Rabu, 31 Maret 2010

SIBORU NAITANG

Siboru Naitang sudah demikian tersohor kecantikannya, dan sudah menjadi istri seorang raja yaitu Raja Sinaga dari daerah Sirait Nainggolan, kira-kira berjarak sekitar 25 kilometer dari Pangururan di arah selatan.

Sebelum kisah ini terjadi, hampir semia orang memuji dan mensyukurinya karena jadi dipinang oleh seorang anak raja yang kaya dan terhormat. Sang pangeran si anak raja itupun memang seorang yang genteng dan tampan, sehingga mereka memang sepadan dari segi fisik, akan tetapi mungkin juga kurang serasi dalam hal sifat dan kelakuannya.

Walaupun sudah sekian lama menjadi suami istri, namun belum ada terlihat tanda-tanda bahwa Siboru Naitang sedang mengandung anak. Disuatu saat, Siboru Naitang membuka pembicaraan kepada suaminya:

"Suamiku tercinta, alangkah baiknya kalau kita bisa berkunjung ke rumah bapak mertua di Pangururan". Demikian kata Siboru Naitang membuka pembicaraan.

"Wah.. itu ide yang baik, istriku sayang..., senang hatiku atas idemu itu; kalau begitu persiapkan saja bekal-bekal yang perlu agar kita dapat segera berangkat besok." demikian kata suaminya.

"Karena perjalanan kita cukup jauh, kira-kira perjalanan setengah hari, jadi ngga usalah membawa bekal yang banyak, cukup untuk bekal diperjalanan saja," demikian jawaban dari Siboru Naitang.

Perjalan ini baru pertama kali dilakukan mereka berkunjung ke rumah orangtua mereka Raja Sinaga. Mereka berangkat berdua dan juga membawa seekor anjing kesayangan mereka.

Walaupun sudah beberapa bulan mereka menjadi suami istri, tetapi rupanya Siboru Naitang tidak pernah mau memberikan perhatian kepada suaminya. Sering juga dianya hanya duduk santai dirumahnya, karena dia selalu terngiang tentang apa yang pernah dia lakukan dengan saudara laki-laki kandung kembarannya sendiri bernama Inar Naiborngin, sebagai temannya bermain di taman, di ladang, maupun di sawah, termasuk sebagai temannya bersenda gurau di Balai yang terdapat di ladang mereka.

Orangtua mereka sebenarnya kurang cermat memperhatikan tingkahlaku anak kembarnya ini sehingga mereka sudah terlanjur terlalu jauh berhubungan yang tidak sepantasnya. Mereka sudah mengenal nikmatnya tidur bersama di balai, mereka sudah mengenal nikmatnya mandi bersama di pancuran kecil yang terdapat di dekat persawahan kampung mereka. Terkadang mereka tidak sempat lagi membersihkan ladang ubi mereka yang sudah ditumbuhi oleh semak dan ilalang. Mereka lupa untuk menyiangi semak yang tumbuh diantara pohon singkong yang sudah mulai tumbuh meninggi. Terkadang mereka berdua duduk-duduk saja ditengah rimbunnya daun singkong, sehingga mereka tak terlihat entah apa yang mereka lakukan berduaan disitu. Yang jelas mereka sudah terjatuh kedalam lembah kenistaan. Hanya mereka berdua yang tau nikmat yang mereka lakukan, karena mereka luput dari pengamatan dan perhatian orangtua mereka. Memang benar kenikmatan yang mereka dapatkan, akan tetapi sungguh tak terkatakan efeknya dikemudian hari.

Semua kejadian nikmat itu selalu terngiang di benak Siboru Naitang dalam perjalanannya dengan suaminya itu walaupun terik matahari demikian kuat menyengat kulit mereka, namun tak disadari mereka keringat mengucur bagaikan air mendidih. Oleh karena itu mereka menjadi cepat lelah, lebih lagi suaminya yang sudah beberapakali menguap ternganga karena mengantuk, sehingga badannyapun sudah mengidamkan untuk berbaring karena lelah di terik matahari itu. Akan tetapi karena dia merasa malu kepada istrinya, diapun berusaha melangkahkan kakinya selalu di depan dengan dipaksakan.

