: "Sebenarnya aku mengusulkan untuk menginap saja dikampung yang dekat dengan tempak kami beristirahat, tetapi aku melihatnya sudah semakin enggan melanjutkan perjalanan kami yang masih jauh, sehingga aku maui saja permintaannya untuk kembali pulang."

Penjelasan yang diberikan oleh Siboru Naitang, dapat mereka terima tanpa ada unsur kecurigaan, karena dia menyampaikannya dengan wajah yang tenang, bicara yang jelas, dan beralasan.

lanjutan ceritanya....

Lain hal dengan anjing Raja Sinaga yang pergi berkeliling-keliling kampung karena anjing itu mencium bau tuannya. Sang anjing hilir mudik mencari tuannya itu hingga sampai ke pondok dekat kampung itu dimana tempat Siboru Naitang berselingkuh dengan saudaranya sendiri. Melihat anjing yang gelisah itu, kemudian raja itu memanggil anjing itu sambil mengeluselus kepalanya. Setelah diamati ternyata anjingnya itu sedang menagis mencucurkan airmata> Melihat hal itu semakin jelaslah kecurigaannya bahwa sudah terjadi sesuatu di kampung besannya Raja Naibaho. Kemudian dia menginstruksikan kepada pengawalnya untuk mengikuti kemana pergi anjing itu mengarahkan tujuannya tanpa diketahui Raja Naibaho. Tetapi anjing itu tidak mau lagi pergi dari samping tuannya dan matanya terus saja mencucurkan airmata. Kemudian Raja itu berdiri dengan maksud agar anjing itu pergi mencari dimana anaknya berada. Kembali anjing itu mengibasngibaskan ekornya dan terlihat gelisah dirumah Raja Naibaho itu.

Seketika melompatlah anjing itu mengarah ke bagian atas rumah itu sambil mengaum panjang seperti tangisan sehingga yang hadir disitu merasa ngeri mendengar suara lengkingan anjing itu. Melihat sikap anjingnya yang demikian, Raja Sinaga berkata kepada Raja Naibaho: "Sudah ada tergerak dihatiku bahwa ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi kepada anakku. Oleh karena itu cobalah dulu dipanggil kembali Siboru Naitang supaya tegas aku meminta penjelasannya."

Setelah menantunya Siboru Naitang datang, secara langsung Raja Sinaga mendesak agar diberi jawaban yang tegas dimana mayat anaknya disembunyikan, karena sudah terjadi sesuatu yang buruk kepada anaknya itu dan itu terlihat dari tangisan anjingnya Sihuring. "Kalau memang sudah nasib anakku tidak berkelanjutan menjadi suami menantuku, nyatanya memang sudah menjadi aib bagiku, aku tidak bermaksud apa-apa padamu menantuku, tetapi coba secara tegas menantuku katakan apa yang sedang terjadi", demikian kata Raja Sinaga sambil terisak tangis.

Siboru Naitang menjadi terharu dan luruh hatinya. Dijelaskannya memang sudah mati suaminya -anak Raja Sinaga itu, dan kepalanya diakuinya dibawanya yang disembunyikannya di langit-langit rumah itu.

Seketika Raja Sinaga menangis berteriak dengan suara keras, demikian pula besannya Raja Naibaho karena diapun memang tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di kampungnya itu, lagipula kepala menantunya itu ternyata terletak dilangit-langit rumahnya. Setelah penggalan kepala itu diambil dari langitlangit rumah itu, seketika pengawal Raja Sinaga hendak mengobrakabrik seisi kampung, tetapi Raja Sinaga menghentikannya dan berkata dengan suara kuat: "Lebih baik aku mendengar dulu apa hukuman yang akan dijatuhkan kepada Siboru Naitang yang berhati macan itu, yang membunuh sendiri suaminya layaknya pembunuh berdarah dingin ini."

