Kamis, 26 November 2009

Siboru Pareme, Sang Ibu Ilontungan


Kisah hubungan incest antara kakak-beradik

Pada masa itu Mulajadi Nabolon menuntut Guru Tatea Bulan untuk memberikan persembahan karena ada terjadi kesalahan besar di keluarga Guru Tatea Bulan. Ada terjadi skandal percintaan antara kakak beradik kembar yaitu Sariburaja memadu cinta dengan kembaran abangnya bernama Siboru Pareme. Skandal ini semakin jauh dan mereka melakukan incest antara kakak beradik sehingga Siboru Pareme hamil. Oleh karena itu, untuk menebus kesalahan itu maka Guru Tatea Bulan harus melakukan persembahan tertinggi yaitu Kurban Manusia.

Peristiwa percintaan ini masih belum diketahui oleh saudara-saudara lainnya akan tetapi Guru Tatea Bulan secara gaib sudah didatangi oleh Mulajadi Nabolon bahwa anaknya yang bernama Sariburaja dan Siboru Pareme sudah berbuat kesalahan melanggar hukum yang dititahkan, maka Guru Tatea Bulan harus menyediakan kuban manusia sebagai tebusannya. Rencana pemberian kurban oleh Guru Tatea Bulan sempat didengar oleh Gumellenggelleng, maka dia memohon kepada ibunya agar dia diungsikan saja supaya ketika Mulajadi Nabolon datang maka dia tidak terlihat olehnya untuk diminta sebagai kurban. Gumellenggelleng beranggapan bahwa dia adalah sebagai orang yang tidak sempurnah fisik dan pastilah dia yang akan ditawarkan oleh ayahnya sebagai kurban kepada Mulajadi Nabolon, sementara saudara-saudaranya yang sedang berkumpul berkeliling untuk menyaksikan acara kurban persembahan itu adalah orang-orang yang sempurnah fisik. Permintaannya dikabulkan oleh ibunya dan mengungsikannya ke Pusuk Buhit, sementara Guru Tatea bulan sudah mengetahui bahwa Sariburajalah yang akan diminta oleh Mulajadi Nabolon sebagai kurban persembahan.

Mulajadi Nabolon datang berkunjung untuk meminta kurban yang dijanjikan, maka Sariburaja disembelih oleh Guru Tatea Bulan dan dipotong-potong bagian tubuhnya untuk dijadikan kurban yang akan dimasak di dalam sebuah wadah. Sewaktu potongan tubuh Sariburaja dimasukkan kedalam wadah untuk memasaknya maka Mulajadi Nabolon mengetahui kepasrahan dan kesetiaan kedua orangtua ini kepada Pencipta Alam Semesta Mulajadi Nabolon, dan Mulajadi Nabolon dengan kuasanya memanggil Sariburaja kembali keluar dari wadah tempat dia dimasak sebagai kurban, dia kembali menjadi manusia utuh sebagaimana sebelumnya. Sariburaja melumpat keluar dan duduk diantara saudara-saudaranya seolah-olah sebagai posisi raja.

Peristiwanya berawal bahwa Sariburaja dan kembarannya Siboru Pareme telah melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu mereka sedang bercinta terlarang antara kakak beradik kembaran. Sebagaimana biasanya mereka berdua memang selalu pergi bersama perladangan untuk mencari makanan yang pada masa itu belum lagi di olah melainkan mencari jenis makanan apasaja yang tumbuh liar di hutan atau termasuk berburu. Sariburaja dan Siboru Pareme lebih senang mencari umbi-umbian daripada berburu karena berburu adalah pekerjaan yang membosankan bagi mereka yang harus bersembunyi takbergerak untuk mengintip mangsa.

Demikianlah Sariburaja dan Siboru Pareme disuatu hari sudah merasa lelah disiang hari yang terik mencari umbi-umbian, lalu mereka berteduh di bawah rindang rumpun bambu untuk beristirahat. Karena sudah demikian penatnya maka mereka tertidur pulas. Selang berapa lama tertidur, Saribu raja terbangun duluan dan dilihatnya adik kembarnya masih tertidur pulas, lalu dia membenarkan posisi kepala adiknya agar nantinya sewaktu bangun tidak merasa sakit lehernya karena posisi tidur yang salah itu. Sewaktu Sariburaja membenarkan posisi tidur adik kembarnya itu, Siboru Pareme bahkan tidak terusik mungkin memang sudah sangat lelah sehingga pulas tidurnya masih terlelap tak merasakan apa-apa. Beberapa lama kemudian Sariburaja berusaha membangunkan adik kembarannya itu namun juga tak terusik. Dia menggoyang-goyang tubuh adiknya yang setengah telanjang itu dengan memegang bagian-bagian tubuh lainnya juga tak tergubris oleh Siboru Parema.