Seketika mereka telah sampai di kawasan Tanah Simbolon arah ke perbukitan dekat kampung, dan karena sudah tidak tahan lagi kantuknya, maka dia minta berhenti untuk beristirahat, dan mereka berteduh dibawah pohon Bintatar yang ada dekat lembah. Memang perjalanan mereka kira-kira sudah setengah jalan.

Mereka duduk bersama disebelah pohon itu. Ada perasaan lega berteduh dibawah rindangnya daun-daun pohon Bintatar itu. Memang demikian kantuknya sang anak raja itu sehingga dia tertidur pulas di pangkuan sang istri Siboru Naitang.

Mungkin memang sudah ada niat asing dibenak Siboru Naitang sejak dari rumahnya di Sirait Nainggolan. Sewaktu dia melihat suaminya tertidur pulas, maka timbullah niatnya yang jahat. Pada saat bersamaan itu terngiangpula dia kepada saudara laki kembarannya Inar Naiborngin, seolah tergambar sedang melambaikan tangan memanggilmangilnya, dan seolah meminta agar mereka dapat segera bertemu untuk berpelukan.

Siboru Naitang mengamati suaminya yang tertidur pulas itu dengan mata yang berbinar-binar layaknya bagai seorang yang sedang mabuk tuak. Dia mengeram giginya yang terlihat geram seolah ingin membalas dendam sehingga nafasnyapun terdengar terengah-engah bagaikan kerbau yang sedang menyeret beban berat.

Dia kemudian mencabut belati tajam yang terselip dipinggang suaminya, lalu dia mengatur posisinya dengan menumpu lutut kirinya ke tanah sementara kakinya sebelah kanan mengangkangi kepala suaminya yang sedang tertidur pulas itu, terlihat dia seperti dalam posisi seorang pencak silat yang mengatur kuda-kuda yang siap untuk membinasakan musuhnya. Dalam sekejap mata sudah digorokkan belati tajam itu ke leher suaminya itu, dan seketika itu pula tewas tanpa ada perlawanan.

Siboru Naitang segera mengemasi mayat itu, lalu digulingkan kedalam lembah, akan tetapi kepalanya yang sudah terputus itu dijinjingnya sampai ke kampungnya kembali. Dalam perjalanannya yang tergesa-gesa itu, dia tidak lagi menanggapi orang-orang yang sedang menyapanya dalam perjalanannya. Memang pada jaman itu dirasa aneh apabila seorang berempuan yang melakukan perjalanan tanpa didampingi oleh laki-laki. Segera sampai di kampung itu, dia langsung mencari saudara laki kembarannya itu, tetapi bungkusan kepala yang dijinjingnya itu disembunyikannya di bagian luar rumah yang tersembunyi.

Sebelumnya dia tidak memperhatikan bahwa anjingnya tidak mengikutinya sejak perjalanannya itu karena anjingnya itu ternyata sudah pulang duluan kembali ke kampung tuannya di Sirait Nainggolan. Memang agak heran raja di Sirait, dan dia merasa bahwa ada sesuatu yang tak beres dalam perjalanan anaknya dan menantunya itu makanya anjing itu pulang lebih dulu.

Keesokan harinya, seorang dukun dihadirkan untuk membaca tenungan (parhalaan = kalender batak) atas anaknya dan menantunya. Setelah sang dukun menggerak-gerakkan jeruk purut yang mengambang di cawan, lalu berkata: "Aku ada melihat menantu raja dalam keadaan sehat walafiat, akan tetapi anak raja tak terlihat, dan hanya ada bungkusan yang menyertai perjalanan menantu raja itu, ngga ada manusia yang lain yang tampak."

Biasanya hati sang raja tidak pernah khawatir bahkan untuk memberangkatkan anaknya ke medan perang, namun kali ini sepertinya hatinya merasa gusar, serasa keyakinannya tidak goyah.