Memang langsung dijawab Raja Naibaho permintaan besannya itu: "Besok pagi kami akan menenggelamkannya ke tengah danau yang paling dalam, agar dia dimakan ular Siniangnaga yang datang dari pusat bumi, kemudian agar dihempaskan angin topan ke hutan belantara sehingga dia akan dicabikcabik babiat sitempang (harimau), harimau leluhur penegak hukum. Tidak mesti hukum manusia yang dijatuhkan kepada manusia seperti ini, tetapi biarlah para leluhur dari Pusuk Buhit yang pantas menghukumnya. Tabahkanlah hati besanku, kalau engkau berkenan atas apa yang aku sampaikan tadi, tak usalah kami memanggil raja-raja hakim untuk memutuskannya." Setelah mereka besanan itu saling sepakat, kemudian Raja Sinaga dan pengawalnya pulang ke kampungnya. Siboru Naitang terlihat tidak menyesali perbuatannya dan dia rela mendapat hukuman sebagaimana yang disampaikan oleh ayahnya itu.

Keesokan harinya, dibunyikan gendang (Ogung) untuk menghantarkan putrinya itu menjalani hukumannya, kemudian memasukkannya kedapam perahu yang sudah dipersiapkan dengan batu pemberat untuk tujuan menenggelamkannya. Orang-orang sekampung yang ikut menghantarkan turut sedih juga dan mereka menangis, walaupun mereka memahami kejahatan yang dilakukan oleh Siboru Naitang.

Pada sore harinya, para pengawal Raja naibaho pulang dari pelaksanaan hukuman itu tetapi diberitahukan bahwa Siboru Naitang tidak dapat tenggelam ke dasar danau karena acapkali ditenggelamkan maka selalu muncul lagi ke permukaan dan tak terlihat Siboru Naitang menderita malah kelihatan biasabiasa saja. Karena kejadian itu maka mereka mendapat firasat bahwa ada sesuatu yang ditunggu atau diidamkan oleh Siboru Naitang dari ayahnya atau ibunya, makanya dia tak dapat tenggelam. Lalu mereka berniat membawa kembali Siboru Naitang ke kampungnya.

Sesampainya ditepi pantai, dan didepan orang-orang yang menghantarkannya untuk menjalani hukuman itu, dia berkata: "Tolong dipersiapkan untukku sebuah kuburan dan ditanam pohon jabijabi (sejenis pohon beringin) agar ada nantinya tempat berteduhku. Tolong juga dibersihkan ayam jantan berwarna merah-hitam (Mirasialtong) dengan minyak dan diletakkan bersamaan dengan dompet sirih, agar hatiku merasa tenang dibenamkan ke dasar danau.

Setelah semua permintaannya itu dipenuhi, dia sendiri dengan rela berjalan ke arah danau, dan dia langsung berjalan ketengah danau itu sehingga lambatlaun dia terlihat semakin tenggelam dan akhirnya hilang dari pandangan. Kemudian tempat itu menjadi tempat keramat pemujaan (sombaon).

Raja Inar Naborngin saudara kandung Siboru Naitang selingkuhan incest-nya semakin ketakutan apabila orangtuanya mengetahui perbuatan mereka yang kakakberadik. Dia merasa bahwa Siboru Naitang sudah memberitahukan perbuatan mereka itu, dan karena itu dia selalu bersembunyi dari penglihatan orangtuanya.

Tiba saat yang tepat bagi Raja Inar Naborngin, dia pergi merantau ke negri asing dan dia sampai ke daerah marga Sihotang. Dari situ dia kemudian pergi ke arah Bakkara kemudian melewati daerah Muara dan terus ke arah Lintongnihuta di daerah Humbang.

Agar dia tidak ditanyai siapa dan darimana asalnya maka dia merubah namanya menjadi Datu Galapang, dan dia menyatukan garis keturunannya dari marga Sihombing pemilik daerah disitu supaya dia dapat tinggal tetap di daerah itu. Oleh karena itu dikemudian hari setelah beberapa generasi terjadilah ikatan janji (padan) antara keturunan Sihombing dengan keturunan Raja Inar Naiborngin Naibaho.

