Rabu, 03 Juni 2009

Pulau Simardan




Durhaka Kepada Orang Tua, Berwujud Menjadi Pulau

Cerita ini dipetik dari Waspada Online di www.waspada.co.id dengan judul aslinya “Legenda Simardan – Durhaka Kepada Orang Tua, Berubah Wujud Menjadi Pulau”, berikut adalah ceritanya:

Berbagai kisah dan cerita tentang legenda anak durhaka. Di antaranya, Malin Kundang di Sumatera Barat yang disumpah menjadi batu, Sampuraga di Mandailing Natal Sumatera Utara yang konon katanya, berubah menjadi sebuah sumur berisi air panas.

Di Kota Tanjungbalai, akibat durhaka terhadap ibunya, seorang pemuda dikutuk menjadi sebuah daratan yang dikelilingi perairan, yakni Pulau Simardan. Berbagai cerita masyarakat Kota Tanjungbalai, Simardan adalah anak seorang wanita miskin dan yatim. Pada suatu hari, dia pergi merantau ke negeri seberang, guna mencari peruntungan. Setelah beberapa tahun merantau dan tidak diketahui kabarnya, suatu hari ibunya yang tua renta, mendengar kabar dari masyarakat tentang berlabuhnya sebuah kapal layar dari Malaysia. Menurut keterangan masyarakat kepadanya, pemilik kapal itu bernama Simardan yang tidak lain adalah anaknya, yang bertahun-tahun tidak bertemu.

Bahagia anaknya telah kembali, ibu Simardan lalu pergi ke pelabuhan. Di pelabuhan, wanita tua itu menemukan Simardan berjalan bersama wanita cantik dan kaya raya. Dia lalu memeluk erat tubuh anaknya Simardan, dan mengatakan, Simardan adalah anaknya. Tidak diduga, pelukan kasih dan sayang seorang ibu, ditepis Simardan. Bahkan, tanpa belas kasihan Simardan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh. Walaupun istrinya meminta Simardan untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya, namun pendiriannya tetap tidak berubah. Selain itu, Simardan juga mengusir ibunya dan mengatakannya sebagai pengemis.


Berasal Dari Tapanuli

Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, Pulau Simardan masih sebuah perairan tempat kapal berlabuh. Lokasi berlabuhnya kapal tersebut di Jalan Sentosa Kelurahan Pulau Simardan Lingkungan IV Kota Tanjungbalai, kata tokoh masyarakat di P. Simardan, H.Daem, 80, warga Jalan Mesjid P. Simardan Kota Tanjungbalai. Tanjungbalai, terletak di 20,58 LU (Lintang Utara) dan 0,3 meter dari permukaan laut. Sedangkan luasnya sekitar 6.052,90 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 144.979 jiwa (sensus 2003-red).

Walaupun peristiwa tersebut terjadi di daerah Tanjungbalai, Daem mengatakan, Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjungbalai atau sekitar daerah Tapanuli. Hal itu juga dikatakan tokoh masyarakat lainnya, Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi Kota Tanjungbalai. “Daerah asal Simardan bukan Tanjungbalai, melainkan di hulu Tanjungbalai, yaitu daerah Porsea Tapanuli,” jelasnya.


Menjual Harta Karun

Dari berbagai cerita atau kisah tentang legenda anak durhaka, biasanya anak pergi merantau untuk mencari pekerjaan, dengan tujuan merubah nasib keluarga.Berbeda dengan Simardan, dia merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukannya di sekitar rumahnya, kata Marpaung.

“Simardan bermimpi lokasi harta karun. Esoknya, dia pergi ke tempat yang tergambar dalam mimpinya, dan memukan berbagai macam perhiasan yang banyak,” tutur Marpaung. Kemudian, Simardan berencana menjual harta karun yang ditemukannya itu, dan Tanjungbalai merupakan daerah yang ditujunya. Karena, jelas Marpaung, berdiri kerajaan besar dan kaya di Tanjungbalai. Tapi setibanya di Tanjungbalai, tidak satupun kerajaan yang mampu membayar harta karun temuan Simardan, sehingga dia terpaksa pergi ke Malaysia. “Salah satu kerajaan di Pulau Penang Malaysialah yang membeli harta karun tersebut. Bahkan, Simardan juga mempersunting putri kerajaan itu,” ungkapnya. Berbeda dengan keterangan Marpaung, menurut H.Daem, tujuan Simardan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun di Malaysia, Simardan akhirnya berhasil menjadi orang kaya dan mempersunting putri bangsawan sebagai isterinya.


Malu

Setelah berpuluh tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjungbalai bersama isterinya. Kedatangannya ke Tanjungbalai, menurut Daem, untuk berdagang sekaligus mencari bahan-bahan kebutuhan. Kalau menurut Marpaung, Simardan datang ke Tanjungbalai dilandasi karena tidak memiliki keturunan. Jadi atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami isteri itu pergi ke Tanjungbalai. Lebih lanjut dikatakan Marpaung, berita kedatangan Simardan di Tanjungbalai disampaikan masyarakat kepada ibunya. Gembira anak semata wayangnya kembali ke tanah air, sang ibu lalu mempersiapkan berbagai hidangan, berupa makanan khas keyakinan mereka yang belum mengenal agama. “Hidangan yang disiapkan ibunya adalah makanan yang diharamkan dalam agama Islam,” tutur Marpaung.