Sang raja menyuruh anaknya untuk mempersiapkan bekal untuk menyusuk ke kampung hula-hula anaknya itu di Pangururan di bawak kaki Dolok Pusuk Buhit. Juga dipersiapkan anakbuahnya yang biasanya diberangkatkan dalam peperangan, karena dia sudah yakin ada masalah yang terjadi dalam perjalanan anaknya itu.

Setelah mereka sampai di Pangururan, langsung mereka menuju kampung Naibaho Siahaan, lalu ditegaskan untuk menanyakan dimana anaknya dan menantunya berada. Raja yang ditanya itupun menjadi bingung oleh karena menurut pemberitahuan putrinya bahwa dia hanya sendirian datang karena alasan yang sangat rindu keluarga.

Memang benar juga itu ipar (lae), putriku sudah disini dua hari yang lalu. Aku memang menanyakan mengapa hanya dia sendiri yang datang tanpa menantu kami anak raja itu. Putri kami mengatakan, mungkin menantu kami itu kurang suka perjalanan yang agak jauh, tetapi walaupun hanya putriku yang datang, katanya mereka sudah sepakat.

Dari jawaban Raja Naibaho itu, tubuh Raja Sinaga mengucurkan keringat dan terasa lunglai, dan dia semakin bertanyatanya kemana gerangan anaknya berada, karena memang mereka diberangkatkan secara resmi. Olehkarena itu maka dimintanya untuk memanggil saja menantunya itu supaya dapat didengar penjelasan tentang perjalanan mereka.

Pada awalnya, Siboru Naitang mengatakan: "Suamiku sudah pulang kembali dari tengah perjalanan karena merasa sangat letih melakukan perjalanan itu. Aku dengan senang hati memberangkatkan dia pulang dari tengah perjalanan, aku merasa khawatir juga bahwa anak raja itu ngga terbiasa melakukan perjalanan jauh, makanya aku usulkan dia pulang saja."

Kemudian Siboru Naitang melanjutkan: "Sebenarnya aku mengusulkan untuk menginap saja dikampung yang dekat dengan tempak kami beristirahat, tetapi aku melihatnya sudah semakin enggan melanjutkan perjalanan kami yang masih jauh, sehingga aku maui saja permintaannya untuk kembali pulang."

Penjelasan yang diberikan oleh Siboru Naitang, dapat mereka terima tanpa ada unsur kecurigaan, karena dia menyampaikannya dengan wajah yang tenang, bicara yang jelas, dan beralasan.

lanjutan ceritanya....

Lain hal dengan anjing Raja Sinaga yang pergi berkeliling-keliling kampung karena anjing itu mencium bau tuannya. Sang anjing hilir mudik mencari tuannya itu hingga sampai ke pondok dekat kampung itu dimana tempat Siboru Naitang berselingkuh dengan saudaranya sendiri. Melihat anjing yang gelisah itu, kemudian raja itu memanggil anjing itu sambil mengeluselus kepalanya. Setelah diamati ternyata anjingnya itu sedang menagis mencucurkan airmata> Melihat hal itu semakin jelaslah kecurigaannya bahwa sudah terjadi sesuatu di kampung besannya Raja Naibaho. Kemudian dia menginstruksikan kepada pengawalnya untuk mengikuti kemana pergi anjing itu mengarahkan tujuannya tanpa diketahui Raja Naibaho. Tetapi anjing itu tidak mau lagi pergi dari samping tuannya dan matanya terus saja mencucurkan airmata. Kemudian Raja itu berdiri dengan maksud agar anjing itu pergi mencari dimana anaknya berada. Kembali anjing itu mengibasngibaskan ekornya dan terlihat gelisah dirumah Raja Naibaho itu.