Minggu, 07 Februari 2010

Nyi Roro Kidul Sang Putri Batak

Siboru Biding Laut adalah kembaran dari Gumellenggelleng alias Biakbiak alias Raja Uti. Setelah Raja Uti pergi bersemedi di Gunung Pusuk Buhit, maka Siboru Biding Laut adalah anak tertua dari Guru Tatea Bulan dan sebagai penggantinya untuk mengayomi adik-adiknya setelah kematian kedua orangtuanya.

Sebelum meninggalkan kampungnya untuk pergi jauh menghindar dari rencana pembunuhan oleh adik-adiknya, Sariburaja mernanggil dan berkata kepada kakak perempuannya Biding Laut, katanya; “Kakak adalah anak yang paling sulung dari keturunan orang tua kita, oleh ¬karena itu saya mohon agar kakak menjaga dan membina adik-adik kita semuanya. Saya Sariburaja adikmu yang seharusnya menerima tanggung jawab tersebut merasa gagal dan akan pergi meninggalkan tempat ini, karena adik kita Limbong Mulana dan Sagalaraja akan membunuh saya. Kakak tidak perlu mencariku! permintaanku agar kaka menjaga dan mernelihara adik kita serta dapat mengayomi dan memelihara keutuhan nama besar keluarga kita.” Biding Laut terdiam, air matanya menetes membasahi pipinya. Dia berkata; “Adikku Sariburaja kemanakah gerangan kau akan pergi ? Kau adalah adikku juga dan sudah seharusnya menjagamu dari segala marabahaya. Apalagi yang bermaksud akan membunuhmu adalah adik-adik kita juga!”

Setelah Sariburaja dan Siboru Pareme sudah tidak bersama mereka lagi, Siboru biding Laut merasa bersalah karena merasa tak mampu berbuat agar keluarga tetap bersatu. Siboru Biding Laut memutuskan untuk mencari Sariburaja adiknya.

Siboru Biding laut pergi ke-arah barat untuk mencari Sariburaja sambil memastikan bahwa Sariburaja masih hidup. Perjalanan Siboru Biding Laut dalam pencariannya dilakukan siang dan malam menempuh hujan dan terik matahari ke-arah barat sesuai petunjuk adiknya itu.

Siboru Biding Laut tiba disebuah desa ditepi pantai dan menjumpai seorang nelayan dan menanyakan kepada nelayan itu apakah dia pernah melihat orang asing ada tinggal disekitar desa itu. Siboru Biding Laut tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan dari orang-orang yang ditanyainya.

Perjalanannya menyusuri pantai barat Sumatera itu dilaluinya penuh dengan tantangan alam. Angin kencang yang datang dari samudra Hindia dibawah terik matahari pantai membuat tubuhnya lemah lunglai karena kekeringan mengalami dehidrasi. Langkahnya yang gontai mengarahkannya untuk beristirahat sejenak di atas sebuah bangkai kayu yang sudah lapuk dihempaskan oleh ombak lautan. Siboru Biding Laut duduk mengarah lautan bebas dan bertopang dagu sambil mengira-ngira dimana kira-kira adik yang sedang dicarinya Sariburaja. Mata yang sebenarnya memandang kosong ke lautan bebas tiba-tiba terpaku kepada sebuah pulau kecil, lalu diya meyakinkan dirinya bahwa adiknya itu kemungkinan besar berada dipulau itu untuk bersembunyi.

Siboru Biding Laut menumpang sebuah perahu nelayan dan meminta agar dia dihantarkan kepulau itu, dan nelayan itu menyebut namanya Pulau Mursala. Ada keheranan dibenak nelayan itu karena pulau itu diketahuinya tidak berpenghuni. Keingintahuannya mengarahkan hatinya untuk bertanya; “Untuk apa ito pergi ke pulau itu?” tanyanya menyelidik; “Aku sedang mencari adikku Sariburaja yang pergi dan hilang entah kemana, apakah ito pernah dengar seseorang yang bernama Sariburaja.” Demikian jawabnya sambil bertanya. “Sepertinya tidak pernah terihat orang asing bernama Sariburaja disekitar sisi, tapi mungkin saja dia bersembunyi di pulau itu”, demikian balas si nelayan.
Setiba di Pulau Mursala, Siboru Biding Laut menyusuri setiap sudut pulau itu namun dia tidak menemukan siapa-siapa di pulau itu. Keletihannya membuat dia mengantuk dan tertidur. Dia tidak menyadari bahwa tak seorangpun ada di pulau itu sementara nelayan yang menghantarkannya sudah kembali pulang.