Pada masa itu pakaian masih terbuat dari serat kayu atau anyaman dari daun-daunan dan wanita masih bertelanjang dada. Sesaat Sariburaja menggoyang-goyang tubuh adiknya untuk bermaksud membangunkannya maka seketika dia merasakan ada suatu kenikmatan memandangi tubuh pangkal paha adiknya yang tersingkap. Adik kembarnya Siboru Pareme akhirnya terbangun dan memang melihat ikatan roknya sudah terlepas sehingga dia telanjang bulat, sekilas dia memandang abang kembarannya yang memandangnya dengan birahi membiarkannya saja demikian karena diapun ada merasakan kenikmatan sewaktu tersentuh oleh abang kembarannya tadi.

Masa berumur muda yang sama-sama matang birahi membawa mereka kepada kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Naluri kelaki-lakian dan wanita yang dalam pengruh hormon kesuburannya membuat mereka kehilangan pegangan pantangan hidup antara abang beradik. Suasana sunyi sepi dibawah naungan rindangnya dedaunan rumpun bambu dan hembusan angin yang menyegarkan tubuh yang bertelanjang membuat birahi mereka memuncak mendidihkan darah mudanya. Merekapun melakukan hal terlarang dalam guncangan-guncangan tubuh berirama. Perjalanan kenikmatan bagai menapaki gunung yang tinggi menggelorakan hasrat. Alunan suara-suara gemercik diiringi gesekan-gesekan antara dedaunan yang diterpa angin membawa mereka hampir mencapai puncaknya dan tiba-tiba keluar suara rintihan yang diiringi muntahan lahar panas mengalir di dalam rahim Siboru Pareme. Alunan suara-suara dan gerakan secara perlahan menurun dan akhirnya berhenti. Mereka berdua terkulai kelelahan dibalik kenikmatannya yang tiada tara. Proses peristirahatan mereka mulai berlanjut lagi dan merekapun tertidur lagi dalam kelelahannya.

Menjelang sore mereka terbangun dari tidurnya lalu mereka saling berpandangan dengan penuh arti dan mengalirkan perulangan peristiwa yang mereka alami berdua di dalam pikirannya masing-masing. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk segera pulang sebelum hari menjadi gelap. Sesampainya di rumah mereka tetap berlakon sebagaimana biasanya, tiada yang berprasangka diantara saudara-saudaranya termasuk kedua orangtuanya. Mereka membawa kehidupan mereka yang baru di dalam suatu kerahasiaan.

Peristiwa-peristiwa kenikmatan berulang dan berulang, Sariburaja dan Siboru Pareme semakin akrab dalam penampilan mereka baik sewaktu berada dikampungnya apalagi bila sedang berada di perladangannya. Keakraban mereka yang sudah seperti dua mahluk yang sedang berkasihkasihan memadu cinta masih juga belum menjadi perhatian khusus yang mencurigakan bagi saudara-saudaranya termasuh kedua orangtuanya hingga suatu saat bahwa ada terlihat keanehan yang terlihat oleh adik-adiknya. Keanehan ini sempat dibicarakan oleh adik-adik laki-laki Saribu raja, termasuk kakak-adik perempuan lainnya, sementara Raja Biakbiak tidak mengetahui peristiwa ini karena dia masih dalam pertapaannya di Pusuk Buhit dan belum pernah turun setelah peristiwa tempohari dimana sempat Sariburaja akan dipersembahkan kepada Mulajadi Nabolon.

Tubuh Siboru Pareme sudah mengalami perubahan dan semua sudah tau bahwa telah terjadi sesuatu pelanggaran hukum dan tentusaja harus menerima hukuman yang berlaku. Orangtua mereka mengetahui juga peristiwa ini dan merasa sangat takut bahwa tanggungjawabnya kepada Mulajadi Nabolon haruslah dipertanggungjawabkannya, yang kemungkinannya akan melaksanakan kurban lagi dan tentusaja Sariburaja adalah kurban yang akan menjadi kenyataan kali ini. Peristiwa aib yang harus dipertanggung jawabkan ini memberatkan hatinya karena walaupun Sariburaja dan Siboru Pareme telah melakukan perbuatan yang harus menerima ganjawannya, tetapi sebagai ayah dan ibu yang melahirkan dan memeliharanya bertumbuh tetaplah menjadi beban yang sangat berat bagi keduanya Guru Tatea Bulan dan Sibaso Bolon istrinya. Sejak terungkapnya peristiwa itu mereka berdua menjadi sakit-sakitan.