Seketika melompatlah anjing itu mengarah ke bagian atas rumah itu sambil mengaum panjang seperti tangisan sehingga yang hadir disitu merasa ngeri mendengar suara lengkingan anjing itu. Melihat sikap anjingnya yang demikian, Raja Sinaga berkata kepada Raja Naibaho: "Sudah ada tergerak dihatiku bahwa ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi kepada anakku. Oleh karena itu cobalah dulu dipanggil kembali Siboru Naitang supaya tegas aku meminta penjelasannya."

Setelah menantunya Siboru Naitang datang, secara langsung Raja Sinaga mendesak agar diberi jawaban yang tegas dimana mayat anaknya disembunyikan, karena sudah terjadi sesuatu yang buruk kepada anaknya itu dan itu terlihat dari tangisan anjingnya Sihuring. "Kalau memang sudah nasib anakku tidak berkelanjutan menjadi suami menantuku, nyatanya memang sudah menjadi aib bagiku, aku tidak bermaksud apa-apa padamu menantuku, tetapi coba secara tegas menantuku katakan apa yang sedang terjadi", demikian kata Raja Sinaga sambil terisak tangis.

Siboru Naitang menjadi terharu dan luruh hatinya. Dijelaskannya memang sudah mati suaminya -anak Raja Sinaga itu, dan kepalanya diakuinya dibawanya yang disembunyikannya di langit-langit rumah itu.

Seketika Raja Sinaga menangis berteriak dengan suara keras, demikian pula besannya Raja Naibaho karena diapun memang tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di kampungnya itu, lagipula kepala menantunya itu ternyata terletak dilangit-langit rumahnya. Setelah penggalan kepala itu diambil dari langitlangit rumah itu, seketika pengawal Raja Sinaga hendak mengobrakabrik seisi kampung, tetapi Raja Sinaga menghentikannya dan berkata dengan suara kuat: "Lebih baik aku mendengar dulu apa hukuman yang akan dijatuhkan kepada Siboru Naitang yang berhati macan itu, yang membunuh sendiri suaminya layaknya pembunuh berdarah dingin ini."

Memang langsung dijawab Raja Naibaho permintaan besannya itu: "Besok pagi kami akan menenggelamkannya ke tengah danau yang paling dalam, agar dia dimakan ular Siniangnaga yang datang dari pusat bumi, kemudian agar dihempaskan angin topan ke hutan belantara sehingga dia akan dicabikcabik babiat sitempang (harimau), harimau leluhur penegak hukum. Tidak mesti hukum manusia yang dijatuhkan kepada manusia seperti ini, tetapi biarlah para leluhur dari Pusuk Buhit yang pantas menghukumnya. Tabahkanlah hati besanku, kalau engkau berkenan atas apa yang aku sampaikan tadi, tak usalah kami memanggil raja-raja hakim untuk memutuskannya." Setelah mereka besanan itu saling sepakat, kemudian Raja Sinaga dan pengawalnya pulang ke kampungnya. Siboru Naitang terlihat tidak menyesali perbuatannya dan dia rela mendapat hukuman sebagaimana yang disampaikan oleh ayahnya itu.

Keesokan harinya, dibunyikan gendang (Ogung) untuk menghantarkan putrinya itu menjalani hukumannya, kemudian memasukkannya kedapam perahu yang sudah dipersiapkan dengan batu pemberat untuk tujuan menenggelamkannya. Orang-orang sekampung yang ikut menghantarkan turut sedih juga dan mereka menangis, walaupun mereka memahami kejahatan yang dilakukan oleh Siboru Naitang.

Pada sore harinya, para pengawal Raja naibaho pulang dari pelaksanaan hukuman itu tetapi diberitahukan bahwa Siboru Naitang tidak dapat tenggelam ke dasar danau karena acapkali ditenggelamkan maka selalu muncul lagi ke permukaan dan tak terlihat Siboru Naitang menderita malah kelihatan biasabiasa saja. Karena kejadian itu maka mereka mendapat firasat bahwa ada sesuatu yang ditunggu atau diidamkan oleh Siboru Naitang dari ayahnya atau ibunya, makanya dia tak dapat tenggelam. Lalu mereka berniat membawa kembali Siboru Naitang ke kampungnya.