Sementara itu seorang pemuda yang sudah beberapa lama memperhatikan Siboru Biding Laut sewaktu mondar mandir sambil menangis seperti mencari sesuatu. Pemuda itupun mengikutinya sejak dihantar oleh nelayan ke pulau itu. Pemuda itu pergi menuju Pulau Mursala untuk mencari tau apa gerangan yang dicari oleh gadis cantik di pulau yang tak berpenghuni dan dia menganggapnya merupakan hal yang tak lazim dilakukan oleh seorang wanita.

Pemuda itu menemukan Siboru Biding Laut sedang tertidur pulas. Dia mencoba untuk membangunkannya dengan maksud untuk menawarkan membawanya kembali ke pantai. Siboru Biding Laut terbangun dan melihat seorang pemuda berdiri dihadapannya. “Ito, mari saya hantar kembali ke pantai, karena tak baik seorang gadis cantik tinggal sendirian di pulau yang tak berpenghuni ini” demikian kata pemuda itu meyakinkannya. Siboru Biding Laut mengikuti ajakan pemuda itu sambil berucap, “Terimakasih ito” jawabnya singkat, tetapi dalam hatinya berkata, “Baik nian anak muda ini”.

Sambil berjalan menuju pantai pulau itu dimana sampannya ditambat, pemuda itu berkata, “Saya sebenarnya sudah lama memperhatikan ito sewaktu di daratan, dan melihat itu berwajah sedih dan menangis, makanya saya tertarik mengikuti perjalanan ito.” Demikian kata pemuda itu mulai menyampaikan maksudnya. Siboru Biding Laut hanya berdiam tidak membalas, karena pikirannya hanya tertuju kepada adiknya Sariburaja yang belum ditemukannya. Lalu pemuda itu mulai menggodanya sambil bertanya, “Mengapa secantik ito terlihat bersedih dan menangis? Apa ada yang menyakiti ito?” tanyanya menyelidik. “Aku sedang mencari adikku yang tak tau kemana rimbanya,” demikian jawaban Siboru Biding Laut singkat. “Mengapa ito mau mencari orang yang tak tau dimana rimbanya, bagaimana kalau ito tinggal bersama saya saja dan saya persunting menjadi istri saya?” demikian kata pemuda itu menyampaikan maksudnya.

Mendengar maksud pemuda itu, Siboru Biding Laut tersinggung dan berkata, “Saya mengira ito orang baik-baik ternyata tidak, sebaiknya ito pergisaja dari sini dan biarkan saya tinggal disini, aku tak perlu bantuanmu, dan jangan ikut campur urusanku,” katanya dengan sinis. Sambil menghentikan langkah, walaupun tersinggung, pemuda itu masih mencoba menjelaskan maksudnya, lalu berkata, “Ito jangan marah dulu, saya mengatakan apa adanya bahwa saya memang terpesona melihat kecantikan ito sehingga sepertinya aku sudah jatuh cinta pada ito, makanya aku memberanikan diri untuk mengajak ito kawin dengan saya” katanya meyakinkan. Karena Siboru Biding Laut memang sedang gundah gulana mencari adiknya itu sehingga dia tidak mempan akan rayuan si pemuda itu dan bahkan hatinya menjadi marah dan membalas perkataan pemuda itu dengan ketus dan sikap marah, “Sekali lagi saya ingatkan supaya ito pergi saja dari sini, aku tak perlu bantuanmu,” katanya dengan tegas.