Saudara-saudara Sariburaja terutama yang laki-laki melakukan perembukan tentang kesalahan yang dibuat oleh abangnya Sariburaja. Mereka menyimpulkan semacam kesepakatan untuk menjatuhkan hukuman yang setimpak kepada abangnya itu. Mereka sudah mengancang-ancang hukuman yang akan diberikan semisal menjatuhkannya kedalam jurang, atau mengubur hidup-hidup, atau menyembelih, yang jelas haruslah dibunuh sebagai hukuman mati. Lalu ke-3 orang adiknya yaitu Limbongmulana, Sagalaraja, Silauraja. Lalu diantara mereka membuat sumpah janji (padan) bahwa tak boleh seorangpun yang tau akan rencana mereka ini. Sebelum melaksanakan hukuman kepada abangnya, mereka harus tau pasti apakah benar tuduhan yang mereka alamatkan kepada Sariburaja, ataukah ada oranglain yang menaruh hati kepada Siboru Pareme sehingga mereka menjalin cinta? Lalu mereka harus mencari tau lalu masing mengadakan pengintaian. Agak sulit memang melakukan pengintaian karena Sariburaja dan Siborupareme selalu berpindah tempat berladang mencari umbi-umbian. Tetapi suatu ketika salah seorang adiknya menyaksikan dalam pengintaiannya bahwa benar Sariburaja dan Siboru Parema melakukan perbuatan terlarang itu dan dilakukan dimana yang sering mereka lakukan yaitu dibawah rindangan rumpun bambu yang sudah dibentuk sedemikian rupa menyerupai gubuk yang lebih nyaman mereka tempati.

Kebenaran perbuatan tercela ini sudah menjadi sah harus menjalankan hukuman yang akan dilakukan oleh 3 orang adiknya dan tidak boleh lagi ditawar-tawar. Berita akan dilaksanakan hukuman mati kepada Sariburaja oleh adik-adiknya terdengar pula oleh kedua orangtuanya yang memang sudah dalam keadaan sakit. Mendengar kejadian ini maka kedua orangtuanya semakin tambah sakit karena tidak dapat berbuat apa-apa. Walaupun dia mencintau semua anak-anaknya namun hukuman terhadap orang yang berbuat kesalahan memang harus dilaksanakan dan selain itu pula bahwa merekapun harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu kepada Mulajadi Nabolon. Tak lama kemudian kedua orangtua ini tidak sangguplagi memikirkan peristiwa kemelut yang menimpa keluarganya, maka Guru Tatea Bulan dan Sibaso Bolon menemui ajalnya. Kematian kedua orangtua mereka semakin beralasan untuk segera membunuh Sariburaja sebagai hukuman oleh ke-3 adik-adiknya.

Sementara salah satu diantara tiga adik Sariburaja yaitu Silauraja yang paling laki-laki diantara mereka berpikir keras tentang pelaksanaan hukuman yang akan segera mereka lakukan dengan dua orang abangnya Limbongmulana dan Sagalaraja. Akal sehatnya bertanya pada dirinya sendiri, “Kalau kami melakukan pembunuhan tentu ini sesuatu perbuatan yang mendapat hukuman pula!” serunya dalam hatinya. Pikiran ini terus berkecamuk didalam dirinya bahwa membunuh sesama manusia juga sebagai kesalahan yang akan mendapat ganjaran juga dikemudian hari. Lalu dia berniat untuk memberitahukan kepada abangnya Sariburaja tentang rencana hukuman mati yang akan dilaksankan oleh adik-adiknya, akan tetapi dia terhambat kepada sumpahjanji yang dia lakukan bersama bahwa “padan’ tidak boleh juga dilanggar. Lalu Silauraja memutuskan untuk memberitahukan rencana penghukuman dengan melakukan semedi bertelepati. Dia membawa seperangkat peralatan ritual sebagai media lalu dibawanya mendekat kearah gubuk dimana Sariburaja dan Siboru Pareme sering berada. Setelah mendekat walaupun tidak dalam jarak pendengaran lalu dia memusatkan pikirannya dengan duduk bersila melakukan mantra-mantra dan setelah mantra-mantar selesai diucapkan dia lalu menghentakkan kakinya ke tanah tempat berpijak. Kenyataannya tanah itu bergetar dan getarannya sampai kepada pendengaran Sariburaja bahwa ada bahaya yang mengintai mereka. Secara insting bahwa saudara-saudaranya dirasakan sudah akan melakukan hukuman kepada mereka berdua.