Sesampainya ditepi pantai, dan didepan orang-orang yang menghantarkannya untuk menjalani hukuman itu, dia berkata: "Tolong dipersiapkan untukku sebuah kuburan dan ditanam pohon jabijabi (sejenis pohon beringin) agar ada nantinya tempat berteduhku. Tolong juga dibersihkan ayam jantan berwarna merah-hitam (Mirasialtong) dengan minyak dan diletakkan bersamaan dengan dompet sirih, agar hatiku merasa tenang dibenamkan ke dasar danau.

Setelah semua permintaannya itu dipenuhi, dia sendiri dengan rela berjalan ke arah danau, dan dia langsung berjalan ketengah danau itu sehingga lambatlaun dia terlihat semakin tenggelam dan akhirnya hilang dari pandangan. Kemudian tempat itu menjadi tempat keramat pemujaan (sombaon).

Raja Inar Naborngin saudara kandung Siboru Naitang selingkuhan incest-nya semakin ketakutan apabila orangtuanya mengetahui perbuatan mereka yang kakakberadik. Dia merasa bahwa Siboru Naitang sudah memberitahukan perbuatan mereka itu, dan karena itu dia selalu bersembunyi dari penglihatan orangtuanya.

Tiba saat yang tepat bagi Raja Inar Naborngin, dia pergi merantau ke negri asing dan dia sampai ke daerah marga Sihotang. Dari situ dia kemudian pergi ke arah Bakkara kemudian melewati daerah Muara dan terus ke arah Lintongnihuta di daerah Humbang.

Agar dia tidak ditanyai siapa dan darimana asalnya maka dia merubah namanya menjadi Datu Galapang, dan dia menyatukan garis keturunannya dari marga Sihombing pemilik daerah disitu supaya dia dapat tinggal tetap di daerah itu. Oleh karena itu dikemudian hari setelah beberapa generasi terjadilah ikatan janji (padan) antara keturunan Sihombing dengan keturunan Raja Inar Naiborngin Naibaho.

Minggu, 07 Februari 2010

Nyi Roro Kidul Sang Putri Batak

Siboru Biding Laut adalah kembaran dari Gumellenggelleng alias Biakbiak alias Raja Uti. Setelah Raja Uti pergi bersemedi di Gunung Pusuk Buhit, maka Siboru Biding Laut adalah anak tertua dari Guru Tatea Bulan dan sebagai penggantinya untuk mengayomi adik-adiknya setelah kematian kedua orangtuanya.

Sebelum meninggalkan kampungnya untuk pergi jauh menghindar dari rencana pembunuhan oleh adik-adiknya, Sariburaja mernanggil dan berkata kepada kakak perempuannya Biding Laut, katanya; “Kakak adalah anak yang paling sulung dari keturunan orang tua kita, oleh ¬karena itu saya mohon agar kakak menjaga dan membina adik-adik kita semuanya. Saya Sariburaja adikmu yang seharusnya menerima tanggung jawab tersebut merasa gagal dan akan pergi meninggalkan tempat ini, karena adik kita Limbong Mulana dan Sagalaraja akan membunuh saya. Kakak tidak perlu mencariku! permintaanku agar kaka menjaga dan mernelihara adik kita serta dapat mengayomi dan memelihara keutuhan nama besar keluarga kita.” Biding Laut terdiam, air matanya menetes membasahi pipinya. Dia berkata; “Adikku Sariburaja kemanakah gerangan kau akan pergi ? Kau adalah adikku juga dan sudah seharusnya menjagamu dari segala marabahaya. Apalagi yang bermaksud akan membunuhmu adalah adik-adik kita juga!”

Setelah Sariburaja dan Siboru Pareme sudah tidak bersama mereka lagi, Siboru biding Laut merasa bersalah karena merasa tak mampu berbuat agar keluarga tetap bersatu. Siboru Biding Laut memutuskan untuk mencari Sariburaja adiknya.