Jawaban-jawaban Siboru Biding Laut membuat pemuda itu tersinggung. Dia belum pernah mendapat sambutan yang sinis atas niatnya yang baik. Dengan rasa malu dia melangkahkan kakinya menuju sampannya dan mengayuhnya menjauhi pulau Mursala. Sesampai di desanya, dia menyampaikan cerita Siboru Biding Laut dengan pemuda-pemuda lainnya bahwa Siboru Biding Laut menentang kesaktian dengan pemuda desa itu. Mendengar pengaduan tersebut, para pemuda di desa itu menjadi marah dan malam itu juga mereka berangkat ke Pulau Mursala untuk menjawab tantangan yang diceritakan pemuda itu.

Sesampai di Pulau Mursala, para pemuda itu langsung menjumpai Siboru Biding Laut dan mengeroyoknya. Siboru Biding Laut diikat dan pakaiannya ditanggali, lalu masing-masing memperkosanya bergantian hingga tak sadarkan diri. Tidak hanya sampai disitu, dalam keadaan pingsan setelah pelampiasan nafsunya, mereka membuang tubuh Siboru Biding Laut ke dalam laut dari tebing curam bebatuan di pulau itu.

Karena terombang ambing ombak lautan hindia yang ganas itu, Siboru Biding Laut segera sadarkan diri dan dengan bersusah payah berusaha menepi dari laut. Tubuhnya sekarat terhempas bebatuan karang laut dan dengan suara yang hampir tak kedengaran, dia memanggil-manggil nama ayah dan ibunya yang sudah almarhum itu. Dia juga memanggil-manggil nama abangnya Raja Uti yang telah menjadi pertapa sakti, namun tak ada jawaban sampai dia merasa sudah tak bertenaga lagi menuju kematiannya. Perlahan dan pasti tubuhnya menjadi tak berdaya menepi kepantai dan lantas terbawa hempasan ombak menuju ketengah lautan. Yang terakhir terngiang dipikirannya adalah mencari adiknya Sariburaja kemanapun dan dimanapun sampai akhir hayat.

Gelombang ombak Samudra Hindia mengombang ambingkan tubuh Siboru Biding Laut kemana arus ombak menghantarkannya. Tiba di suatu saat dia terdampar di pantai suatu daerah yang tidak diketahuinya dimana dia sedang berada. Keberadaannya disebuah daerah yang asing baginya mengarahkannya untuk bertanya kepada orang yang dijumpainya. Orang-orang setempat juga telah melihat adanya orang asing berada di daerah mereka. Lalu mereka bertanya kepada Siboru Biding Laut, “Neng ini siapa dan darimana asalmu?”. “Saya dari laut selatan dan sedang mencari adik saya yang hilang,” demikian jawabnya karena dia memang terombang-ambing dan terdampar di lautan sebelah selatan khatulistiwa. Kemudian dia bertanya kepada masyarakat disitu, “A..ak, apa nama daerah ini? Apa pernah melihat orang asing bernama Sariburaja di daerah ini?” tanyanya dengan lugu. “Ini daerah Pelabuhan Ratu namanya, neng. Tetapi kami tak pernah melihat orang asing yang neng sebutkan!” demikian kata masyarakat disitu.

Siboru Biding Laut melanjutkan langkahnya menyusuri pantai dan hutan-hutan sekitarnya untuk mencari Sariburaja. Tekatnya sudah bulat harus menemukan adiknya itu. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan namun Sariburja tidak juga ditemukannya. Kehilangan Sariburaja memang bagai ditelan bumi saja baginya. Langkah kakinya ke arah timur itu terhenti setelah melihat dari kejauhan sebuah kawasan datar yang indah. Dia berhenti sejenak untuk melepaskan lelahnya. Dalam hatinya berkata, “di ‘andaran’ sana pasti ada penghuninya, saya harus ke sana untuk mencari adikku, mungkin dia ada disana.” Demikian pikirnya. (Adaran atau andaran dalam bahasa Batak adalah suatu kawasan datar yang terlihat dari jauh).