Merasakan adanya ancaman maka Sariburaja segera mencari Siboru Pareme dan memberitahukan kepadanya kalau dia nanti pulang dan mendapat hukuman dari saudara-saudaranya dibuang kehutan agar dia membawa serbuk debu bakaran dan menaburkannya sepanjang jalan agar Sariburaja dapat menjumpainya kemudian. Sariburaja sangat jelas mengetahui bahwa adik kembarnya Siboru Pareme yang sedang hamil tidak mungkin mendapat hukuman bunuh karena dia mengandung bayi yang belum berdosa. Hukuman berat yang akan diterimanya adalah dibuang ketempat yang jauh agar aib keluarga tidak terjadi di kampungnya itu. Sewaktu Siboru Pareme pulang kerumahnya memang benar adanya bahwa saudara-saudaranya sudah berkumpul untuk melaksanakan hukuman kepadanya, sementara Sariburaja sudah tidak berani pulang setelah pesan gaib yang disampaikan oleh Silauraja diterimanya melalui getaran tanah.

Saudara-saudara Siboru Pareme jadi melaksanakan hukuman kepadanya dan membawanya ke dalam hutan lebat yang dianganggap sangat sulit ditemukan. Setelah yakin bahwa tempat ditengah hutan lebat itu cocok diberikan sebagai hukuman bagi Siboru Pareme, lalu mereka bertiga Limbongmulana, Sagalaraja, Silauraja mengambil jalan lain untuk pulang agar jejak mereka tidak diketahui orang lain, sementara Siboru Pareme melaksanakan saran yang diberikan Sariburaja yaitu menabutkan serbuk bakaran sepanjang jalan sebagai tanda jalur yang dilewatinya sampai ke tempat dimana dia ditempatkan sebagai hukumannya.

Akhirnya Sariburaja dapat menemukan tempat hukuman yang dijatuhkan kepada Siboru Pareme dan mereka bertemu kembali sebagai pasangan suami istri yang sedang berkasih-kasihan. Sariburaja dengan segera membersihkan sekeliling hutan itu dan mendirikan gubuknya agar mereka berdua dapat tinggal dan jauh dari ancaman binatang buas dan ular yang tentunya banyak terdapat di hutan belantara itu.

Hari berganti hari, mereka mulai hidup sebagai keluarga dipengasingan dihutan belantara yang jauh dari keberadaan manusia. Kehamilan Siboru Pareme sudah sedemikian membesar sehingga Sariburaja sudah harus mempersiapkan makanan menyehatkan walaupun sulit didapat di tengah hutan belantara itu.

Disuatu ketika, seekor binatang buas terdengar sedang mengaum didekat gubuk dimana Siboru Pareme sedang berada. Sementara Sariburaja sudah berapalama tidak kembali ke gubuknya karena pergi mencari makanan persediaan dengan berburu binatang. Ketakutan Siboru Pareme kian menjadi-jadi karena auman binatang buas itu terdengar sudah semakin mendekat sementara dia hanyalah seorang perempuan hamil yang tak berdaya untuk membela dirinya apabila ada ancaman seperti ini dari seekor binatang buas.

Binatang buas yang mengaum itu ternyata seekor harimau yang tiba-tiba muncul didepan pintu gubuk yang ditinggali Siboru Pareme. Harimau itu menguakkan mulutnya lebar-lebar sehingga terlihatlah taringnya yang seolah siap untuk menyergap Siboru Pareme sebagai mangsanya. Ketakutan Siboru Pareme kian menjadi-jadi akan tetapi sang harimau tidak juga menyergapnya malah tetap duduk dihadapan Siboru Pareme sambil menguakkan mulutnya mengerang kesakitan.

Akhirnya diketahui oleh Siboru Pareme bahwa harimau itu sedang kesakitan karena tertusuk tulang mangsanya di tenggorokannya. Siboru Pareme memberanikan diri menjulurkan tangannya kedalam mulit harimau itu dengan maksud untuk mengambil tulang yang tertusuk di tenggorokan harimau itu. Tulang-tulang itu berhasil dikeluarkan oleh Siboru Pareme sambil merasa kawatir bahwa harimau itu juga akan memangsanya, namun terjadi keanehan malah sang harimau hanya mengelur-eluskan kepalanya ke tubuh Siboru Pareme yang sedang ketakutan itu seolah mengatakan ucapan terimakasihnya yang menyelamatkannya dari maut karena tertusuk tulang di tenggorokannya.