Siboru Biding laut pergi ke-arah barat untuk mencari Sariburaja sambil memastikan bahwa Sariburaja masih hidup. Perjalanan Siboru Biding Laut dalam pencariannya dilakukan siang dan malam menempuh hujan dan terik matahari ke-arah barat sesuai petunjuk adiknya itu.

Siboru Biding Laut tiba disebuah desa ditepi pantai dan menjumpai seorang nelayan dan menanyakan kepada nelayan itu apakah dia pernah melihat orang asing ada tinggal disekitar desa itu. Siboru Biding Laut tidak pernah mendapat jawaban yang memuaskan dari orang-orang yang ditanyainya.

Perjalanannya menyusuri pantai barat Sumatera itu dilaluinya penuh dengan tantangan alam. Angin kencang yang datang dari samudra Hindia dibawah terik matahari pantai membuat tubuhnya lemah lunglai karena kekeringan mengalami dehidrasi. Langkahnya yang gontai mengarahkannya untuk beristirahat sejenak di atas sebuah bangkai kayu yang sudah lapuk dihempaskan oleh ombak lautan. Siboru Biding Laut duduk mengarah lautan bebas dan bertopang dagu sambil mengira-ngira dimana kira-kira adik yang sedang dicarinya Sariburaja. Mata yang sebenarnya memandang kosong ke lautan bebas tiba-tiba terpaku kepada sebuah pulau kecil, lalu diya meyakinkan dirinya bahwa adiknya itu kemungkinan besar berada dipulau itu untuk bersembunyi.

Siboru Biding Laut menumpang sebuah perahu nelayan dan meminta agar dia dihantarkan kepulau itu, dan nelayan itu menyebut namanya Pulau Mursala. Ada keheranan dibenak nelayan itu karena pulau itu diketahuinya tidak berpenghuni. Keingintahuannya mengarahkan hatinya untuk bertanya; “Untuk apa ito pergi ke pulau itu?” tanyanya menyelidik; “Aku sedang mencari adikku Sariburaja yang pergi dan hilang entah kemana, apakah ito pernah dengar seseorang yang bernama Sariburaja.” Demikian jawabnya sambil bertanya. “Sepertinya tidak pernah terihat orang asing bernama Sariburaja disekitar sisi, tapi mungkin saja dia bersembunyi di pulau itu”, demikian balas si nelayan.
Setiba di Pulau Mursala, Siboru Biding Laut menyusuri setiap sudut pulau itu namun dia tidak menemukan siapa-siapa di pulau itu. Keletihannya membuat dia mengantuk dan tertidur. Dia tidak menyadari bahwa tak seorangpun ada di pulau itu sementara nelayan yang menghantarkannya sudah kembali pulang.

Sementara itu seorang pemuda yang sudah beberapa lama memperhatikan Siboru Biding Laut sewaktu mondar mandir sambil menangis seperti mencari sesuatu. Pemuda itupun mengikutinya sejak dihantar oleh nelayan ke pulau itu. Pemuda itu pergi menuju Pulau Mursala untuk mencari tau apa gerangan yang dicari oleh gadis cantik di pulau yang tak berpenghuni dan dia menganggapnya merupakan hal yang tak lazim dilakukan oleh seorang wanita.

Pemuda itu menemukan Siboru Biding Laut sedang tertidur pulas. Dia mencoba untuk membangunkannya dengan maksud untuk menawarkan membawanya kembali ke pantai. Siboru Biding Laut terbangun dan melihat seorang pemuda berdiri dihadapannya. “Ito, mari saya hantar kembali ke pantai, karena tak baik seorang gadis cantik tinggal sendirian di pulau yang tak berpenghuni ini” demikian kata pemuda itu meyakinkannya. Siboru Biding Laut mengikuti ajakan pemuda itu sambil berucap, “Terimakasih ito” jawabnya singkat, tetapi dalam hatinya berkata, “Baik nian anak muda ini”.