Setelah lelahnya pulih maka dia melanjutkan pencariannya ke kawasan yang disebutnya andaran itu. Tekat yang demikian kuat meyakinkan dirinya untuk melangkah pasti menuju tujuannya. Tibalah dia dikawasan yang disebutnya andaran itu yang ternyata kawasan pantai indah di selatan Pulau Jawa itu. Masyarakat disitu disibukkan dengan kegiatannya masing-masing sebagai nelayan, namun seseorang telah memperhatikan kehadiran Siboru Biding Laut sebagai orang asing.

Siboru Biding Laut mengistirahatkan dirinya sambil duduk disebongkah batu yang ada di pantai itu. Dia menikmati keindahan alam ciptaan tuhan yang begitu dikaguminya. Duduk terpaku dengan pikiran kosong tanpa disadarinya dia sudah duduk disitu dalam waktu lama berjam-jam melamunkan cerita-cerita pencariannya dipikirannya sendiri.

Seseorang yang sudah sejak lama memperhatikan keberadaannya disitu, datang menghampirinya. Siboru Biding Laut tidak menyadari kedatangan seseorang yang sedang menghampirinya. Langkah-langkah kaki yang datang tidak lagi didengarnya karena pikirannya yang berkecamuk tertuju kepada bayangan berjumpa dengan adiknya dalam pencariannya itu, Tiba-tiba satu sentuhan jari di pundaknya mengusik kesadarannya dan suara yang menyapanya menolehkan wajahnya ke arah belakang dan melihat sesosok tubuh berwibawa telah ada disampingnya. “Neng, sedang apa disini?” demikian singkat suara yang bertanya itu. Siboru Biding Laut lantas menjelaskan, “Saya dari laut selatan datang ke andaran sini untuk mencari adik saya yang hilang, apa mungkin tuan ada melihat orang asing yang berkeliaran disini, mungkin dia adalah adik saya,“ demikian penjelasannya. “Saha namina neng?” orang berwibawa itu menanyakan kembali. “Saya tak ingat nama lagi tuan, tetapi nama adik saya adalah Sariburaja,” kemudian dia menjelaskan bagaimana dia dapat sampai di daerah itu.

Lelaki yang menyapanya itu ternyata penguasa daerah andaran itu. Dia adalah orang sesaktian yang menjadi raja penguasa. Atas pengaduan masyarakat disitu tentang Siboru Biding Laut sebagai orang asing yang berkeliaran sudah seharusnya mendapat hukuman karena tidak melaporkan kehadirannya di daerah kekuasaan raja itu. Karena mendengar cerita Siboru Biding Laut maka timbul rasa iba bagi raja penguasa itu. Dia memanggil suruhannya untuk membawa Siboru Biding Laut ke istananya dan diperlengkapi dengan pakaian yang baru sebagai ganti pakaiannya yang sudah compang-camping seadanya. Sang raja menganggap bahwa Siboru Biding Laut pastilah seorang sakti sehingga dapat selamat di keganasan alam baik lautan maupun hutan.

Selesai bersalin yang diperlengkapi oleh suruhan raja, maka raja itu menempatkan Siboru Biding Laut sebagai budak pesuruh di istana itu. Badi Siboru Biding Laut hal itu adalah keberuntungan karena dia berkeyakinan akan mendapat informasi tentang adiknya suatu saat. Dia masih bersyukur bahwa masih ada orang yang memperdulikannya walaupun hanya sebagai budak. Dia sempat berpikir bahwa di tanah leluhurnya, dia adalah boru ni raja (putri raja) karena bagi orang Batak tidak memberlakukan perbudakan apabila tidak sedang menjalani hukuman. Bagi Siboru Biding Laut ditempatkan sebagai budak adalah ganti dari hukuman karena dia memang orang yang ada di daerah kekuasaan orang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Sansakti adalah nama raja yang memungutnya sebagai budak di istana raja. Sansakti memang raja yang disegani, ditakuti dan menjadi panutan bagi masyarakatnya. Tak seorangpun berani melakukan pemberontakan karena Sansakti memang memiliki kesaktian yang sangat tinggi tanpa ada tandingan di kawasan itu. Kerja baik dan tekun yang dilakukan oleh Siboru biding laut menjadikan dia sebagai budak yang disenangi disamping rupanya yang cantik. Tak terasa waktu berjalan sedemikian lama tetapi pencariannya kepada adiknya Sariburaja tidak juga membuahkan hasil, walaupun dia banyak melakukan upaya melalui temannya budak apabila sedang keluar istana.