Keesokan harinya harimau itu datang kembali mendekati gubuk dimana Siboru Pareme tinggal sambil mengaum seolah memberitahukan bahwa dia ada datang kesitu. Siboru Pareme semakin takut dan dipikirannya bahwa harimau itu sudah pulih dari sakitnya tentu sekarang sudah siap memangsanya, Namun yang terjadi ternyata harimau itu membawa segumpal daging rusa segar hasil buruannya sambil meletakkannya didepan Siboru Pareme, lalu harimau itu mengelus-eluskan kepalanya ke tubuh Siboru Pareme sambil mendengus dan kemudian pergi masuk kembali ke dalam hutan belantara. Saat itu sadarlah Siboru Pareme bahwa harimau itu telah menjadi kawannya yang memberikan hadiah daging segar sebagai ucapan terimakasih dari penyelamatannya. Demikianlah Siboru Pareme yang sedang hamil itu berkawan dengan sang harimau yang secara rutin memberinya daging buruan. Maka terpeliharalah kehamilan Siboru Pareme sampai dia melahirkan seorang anak laki-laki bernama Lontung, yang kemudian menjadi leluhur beberapa marga Batak.

5 komentar:

  1. Coba simak penggalan cerita Postingan anda dibawah ini :

    >Masa berumur muda yang sama-sama matang birahi >membawa mereka kepada kenikmatan yang belum >pernah mereka rasakan sebelumnya. Naluri >kelaki-lakian dan wanita yang dalam pengruh >hormon kesuburannya membuat mereka kehilangan >pegangan pantangan hidup antara abang beradik. >Suasana sunyi sepi dibawah naungan rindangnya >dedaunan rumpun bambu dan hembusan angin yang >menyegarkan tubuh yang bertelanjang membuat >birahi mereka memuncak mendidihkan darah >mudanya. Merekapun melakukan hal terlarang >dalam guncangan-guncangan tubuh berirama. >Perjalanan kenikmatan bagai menapaki gunung >yang tinggi menggelorakan hasrat. Alunan >suara-suara gemercik diiringi gesekan-gesekan >antara dedaunan yang diterpa angin membawa >mereka hampir mencapai puncaknya dan tiba-tiba >keluar suara rintihan yang diiringi muntahan >lahar panas mengalir di dalam rahim Siboru >Pareme. Alunan suara-suara dan gerakan secara >perlahan menurun dan akhirnya berhenti. Mereka >berdua terkulai kelelahan dibalik >kenikmatannya yang tiada tara. Proses >peristirahatan mereka mulai berlanjut lagi dan >merekapun tertidur lagi dalam kelelahannya.

    Persis model cerita Nick Carter atau anny arrow dimana sasaran ceritanya bukan kisah / sejarah namun khusus menonjolkan sex.

    Seperti yang anda tahu, bahwa siboru pareme adalah ibu dari beberapa marga batak, seharusnya anda hati-hati menulis cerita, meskipun tujuan anda mungkin tidak sejelek itu namun ini menjadi penghinaan bagi banyak marga batak, sebab selain cerita anda ngaco (cobalah baca secara teliti)anda juga terlalu berani manambah-nambah hal yang sangat tidak seharusnya dibaca umum, yang anda tulis (tentang sex diatas) bukan fakta atau sejarah sebab anda belum lahir saat kejadian tersebut, dan belum pernah ada sejarawan batak yang menuliskan kisah soboru pareme seperti yang anda tulis ini ( nge sex abis ).

    Sementara sumber cerita andapun tidak jelas dari mana...

    SEMOGA ANDA BUKAN ORANG BATAK, SEHINGGA KAMI DAPAT MEMAKLUMI INI.