Dengan sukacita, ibu Simardan kemudian berangkat menuju Tanjungbalai bersama beberapa kerabat dekatnya. Sesampainya di Tanjungbalai, ternyata sikap dan perlakuan Simardan tidak seperti yang dibayangkannya. Simardan membantah bahwa orang tua tersebut adalah wanita yang telah melahirkannya. Hal itu dilakukan Simardan, jelas Marpaung, karena dia malu kepada isterinya ketika diketahui ibunya belum mengenal agama. “Makanan yang dibawa ibunya adalah bukti bahwa keyakinan mereka berbeda.” Sementara menurut H. Daem, perlakuan kasar Simardan karena malu melihat ibunya yang miskin. “Karena miskin, ibunya memakai pakaian compang-comping. Akibatnya, Simardan tidak mengakui sebagai orangtuanya.”


Kera Putih dan Tali Kapal

Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sembari memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan. Usai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita Marpaung dan Daem, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan.

Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap durhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan. “Sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan,” jelas Marpaung. Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjungbalai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi. Di samping itu, sekitar tahun lima puluhan masyarakat menemukan tali kapal berukuran besar di daerah Jalan Utama Pulau Simardan. Penemuan terjadi, ketika masyarakat menggali perigi (sumur). Selain tali kapal ditemukan juga rantai dan jangkar, yang diduga berasal dari kapal Simardan, kata Marpaung. Benar tidaknya legenda Simardan, tergantung persepsi kita. Tapi dengan ditemukannya tali, rantai dan jangkar kapal membuktikan bahwa dulu Pulau Simardan adalah perairan.

Sumber : Rahmad F Siregar (sn) , Waspada Online www.waspada.co.id

Tuak Dalam Legenda - 02

Legenda Tuak
Oleh: Rapolo

Pohon Enau dalam bahasa Indonesia disebut pohon aren, dan sugar palm atau gomuti palm dalam bahasa Inggris. Di Sumatera, tumbuhan ini dikenal dengan berbagai sebutan, di antaranya ‘nau, hanau, peluluk, biluluk, kabung, juk atau ijuk, dan bagot’. Tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik dan mampu mendatangkan hasil yang melimpah pada daerah-daerah yang tanahnya subur, terutama pada daerah berketinggian antara 500-800 meter di atas permukaan laut, misalnya di Tanah Karo Sumatera Utara.
Tumbuhan enau atau aren dapat menghasilkan banyak hal, yang menjadikannya populer sebagai tanaman serba-guna, setelah tumbuhan kelapa. Salah satunya adalah tuak(nira). Selain sebagai minuman sehari-hari, tuak memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-budaya bagi sebagian masyarakat Batak di Sumatera Utara, terutama yang tinggal di daerah dataran tinggi.

Dalam tradisi orang Batak, tuak juga digunakan pada upacara-upacara tertentu, seperti upacara manuan ompu-ompu dan manulangi. Pada upacara manuan ompu-ompu, tuak digunakan untuk menyiram beberapa jenis tanaman yang ditanam di atas tambak orang-orang yang sudah bercucu meninggal dunia.

Sementara dalam upacara manulangi, tuak merupakan salah satu jenis bahan sesaji yang mutlak dipersembahkan kepada arwah seseorang yang telah meninggal dunia oleh anak-cucunya. Pertanyaannya adalah kenapa tuak(nira) memiliki fungsi yang amat penting dalam kehidupan sosial-budaya orang Batak?

Menurut cerita, pohon enau merupakan jelmaan dari seorang gadis bernama Beru Sibou. Peristiwa penjelmaan gadis itu diceritakan dalam sebuah cerita rakyat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita itu mengisahkan tentang kesetiaan si Beru kepada abangnya, Tare Iluh. Ia tidak tega melihat penderitaan abangnya yang sedang dipasung oleh penduduk suatu negeri. Oleh karena itu, ia mencoba untuk menolongnya. Apa yang menyebabkan Abangnya, Tare Iluh, dipasung oleh penduduk negeri itu? Bagaimana cara Beru Siboau menolong abangnya?

Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah desa yang terletak di Tanah Karo, Sumatera Utara, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anaknya yang masih kecil. Yang pertama seorang laki-laki bernama Tare Iluh, sedangkan yang kedua seorang perempuan bernama Beru Sibou. Keluarga kecil itu tampak hidup rukun dan bahagia.
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena sang suami sebagai kepala rumah tangga meninggal dunia, setelah menderita sakit beberapa lama. Sepeninggal suaminya, sang istri-lah yang harus bekerja keras, membanting tulang setiap hari untuk menghidupi kedua anaknya yang masih kecil. Oleh karena setiap hari bekerja keras, wanita itu pun jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Si Tare dan adik perempuannya yang masih kecil itu, kini menjadi anak yatim piatu. Untungnya, orang tua mereka masih memiliki sanak-saudara dekat. Maka sejak itu, si Tare dan adiknya diasuh oleh bibinya, adik dari ayah mereka.

Waktu terus berjalan. Si Tare Iluh tumbuh menjadi pemuda yang gagah, sedangkan adiknya, Beru Sibou, tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik. Sebagai seorang pemuda, tentunya Si Tare Iluh sudah mulai berpikiran dewasa. Oleh karena itu, ia memutuskan pergi merantau untuk mencari uang dari hasil keringatnya sendiri, karena ia tidak ingin terus-menerus menjadi beban bagi orang tua asuhnya.