Perilaku baik menjadi perhatian dari raja Sansakti. Siboru Biding Laut sudah dianggap menjadi putrinya sendiri. Para budak lainnya sudah silih berganti karena humuman yang diterima, tetapi Siboru Biding Laut tetap mengabdi dengan sepenuh hati. Melihat kepatuhan dan baik budi dari Siboru Biding Laut maka dia dipercaya sebagai kepala rumah tangga di istana itu. Kepadanyapun diajarkan ilmu-ilmu pengetahuan termasuk kesaktian agar mampu mengepalai istana. Hati Siboru Biding Laut menjadi betah dan senang tinggal di istana.

Tak sadar perjalanan waktu sudah panjang dijalaninya. Duapuluh tahun tak terasa bahwa dia menjadi penghuni daerah yang disebutnya sebagai Pangandaran. Ilmu pengetahuan dan kesaktian sudah banyak yang digalinya dari raja Sansakti. Dia sudah matang menjadi seorang wanita yang mandiri dan memiliki prinsip hidup walaupun dia hidup dan berada nun jauh dari kampung halamannya. Tekad yang dudah terkandung di dalam hatinya masih tetap tertancap mendalam di hati sanubarinya, namun situasi kadang tidak berpihak kepadanya.

Di suatu hari, Sansakti ingin menularkan ilmu kesaktian yang paling dia rahasiakan. Saatnya sudah tiba untuk menurunkannya kepada Siboru Biding Laut yang dia sayangi. Sansakti berkata; “Aku akan mengajarkanmu ilmu kesaktian agar kau tidak merasa terhina terhadap orang-orang disekitarmu dan aku tau bahwa kau masih terusik akan kehilangan adikmu. Bila memang masih menguat dihatimu untuk mencari adikmu yang hilang maka ilmu yang kuajarkan akan berguna bagimu kelak.”

Siboru Biding Laut bersujud dihadapan Sansakti dan mengucapkan terimakasihnya melalui senyuman dibibirnya yang cantik itu. Para hulubalang kerajaan tentu merasa iri mengetahui bahwa ilmu keakti mereka kalah tinggi dibanding Siboru Biding Laut, namun Siboru Biding laut mengelabui mereka dengan mengatakan bahwa yang terpenting baginya bukanlah ilmu kesaktian yang tinggi. Bahwa dia dapat betah di kerajaan itu sudah merupakan sesuatu yang menyenangkan. Oleh karena itu para hulubalang tidak lagi merasa tersaingi dan Siboru Biding Laut menjadi tidak terusik kesirikan para hulubalang.

Kedekatan Siboru Biding Laut dengan Sansakti tidak lagi seperti biasanya. Pelayanan yang selama ini diberikan Siboru Biding Laut bukanlagi sebatas orang tua dan anak yang diangkat melainkan kebutuhan biologis Sansakti sebagai seorang laki-laki dipenuhinya sebagaimana dia juga memiliki hasrat yang sama. Hubungan intim yang mendewakan kenikmatan badani itu berlanjut sekian lama sehingga tiba saatnya bagi Siboru Biding Laut memberitahukannya kepada Sansakti bahwa dia sedang mengandung anak Sansakti dari hasil kenikmatan birahi mereka selama ini.

Sansakti merasa bahagia bahwa dia akan memiliki anak dari muridnya yang dia sayangi itu, maka dia menitahkan untuk membuat pengumuman dari kerajaan bahwa Siboru Biding Laut menjadi istri yang sedang mengandung anaknya. Harkat Siboru Biding Laut terangkat di kalangan istana. Selain daripada Sansakti maka dialah yang memegang kendali tertinggi di kerajaan.