    BalasHapus
  2. Saya juga kurang begitu setuju dengan cerita yg diatas. karena sudah melenceng dari fakta dan juga cerita yg saya dengar dari tua-tua dan blog g saya baca.
    Mengikuti komentar saudara Darman diatas" SEMOGA ANDA BUKAN ORANG BATAK, SEHINGGA KAMI DAPAT MEMAKLUMI INI" saya tidak dapat memakluminya.
    Karena saya adalah keturunan dari Raja yang diceritakan diatas (Bere). Hati-hati atas tulisan dan juga blog orang-orang yg sengaja menjelekkan para leluhur Bangso Batak.
    Kalau bisa penulis saya minta tolong " Hapus dongengmu yang membuat kami gerah" Karena siapapun pasti tidak suka Leluhurnya diceritakan yg aneh-aneh sehingga menjadi buruk namanya di hadapan orang banyak. ( mungkin gak punya leluhur ni orang, sehingga tidak sakit hati kalau leluhurnya di jelek-jelekin orang) Sehingga memberi efek negatif kepada keturunan-keturunannya dan juga para pembaca.
    Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Penulis, Tulang saya dimanapun berada, Leluhur, dan juga para Tua-tua adat dari marga tersebut. Saya sebagai bere sangat tidak suka dan menyayangkan tulisan ini.
    "Maaf belum pantas di konsumsi publik"
    Bravo pomparan santabi Oppung i" Raja Guru Tatea Bulan " Unang marsak Sahala dohot Tondi muna Oppung.
    Horas!

    BalasHapus
  3. @darman & DEO BERDHARMA
    Cerita-cerita lama yang diposting di sini dipetik dari berbagai sumber. dan dari sumber-sumber tersebut disarikan yang saling melengkapi.

    Ada satu buku yang menceritakan cerita diatas yang berjudul: "DOLOK PUSUK BUHIT 7, Sebagian Sian Turi-turian ni Halak Batak" dikarang oleh Drs. Gens G Malau (Ompu Asintiya) yang dikeluarkan oleh YAYASAN "TAO TOBA NUSANTARA" Jakarta & BPH PALITO Jakarta. Foto dan Sketsa oleh Gens Malau & Suteja. Coba dululah dicari bukunya.

    Dalam buku itu digambarkan lebih vulgar dengan ilustrasi gambar sketsa, justru telah disaring ke cerita yang lebih ringannya.

    Legenda atau cerita yang dimitoskan di atas tetaplah sebagai cerita turun temurun dan mungkin sudah banyak deviasinya, dan tentusaja tidak seorangpun yang dapat meng-claim, cerita mana yang paling benar.

    Cerita ini tidak ada mendiskreditkan marga-marga batak apabila memang ada kaitannya, akan tetapi memang menjadi kenyataan apabila ada penilaian dari sudut pandang yang berbeda memang akan ada reaksi. Sama seperti; apabila seseorang dari etnis Batak terhina dan dihina oleh suku lain yang mengatakan bahwa Keturunan Siraja Batak adalah bangsa kanibal maka darah leluhur orang batak katanya berbunyi dan bereaksi. Sebaliknya apabila seseorang memuji bahwa Keturunan Siraja Batak adalah bangsa yang gigih untuk survive maka semua orang Batak akan tersenyum dan tersipu-sipu.

    Kalau masih boleh saya meminta maaf atas kesalah-fahaman anda, mungkin saya harus meminta dulu buku yang diterbitkan di atas untuk ditarik dari peredaran

    BalasHapus
  4. Molo taringot tu torsa na ginurithon na diginjang i do, dang pola sisangkalonta i, alana kondisi riil di tingki i ndang taboto be; molo ala na patar songon indahan dibalanga dipatupa laho manorsahon i dang pola marsogo ni roha hita di si, alana boi do i. Gabe maila hita ? dang porlu maila hita, alana i do sintongna na masa uju i. Tumagonan do taboto aha na masa i unang apala sai hukkup, marhite ta boto i, boi ma enetonta aha na porlu sieahan tu ari mangihut. Jala marhite angka torsa si songon on boi ma muse lam bagas antusanta dia do alana umbahen tubu angka parsalisian di pomparan ni Guru Tate Bulan sian mulana. Boi dohonon, dang pola si arsakhononta i.
    Bangko do di hita halak Batak sian narobi sahat tu tingki on, manghatahon holan nauli manghuphupi na hurang, dos do i songon angka parbinotoan di hadatuon, hagogoon dohot lan naasing pe, sada dipatuduhon na sada manang na dua dihukhupi ujung laos mago sude.
    Horas, ahu pomparan ni Raja Lontung sian siampudan

    BalasHapus
  5. @Pagaran Dolok
    Terimakasih atas tanggapannya yang sangat netral. Saya sudah berkunjung ke blog Pagaran Dolog dan banyak yang menarik untuk dipetik, baik untuk kajian maupun untuk referensi penulisan. Thanks & GBU

    BalasHapus