“Adikku, Beru!” demikian si Tare Iluh memanggil adiknya.

“Ada apa, Bang!” jawab Beru.

“Kita sudah lama diasuh dan dihidupi oleh bibi. Kita sekarang sudah dewasa. Aku sebagai anak laki-laki merasa berkewajiban untuk membantu bibi mencari nafkah. Aku ingin pergi merantau untuk mengubah nasib kita. Bagaimana pendapat Adik?” tanya Tare Iluh kepada adiknya.

“Tapi, bagaimana dengan aku, Bang?” Beru balik bertanya.

“Adikku! Kamu di sini saja menemani bibi. Jika aku sudah berhasil mendapat uang yang banyak, aku akan segera kembali menemani adik di sini,” bujuk Tare kepada adiknya.

“Baiklah, Bang! Tapi, Abang jangan lupa segera kembali kalau sudah berhasil,” kata Beru mengizinkan abangnya, meskipun dengan berat hati.

“Tentu, Adikku!” kata Tare dengan penuh keyakinan.

Keesokan harinya, setelah berpamitan kepada bibi dan adiknya, si Tare Iluh berangkat untuk merantau ke negeri orang. Sepeninggal abangnya, Beru Sibou sangat sedih. Ia merasa telah kehilangan segala-segalanya. Abangnya, Tare Iluh, sebagai saudara satu-satunya yang sejak kecil tidak pernah berpisah pun meninggalkannya. Gadis itu hanya bisa berharap agar abangnya segera kembali dan membawa uang yang banyak.

Sudah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun ia menunggu abangnya, tapi tak kunjung datang jua. Tidak ada kabar tentang keadaan abangnya. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya di perantauan. Sementara itu, Tare Iluh di perantauan bukannya mencari pekerjaan yang layak, melainkan berjudi. Ia beranggapan bahwa dengan memenangkan perjudian, ia akan mendapat banyak uang tanpa harus bekerja keras. Tetapi sayangnya, si Tare Iluh hanya sekali menang dalam perjudian itu, yaitu ketika pertama kali main judi. Setelah itu, ia terus mengalami kekalahan, sehingga uang yang sudah sempat terkumpul pada akhirnya habis dijadikan sebagai taruhan. Oleh karena terus berharap bisa menang dalam perjudian, maka ia pun meminjam uang kepada penduduk setempat untuk uang taruhan. Tetapi, lagi-lagi ia mengalami kekalahan.
Tak terasa, hutangnya pun semakin menumpuk dan ia tidak dapat melunasinya. Akibatnya, si Tare Iluh pun dipasung oleh penduduk setempat. Suatu hari, kabar buruk itu sampai ke telinga si Beru Sibou. Ia sangat sedih dan prihatin mendengar keadaan abangnya yang sangat menderita di negeri orang. Dengan bekal secukupnya, ia pun pergi mencari abangnya, meskipun ia tidak tahu di mana negeri itu berada. Sudah berhari-hari si Beru Sibou berjalan kaki tanpa arah dan tujuan dengan menyusuri hutan belantara dan menyebrangi sungai, namun belum juga menemukan abangnya. Suatu ketika, si Beru Sibou bertemu dengan seor ang kakek tua.

“Selamat sore, Kek!”

“Sore, Cucuku!” Ada yang bisa kakek bantu?”

“Iya, Kek! Apakah kakek pernah bertemu dengan abang saya?”

“Siapa nama abangmu?”

“Tare Iluh, Kek!”

“Tare Iluh…? Maaf, Cucuku! Kakek tidak pernah bertemu dengannya. Tapi, sepertinya Kakek pernah mendengar namanya. Kalau tidak salah, ia adalah pemuda yang gemar berjudi.”

“Benar, Kek! Saya juga pernah mendengar kabar itu, bahkan ia sekarang dipasung oleh penduduk tempat ia berada sekarang. Apakah kakek tahu di mana negeri itu?

“Maaf, Cucuku! Kakek juga tidak tahu di mana letak negeri itu. Tapi kalau boleh, Kakek ingin menyarankan sesuatu.”

“Apakah saran Kakek itu?”

“Panjatlah sebuah pohon yang tinggi. Setelah sampai di puncak, bernyanyilah sambil memanggil nama abangmu. Barangkali ia bisa mendengarnya. Setelah menyampaikan sarannya, sang Kakek pun segera pergi. Sementara si Beru Sibou, tanpa berpikir panjang lagi, ia segera mencari pohon yang tinggi kemudian memanjatnya hingga ke puncak. Sesampainya di puncak, si Beru Sibou segera bernyanyi dan memanggil-manggil abangnya sambil menangis. Ia juga memohon kepada penduduk negeri yang memasung abangnya agar sudi melepaskannya."

Sudah berjam-jam si Beru Sibou bernyanyi dan berteriak di puncak pohon, namun tak seorang pun yang mendengarnya. Tapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Ia terus bernyanyi dan berteriak hingga kehabisan tenaga. Akhirnya, ia pun segera mengangkat kedua tangannya dan berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

“Ya, Tuhan! Tolonglah hambamu ini. Aku bersedia melunasi semua hutang abangku dan merelakan air mata, rambut dan seluruh anggota tubuhku dimanfaatkan untuk kepentingan penduduk negeri yang memasung abangku.”