Tiba waktunya bahwa Siboru Biding Laut akan melahirkan, dan lahirlah seorang putri cantik yang kemudian diberi nama Blorong. Waktu berjalan begitu sempurnah bagi Siboru Biding Laut. Dengan memiliki seorang anak dari Sansakti maka posisinya sudah menjadi permaisuri dengan sebutan nyai atau nyi, namun dia malah terusik kepada penggelaran seorang wanita di tanah leluhurnya bahwa dia memang mendapat sebutan anak ni raja (putri raja), jadi penggelaran ini pada dasarnya bukanlah sesuatu yang hebat menurutnya, malah menjadi timbul niat dihatinya bahwa dia harus menjadi benar-benar sebagai ratu yang menguasai kerajaan di Pangandaran itu.

Niatan yang ada dihatinya ditanamkannya menjadi rencana yang harus diwujudkannya agar tiadalagi penghalang baginya untuk memerintah dengan kuasa penuh sehingga tujuan awalnya untuk mencari adiknya yang bernama Sariburaja menjadi kenyataan disamping agar dia memiliki saudara di kerajaan yang akan dia pimpin kelak, karena pikirnya kalau dia hanya seorang sebagai orang asing di kerajaan itu tentu akan timbul masalah dikemudian hari.

Niatan itupun mulai dilaksanakannya seiring anaknya Blorong sudah bertumbuh semakin besar. Saat itu raja Sansakti sedang termenung, entah apa yang sedang dipikirkannya. Suasana itu terlihat oleh Siboru Biding Laut dan iapun menghampirinya dan berbisik ditelinganya, “Guru, apa gerangan yang sedang dipikirkan?” Saya hanya memikirkan kerajaan ini agar tetap langgeng dikemudian hari semasa saya sudah tua nanti,” demikian kata Sansakti. “Jakanlah terlalu dipikirkan guru, kan semua kerajaan sudah berjalan dengan bai, dan putrimu Blorong sudah semakin ceria bertumbuh menjadi anak manis. Dia akan menjadi ratu nantinya yang akan kita pinangkan dengan pangeran dari kerajaan lain,” demikian dijelaskan Siboru Biding Laut menenangkan hari Sansakti. Siboru Biding Laut merebahkan kepala Sansakti di pangkuannya sambil mengelus-elus kepalanya. Terlihat suasana bahagia di raut wajah Sansakti hingga dia tertidur pulas.

Dalam suasana yang demikian senyap, timbullah niatan di benak Siboru Biding Laut untuk menyingkirkan hambatan satu-satunya agar dia memang benar sebagai penguasa di kerajaan selatan Pulau Jawa itu. Bekal ilmu yang sudah diajarkan oleh gurunya itu sudah setara dan bahkan mungki lebih tinggi karena sudah ada ilmu tinggi yang dibawanya dari tanah leluhurnya dahulu. Diapun menetapkan saat itu menjadi waktu yang tepat baginya, yaitu mencabut nyawa Sansakti dengan ilmu cabut nyawa.

Sansakti mangkat. Siboru Biding Laut memberitahukan kepada hulubalang dan kemudian mengumumkan bahwa dia menjadi pengganti raja yang menjadi ratu penguasa di kerajaan pantai selatan. Lalu dia memproklamirkan dirinya sebagai Ratu Pantai Selatan dengan sebutan nama Nyi Roro Kidul. Kemudian menjadi kenyataan pula bahwa putri satusatunya memang menjadi seorang yang disebut Nyi Blorong.

Menurut ceritanya bahwa Nyi Roro Kidul sang Ratu Pantai Selatan adalah Siboru Biding Laut dari Tanah Batak. Penelusurannya dilakukan oleh keturunan dari Guru Tatea Bulan yaitu ayah kandung Siboru Biding Laut, yang secara gaib telah memaparkan sejarahnya melalui sesurupan arwah adik bungsu Siboru Biding Laut bernama Nantinjo kepada seorang perempuan batak br. Sagala yang tinggal di Cianjur Jawa Barat. Silahkan anda cerna sendiri kebenran cerita ini.

Sumber: disarikan dari buku yang ditulis oleh Sutan Parlindungan Tanjung berjudul “Nyi Roro Kidul keturunan Raja Batak”