Baru saja kalimat permohonan itu lepas dari mulut si Beru Sibou, tiba-tiba angin bertiup kencang, langit menjadi mendung, hujan deras pun turun dengan lebatnya diikuti suara guntur yang menggelegar. Sesaat kemudian, tubuh si Beru Sibou tiba-tiba menjelma menjadi pohon enau. Air matanya menjelma menjadi tuak atau nira yang berguna sebagai minuman. Rambutnya menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah. Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolang-kaling untuk dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman.

Demikianlah cerita “Kisah Pohon Enau” dari daerah Sumatera Utara. Hingga kini, masyarakat Tanah Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira, mereka menyanyikan lagu enau.

Cerita di atas termasuk ke dalam cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral. Di antara pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah memupuk sifat tenggang rasa dan menjunjung tinggi persaudaraan, serta akibat buruk dari suka bermain judi. sifat tenggang rasa. Sifat ini tercermin pada sifat Beru Sibou yang sangat menjunjung tinggi tenggang rasa dan persaudaraan. Ia rela mengorbankan seluruh jiwa dan raganya dengan menjelma menjadi pohon yang dapat dimanfaatkan orang-orang yang telah memasung abangnya. Hal ini dilakukannya demi membebaskan abangnya dari hukuman pasung yang telah menimpa abangnya tersebut. Sifat tenggang rasa dan persaudaran yang tinggi ini patut untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Artikel ini dipetik dari rapolo.

Selasa, 02 Juni 2009

Tuak Dalam Legenda - 01


Palm Wine - Situak Natonggi
Oleh: Maridup Hutauruk

Mendengar kata wine tentu orang-orang akan terngiang pada minuman khas di Eropah maupun di negara-negara lain yang disebut minuman anggur. Sejarah minuman anggur sudah demikian lama ada pada peradaban manusia. Perancis termasuk negara yang paling terkenal sebagai produsen anggur disamping negara-negara Eropah lainnya termasuk negara-negara Amerika Latin dan Australia. Anggur yang diproduksi memang terbuat dari buah anggur dengan proses fermentasi yang menghasilkan dua jenis minuman anggur yang disebut anggur merah (red wine) dan anggur putih (white wine). Biasanya minuman anggur yang diproduksi disimpan di gudang bawah tanah (Dungeon) agar terkondisi sejuk. Semakin lama tersimpan akan semakin baik mutunya dan bahkan bila anggur yang tersimpan puluhan dan ratusan tahun tentu akan semakin mahal harganya.

Menurut catatan Alkitab bahwa Nabi Nuh adalah orang yang pertama kali berkebun anggur dan meminum anggur yang membuatnya mabuk dan selanjutnya mengeluarkan kutukan kepada cucunya Kanaan. Alkitab juga meriwayatkan bahwa Yesus sedemikian akrabnya dengan istilah anggur sehingga banyak perumpamaan-perumpamaanNya yang berintikan kepada anggur, dan bahkan membuat simbol bahwa anggur adalah darahNya dalam Perjamuan Terakhir (The Last Supper). Sebagai contoh Yesus berkata atau bertanya bahwa belukar berduri tidak mengeluarkan buah anggur. Juga ada perumpamaan tentang pekerja-pekerja di kebun anggur. Juga ada perumpamaan tentang penggarap-penggarap kebun anggur. Yesus juga berkata bahwa Dia adalah pohon anggur sejati. Air menjadi anggur pada pesta perkawinan di Kana yang merupakan mujizat pertama yang dilakukan oleh Yesus. Sampai sekarang tradisi ritual keagamaan Jahudi masih menyediakan anggur yaitu pada perjamuan sebelum sabbat yang disebut Kiddush dan perjamuan setelah sabbat yang disebut Havdallah. Pada pesta perkawinan di Kana dan Perjamuan Terakhir tentu saja Yesus meminum anggur walaupun mungkin tidak sampai mabuk.

Pada masa kolonial Belanda di Indonesia bahwa Palm Wine disamping wine yang sebenarnya sudah termasuk minuman khas pada pesta-pesta dansa oleh orang-orang Belanda yang mengundang para petinggi-petinggi pribumi maupun orang-orang keturunan, seperti para pedagang-pedagang Cina dan India. Palm Wine yang dimaksud disini bukanlah terbuat dari anggur melainkan dari sadapan pohon aren atau enau yang orang Batak bilang bagot. Demikianlah orang-orang kolonial menyebutnya palm-wine, sementara orang Batak bilang tuak. Banyak suku-suku di daerah yang mengenal tuak sebagai minuman tradisional. Orang Badui di Banten juga mengenal tuak yang sama seperti di Tanah Batak. Ada juga kelompok penduduk di Jawa Timur yang mengkonsumsi tuak sebagai minuman khas. Di Sulawesi terutama di Sulawesi Utara, tuak diproses lanjut dengan penyulingan sehingga diperoleh minuman mirip sake di Jepang yang mengandung kadar alkohol tinggi sehingga sangat gampang memabukkan. Penduduk Pulau Nias ternyata memiliki minuman khas yang sama seperti di Sulawesi yang diproses lanjut dengan penyulingan dan mereka menyebutnya nifóru. Di Filipina, tuak juga merupakan minuman tradisional yang disadap dari bagot, dan ternyata orang Inggris juga mengenal tuak sehingga ada kata dalam Bahasa Inggeris dengan sebutan toddy.

Tuak yang menjadi minuman khas orang-orang Batak memang aslinya disadap dari pohon bagot, akan tetapi tuak minuman khas itu dapat pula disadap dari pohon kelapa. Maka secara umum bagi orang Batak sekarang ini bahwa tuak berdasarkan sumbernya dibagi dalam dua kategori yang disebut tuak bagot dan tuak kalapa. Berdasarkan prosesnya dikategorikan sebagai tuak raru dan tuak na tonggi. Dan adapula yang disebut sebagai tuak tangkasan yaitu tuak yang selalu disertakan sebagai minuman dalam suatu prosesi adat, termasuk tuak na tonggi yang pada umumnya dikhususkan untuk kaum wanita walaupun banyak pula kaum lelaki yang menggemarinya.

Secara umum tuak dikenal oleh masyarakat di Indonesia adalah jenis minuman yang disebut arak. Jenis minuman dari tuak yang lebih ringan dan lebih segar disebut nira, dengan rasa manis menyegarkan, tetapi nira sebenarnya disadap dari pohon kelapa dan bukan dari bagot. Melihat tuak secara fisik adalah seperti seduhan susu yang berwarna putih dan adapula yang berwarna putih kekuningan, sementara nira juga berwarna putih lebih bening.

Tuak, disamping sebagai minuman, merupakan bahan baku untuk pembuatan gula dengan berbagai sebutan seperti gula aren atau gula merah atau gula jawa karena orang-orang jawa memang lebih banyak memproses tuak menjadi gula. Untuk memproses tuak menjadi gula sangatlah sederhana. Secara tradisional, tuak hanya dimasak diatas kuali dengan kayu bakar selama beberapa jam, lalu diaduk sampai mengental dan dituang kedalam cetakan yang biasanya terbuat dari bongkol bambu atau batok kelapa. Belakangan ini tuak sudah diproses secara moderen menjadi kristal gula yang disebut palm sugar atau brown sugar dan penjualannya tidak lagi di pasar-pasar tradisional melainkan di super market dengan kemasan bermerek dagang untuk olesan gula pada roti. Tuak juga sebagai bahan mutlak untuk membuat cuka makan yang disebut Arenga Vinegar.

Bagaimana tuak menjadi minuman khas orang Batak dan bahkan menjadi penganan yang disertakan dalam prosesi adat, tentu sudah sangat panjang sejarahnya. Bermula dari sebuah legenda bagot (nama lain: arenga pinnata) yang dianggap sebagai pohon mistis. Sewaktu Marco Polo mengunjungi Sumatra tahun 1290, menyebutkan bahwa bangsa Batak sudah gemar minum tuak.

Bangsa Batak melegendakan sebelum penciptaan manusia bahwa di kerajaan Banua Ginjang (kayangan) sudah ada komunitas dewa-dewi yang dipimpin oleh Mulajadi Nabolon (Maha Pencipta Alam Semesta). Dewa Batara Guru memiliki putra dan putri yang menjadi dewa dan dewi, dan dua putrinya bernama Dewi Sorbajati dan Dewi Deakparujar. Sementara Dewa Mangalabulan juga memiliki putra dan putri yang menjadi dewa dan dewi. Salah seorang putra Dewa Mangalabulan bernama Dewa Odapodap sudah cukup dewasa untuk mendapatkan seorang putri pendamping. Dewa Mangalabulan bersusah hati karena putranya Dewa Odapodap berburuk rupa karena bentuknya seperti ilik atau sejenis kadal sehingga Dewa Odapodap merasa malu untuk keluar rumah untuk mencari sendiri pasangannya. Kegundahan Dewa Mangalabulan tentang anaknya ini memberanikan dirinya untuk mengadukannya kepada Mulajadi Nabolon dan meminta agar Dewa Odapodap dapat dinikahkan dengan putri Dewa Bataraguru. Lalu Dewa Mangalabulan pergi menghadap Dewa Bataraguru untuk melamar putrinya agar dipasangkan kepada putranya yang berbentuk kadal tersebut. Oleh karena lamaran ini adalah atas persetujuan Mulajadi Nabolon maka Dewa Bataraguru menyetujui untuk menikahkan putrinya Dewi Sorbajati dengan Dewa Odapodap. Olehkarena mengetahui Dewa Odapodap berburuk rupa seperti ilik maka Dewi Sorbajati tidak rela namun tidak kuasa untuk menolak perintah ayahnya. Singkat cerita, Dewi Sorbajati memohon agar pesta perkawinannya diiringi dengan gondang dan dia ingin melampiaskan tekanan dan penolakan jiwanya dalam tarian. Dewi Sorbajati menari semalaman hingga dia mengalami trance dan melompat ke Banua Tonga (dunia fana/ alam nyata, yang kita kenal sekarang). Pada masa itu Banua Tonga masih berupa lautan dan tidak ada tanah untuk berpijak, maka Dewi Sorbajati terombang ambing di lautan.

Karena pesta perkawinan harus berlangsung maka Dewa Bataraguru meminta putri kedua yaitu Dewi Deakparujar untuk menerima Dewa Odapodap menjadi suaminya. Dengan terpaksa dia menerimanya dengan syarat dan memohon kepada Mulajadi untuk diberikan segumpal kapas agar dia terlebih dahulu memintal benang dan kemudian menenun ulos yang disebut Ulos Bintang Maratur. Sewaktu memintal benang, Dewi Deakparujar memperlama pemintalannya sehingga Mulajadi Nabolon menegurnya. Sewaktu Mulajadi Nabolon menghampirinya maka dia terkejut dan terjatuhlah pintalan benang tersebut dan tongkol benangnya bergantung-gantung di Banua Tonga. Dengan rasa takut dan gemetar dia menarik tongkol benang tersebut akan tetapi tongkol benang tersebut terus melorot mengakibatkan Dewi Deakparujar terpeleset dan ikut tergantung di Banua Tonga. Lalu dia memohon kepada Mulajadi Nabolon agar dia diberikan segumpal tanah untuk tempatnya berpijak sambil melakukan penenunan ulos. Semakin lebar ulos ditenun maka semakin lebar pula tanah berpijaknya karena ulos yang ditenun tersebut menjadi hamparan tanah tempat tinggalnya. Akhirnya Mulajadi Nabolon dan para dewa mengutus Dewa Odapodap untuk menemui Dewi Deakparujar dan kemudian menjadi pasangan yang melahirkan manusia Batak pertama di Banua Tonga.

Dewi Sorbajati yang terapungapung di air lautan akhirnya terdampar ditanah yang ditempa oleh Dewi Deakparujar dan bertumbuh menjadi sebuah pohon yang disebut bagot. Maka bagot menjadi pohon mistis yang seluruh bagian-bagiannya sangat berguna bagi keperluan manusia. Daunnya dapat di anyam untuk digunakan atap atau dinding sopo di sawah dan ladang. Lidi daunnya dapat dibuat untuk sapu lidi dan penggunaan pada anyaman atap rumah atau tusuk sate dan keperluan lainnya. Ijuknya dapat digunakan untuk atap ruma batak, termasuk untuk penyaringan air, atau bahkan dapat digunakan untuk busa jok mobil yang mahal harganya. Ijuh halus yang terdapat pada pelepah pohon dulunya digunakan untuk menyalakan api dari percik lantakan batu api. Sagu yang terdapat pada tengah batangnya dapat diproses menjadi bahan makanan yang disebut mie bihun. Batak Karo dulunya memanfaatkan sagu bagot untuk pembiakan sejenis ulat sagu yang berwarna putih dan penjadi penganan khas yang disebut kidu-kidu dan sangat kaya dengan protein tinggi. Batang kerasnya dapat digunakan untuk titian anak sungai atau bila dibelah akan menjadi bahan untuk penyaluran air ke sawah. Batang ini pula yang digunakan untuk cantolan pengikat atap ijuk pada Ruma Batak yang disebut tarugi. Buahnya (halto) digunakan untuk bahan makanan yang disebut kolang-kaling. Dari tangkai bunga jantan yang tidak bakal menjadi buah dapat disadap untuk mengambil tetesan airnya untuk menjadi tuak dan produk-produk yang disebutkan sebelumnya, disebutlah sebagai air susu sang dewi Siboru Sorbajati.

Demikianlah hanya secuil cuplikan legenda bagot sebagai pohon mistis bagi orang Batak dan kenyataannya tidak termanfaatkan kegunaannya yang menyangkut hajat hidup orang-orang Batak secara ekonomis, bahkan ada berupa pantangan bila ada bagot yang tumbuh dekat rumah akan mendatangkan bencana, karena katanya bagot menjadi sasaran empuk dari sambaran petir.

Pada masa sekarang ini orang Batak memanfaatkan bagot hanya sebagai penghasil tuak, sementara kegunaan lainnya hampir tak dimanfaatkan lagi. Mungkin ini pula yang mengindikasikan kehidupan perekonomian rakyat di desa-desa Tanah Batak begitu melorot karena memang sudah tidak memaknai lagi bahwa bagot adalah jelmaan dari dewi yang dulunya bermukim di kayangan yang pada dasarnya sebagai salah satu unsur tani yang mampu memakmurkan. Apakah pohon produktif seperti kopi sigarar utang atau mangga atau pinasa atau durian atau haminjon mampu menandingi fungsi2 yang dihasilkan oleh bagot? Dari kajian yang diuraikan diatas tentu bagot merupakan superior dari tanaman-tanaman endemik yang tumbuh di Tanah Batak. Apakah pula ini mengindikasikan datangnya kutukan karena tidak menghargai satu jelmaan Dewi yang dipercaya oleh orang Batak dahulu? Wallahuallam! Kita boleh menilai sendiri.

Bagot sebagai pohon produktif bukanlah merupakan pohon yang dibudidayakan oleh orang Batak, melainkan tumbuh secara alami melalui penyebaran binatang seperti rubah dan musang. Habitat tumbuhnya sekitar 200-1200 dpl namun lebih produktif untuk menghasilkan tuak pada ketinggian tumbuh sekitar 350-900 dpl. Pada tanah dataran rendah sekitar permukaan laut tanaman ini tidak tumbuh sehingga produksi tuak diperoleh dari penyadapan pohon kelapa yang menghasilkan tuak dan nira. Disamping sebagai pohon yang pada dasarnya bernilai ekonomis tinggi, maka bagot merupakan penyangga kesuburan tanah karena mampu menahan banyak air tanah dan mencegah kelongsoran tanah-tanah bertebing.

Kalau kita menyusuri jalan-jalan lintas di Tanah Batak semisal jalan lintas selepas Sipirok sampai ke Medan atau selepas Sibolga sampai ke Medan, maka di kiri kanan jalan akan banyak terlihat kedai-kedai yang disebut lapo tuak sebagai tempat orang-orang Batak meluangkan waktunya berkumpul bercengkerama antar sesama untuk menikmati tuak sebagai minuman khas. Ada tercatat dalam sejarahnya bahwa komunitas Batak yang ada di Tanah Batak memang sangat doyan minum tuak yang memang kontur tanahnya berbukit-bukit bercuaca relatif dingin sehingga membutuhkan kehangatan melalui kebiasaan minum tuak. Sebelum Tanah Batak dijajah Paderi tak terkecuali komunitas Batak di Tanah Batak selatan juga doyan dengan minum tuak, namun di jaman kemerdekaan ini komunitas Batak di utara lah yang tetap memelihara ke-khas-an ini sampai sekarang dan bahkan sampai keseluruh pelosok tanah air dimana bermukim orang-orang Batak akan selalu ada yang disebut lapo tuak.

Kehangatan tuak yang memang mengandung kadar alkohol sekitar 3-5% merupakan minuman murah meriah yang tidak memandang klas dan status sosial bagi pengkonsumsinya. Dahulu di Tanah Batak ada diproduksi jenis minuman keras golongan B atau A yang disebut gimlet yang konon katanya terbuat dari buah haramonting sejenis tanaman semak liar yang banyak tumbuh di Tanah Batak, namun jenis minuman ini sudah tidak kelihatan lagi dan mungkin dilarang atau kalah bersaing dengan tuak. Kandungan mineral yang cukup komplit dari tuak sebenarnya berguna untuk kesehatan tubuh apabila dikonsumsi secukupnya sesuai dengan kebutuhan. Ada anggapan bahwa seseorang yang berpenyakit gula (diabetes) dianjurkan untuk mengkonsumsi tuak karena kadar gula darah dapat terlarut oleh mineral yang terdapat pada tuak dan dikeluarkan melalui respirasi kencing. Oleh karena lancar kencing ini pula maka tuak dianggap sangat baik untuk mencegah penyakit ginjal dan kencing batu. Tuak na tonggi untuk kaum wanita terutama yang baru melahirkan sering diberikan karena dianggap sebagai penambah darah dan menghangatkan serta akan memperlancar pengeluaran air susu untuk si bayi dan diasumsikan sang Dewi Sorbajati yang memelihara sang bayi dengan air susunya alias tuak. Wallahualam! Masih perlu diadakan penelitian supaya dapat teruji secara medis.

Proses pembuatan tuak menjadi minuman sebenarnya tidak memiliki standar baku makanya secara umum bahwa setiap tuak yang disajikan di lapo tuak mempunyai citarasa yang berbeda-beda. Setiap penyadap (parragat) memiliki standar racikan sendiri-sendiri yang saling menonjolkan keunggulannya. Tuak yang dikonsumsi siap minum bukanlah tuak yang langsung turun dari sadapan melainkan masih melalui racikan oleh parragat karena tuak yang dari ragatan masih kental dan bahkan hampir seperti bubur. Formula racikan tuak biasanya dirahasiakan oleh parragat, namun sesama parragat sebenarnya sudah saling mengetahui formula tuaknya semisal yang disebut sebagai formula 1-4, 1-6, 1-8 yang artinya pencampuran antara tuak asli yang belum dapat diminum dengan air sebagai campuran pengencer. Kadang-kadang racikan tuak yang sampai di Lapo masih pula diracik oleh parlapo dengan harapan akan mendapat keuntungan yang lebih banyak dengan mengorbankan rasa dan efek kehangatan dan penenangan pikiran. Oleh karena belum ada standarisasi pencampuran tuak yang layak minum maka sangat disangsikan pula nilai higienisnya. Adakalanya pencampuran dilakukan dengan memberikan air yang belum matang dan disangsikan kebersihannya. Adapula peracikan yang diberi air cucian beras untuk mengelabui warna putih dan adapula racikan dicampur dengan ragi untuk berusaha menyamai rasa. Maka tak jarang bahwa setelah meminum tuak seseorang menderita sakit perut atau mencret-mencret.

Dari perbandingan pencampuran tuak asli dengan air dengan komposisi tertentu dapat diperoleh tuak siap minum yang terasa manis, dan inilah yang disebut sebagai tuak na tonggi. Jenis tuak manis biasanya digemari oleh para wanita termasuk juga para kaum pria akan tetapi secara umum kaum pria lebih menggemari tuak yang mengandung rasa pahit tertentu sebagaimana yang tersedia di lapo tuak. Untuk mendapatkan rasa pahit tertentu ini maka tuak akan dibubuhi sejenis serat kayu yang disebut raru. Jenis raru pun ada dua jenis yaitu yang tidak mengeluarkan warna sehingga warna tuak tetap sebagaimana warnanya, tetapi ada juga raru yang mengakibatkan warna tuak agak berubah menjadi berwarna lebih kuning.

Tuak yang disajikan di bonapasogit memanglah tuak yang berasal dari bagot maka disebutlah sebagai tuak bagot. Sedangkan tuak yang ada di tanah dataran rendah seperti di Kota Medan, Jakarta dan kota-kota lainnya yang berada di dataran rendah adalah disebut tuak kalapa karena habitat bagot tumbuh di dataran relatif tinggi sedang kelapa tumbuh di dataran rendah.

Sering juga kita mendengar sebutan tuak tangkasan padahal tuak tersebut bukanlah tuak tangkasan yang sebenarnya. Ada asumsi kalau tuak tangkasan disebut hanya karena rasanya yang enak sesuai selera, padahal tuak tersebut sudah dari hasil sadapan tangkai yang kesekian kalinya. Tuak tangkasan sebenarnya adalah tuak yang dihasilkan dari tangkai bunga yang pertamakali disadap dari satu pohon bagot dan biasanya memang mengandung citarasa yang lengkap sebagai tuak konsumsi. Kalau tuak yang disadap dari tangkai bunga berikutnya tidak lagi disebut sebagai tuak tangkasan dan mungkin kandungan mineral yang mempengaruhi cita rasanya sudah tidak sama lagi dengan sadapan dari tangkai yang pertama. Keduanya tuak tangkasan dan tuak na tonggi dahulu selalu disajikan dalam suatu prosesi adat, namun belakaangan ini keberadaan tuak tangkasan dan tuak na tonggi sudah ditukar dengan amplop yang berisi uang sejumlah tertentu sebagai media adat dan disebut pasi tuak na tonggi (pemberian sejumlah dana agar sipenerima dapat membeli sendiri tuak na tonggi). Dalam acara adat pemberian makan khusus kepada orang tua yang disebut manulangi selalu disertai dengan pemberian tuak na tonggi sebagai minumannya dengan harapan orang tua akan memberkati anak-anaknya mendapat kehidupan yang manis. Dalam upacara penguburan orang tua yang meninggal dan sudah mendapat status sebagai sarimatua atau saurmatua, biasanya kuburan yang disebut tambak ditanami sejenis tanaman bakung. Upacara menanam bakung ini disebut sebagai manuan ompuompu akan disertai dengan menuangkan tuak na tonggi dan air bersih ke tambak tersebut. Demikianlah peran tuak dalam tatanan adat-istiadat Bangsa Batak, akan tetapi untuk penyembahan kepada Mulajadi Nabolon dan para dewa-dewi penghuni Banua Ginjang, penyediaan tuak tidak dilakukan karena dianggap sebagai hasil dari jelmaan Dewi Sorbajati yang membangkang.

Proses penyadapan tuak dari bagot disebut mar-ragat biasanya dilakukan oleh seorang par-ragat dengan melakukan ritual-ritual tertentu. Setiap par-ragat memahami bahwa bagot adalah jelmaan dewi yang harus dibujuk rayu agar mau memberikan tetesan air susunya yang disebut tuak. Tangkai tandan bunga jantan yang akan diragat biasanya dielus-elus dan digoyang-goyang serta diketuk-ketuk dengan sepotong kayu sambil dinyanyi-nyanyikan syair rayuan yang berbunyi:

“Boru Sorbajati siboru nauli, Boru na so ra jadi na uli diagati”

Demikianlah syair pantun tersebut dinyanyikan berulang-ulang sampai dirasa Siboru Sorbajati dianggap sudah termakan bujuk rajuan oleh par-ragat. Bila rayuan itu memang diterima oleh Dewi Sorbajati maka diyakini penyadapan akan berlangsung lama berbulan-bulan dan menghasilkan tuak yang banyak dari satu tandan. Penyadapan biasanya dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi dan sore harinya dengan menampung tetesan tuak dalam sebuah wadah yang terbuat dari bambu yang disebut poting.

Apabila seorang par-ragat mampu menghasilkan 10 botol untuk dua kali panen sehari, dan dengan formula racikan 1-8 maka akan dihasilkan jumlah tuak sebanyak 80 botol yang setara dengan 160 gelas. Satu gelas tuak di bonapasogit berharga Rp 1000, sehingga seorang par-ragat akan mendapat penghasilan sebesar Rp 160.000 per hari. Bila penyadapan dapat berlangsung selama 2 bulan untuk satu tandan, maka setiap tandan bagot bagi par-ragat akan mampu berpenghasilan senilai Rp 9.600.000, suatu penghasilan yang fantastis! Beginilah apabila seorang Batak mau menghargai budaya leluhurnya, maka seorang dewi murtad seperti Siboru Sorbajati akan bersedia memberikan rejeki berlimpah kepada yang mau dan mampu bersikap rendah hati merayu rejeki. Kalau tandan yang dihasilkan oleh satu pohon bagot mencapai 3-5 tandan sebelum pohon itu mati, bahkan batang dan inti batang serta serabut dan lidinya masih dapat termanfaatkan, maka secara kasar satu pohon akan bernilai setara dengan Rp 50.000.000. Sungguh fantastis dan sangat tinggi nilai ekonomis sebuah pohon bagot jelmaan Dewi Sorbajati.

Itulah riwayat tuak yang bahasa kerennya disebut palm wine ternyata bermakna tinggi bagi Bangsa Batak dan pohon bagot yang banyak tumbuh di Tanah Batak ternyata secara ekonomis sangat menggiurkan. Siapa mau invest? Silahkan kalkulasi prospektifnya. Horas.

Artikel ini dipetik dari:
Naipospos Online, Maridup's Blogs, Bupatitaput.