Sambil berjalan menuju pantai pulau itu dimana sampannya ditambat, pemuda itu berkata, “Saya sebenarnya sudah lama memperhatikan ito sewaktu di daratan, dan melihat itu berwajah sedih dan menangis, makanya saya tertarik mengikuti perjalanan ito.” Demikian kata pemuda itu mulai menyampaikan maksudnya. Siboru Biding Laut hanya berdiam tidak membalas, karena pikirannya hanya tertuju kepada adiknya Sariburaja yang belum ditemukannya. Lalu pemuda itu mulai menggodanya sambil bertanya, “Mengapa secantik ito terlihat bersedih dan menangis? Apa ada yang menyakiti ito?” tanyanya menyelidik. “Aku sedang mencari adikku yang tak tau kemana rimbanya,” demikian jawaban Siboru Biding Laut singkat. “Mengapa ito mau mencari orang yang tak tau dimana rimbanya, bagaimana kalau ito tinggal bersama saya saja dan saya persunting menjadi istri saya?” demikian kata pemuda itu menyampaikan maksudnya.

Mendengar maksud pemuda itu, Siboru Biding Laut tersinggung dan berkata, “Saya mengira ito orang baik-baik ternyata tidak, sebaiknya ito pergisaja dari sini dan biarkan saya tinggal disini, aku tak perlu bantuanmu, dan jangan ikut campur urusanku,” katanya dengan sinis. Sambil menghentikan langkah, walaupun tersinggung, pemuda itu masih mencoba menjelaskan maksudnya, lalu berkata, “Ito jangan marah dulu, saya mengatakan apa adanya bahwa saya memang terpesona melihat kecantikan ito sehingga sepertinya aku sudah jatuh cinta pada ito, makanya aku memberanikan diri untuk mengajak ito kawin dengan saya” katanya meyakinkan. Karena Siboru Biding Laut memang sedang gundah gulana mencari adiknya itu sehingga dia tidak mempan akan rayuan si pemuda itu dan bahkan hatinya menjadi marah dan membalas perkataan pemuda itu dengan ketus dan sikap marah, “Sekali lagi saya ingatkan supaya ito pergi saja dari sini, aku tak perlu bantuanmu,” katanya dengan tegas.

Jawaban-jawaban Siboru Biding Laut membuat pemuda itu tersinggung. Dia belum pernah mendapat sambutan yang sinis atas niatnya yang baik. Dengan rasa malu dia melangkahkan kakinya menuju sampannya dan mengayuhnya menjauhi pulau Mursala. Sesampai di desanya, dia menyampaikan cerita Siboru Biding Laut dengan pemuda-pemuda lainnya bahwa Siboru Biding Laut menentang kesaktian dengan pemuda desa itu. Mendengar pengaduan tersebut, para pemuda di desa itu menjadi marah dan malam itu juga mereka berangkat ke Pulau Mursala untuk menjawab tantangan yang diceritakan pemuda itu.

Sesampai di Pulau Mursala, para pemuda itu langsung menjumpai Siboru Biding Laut dan mengeroyoknya. Siboru Biding Laut diikat dan pakaiannya ditanggali, lalu masing-masing memperkosanya bergantian hingga tak sadarkan diri. Tidak hanya sampai disitu, dalam keadaan pingsan setelah pelampiasan nafsunya, mereka membuang tubuh Siboru Biding Laut ke dalam laut dari tebing curam bebatuan di pulau itu.

Karena terombang ambing ombak lautan hindia yang ganas itu, Siboru Biding Laut segera sadarkan diri dan dengan bersusah payah berusaha menepi dari laut. Tubuhnya sekarat terhempas bebatuan karang laut dan dengan suara yang hampir tak kedengaran, dia memanggil-manggil nama ayah dan ibunya yang sudah almarhum itu. Dia juga memanggil-manggil nama abangnya Raja Uti yang telah menjadi pertapa sakti, namun tak ada jawaban sampai dia merasa sudah tak bertenaga lagi menuju kematiannya. Perlahan dan pasti tubuhnya menjadi tak berdaya menepi kepantai dan lantas terbawa hempasan ombak menuju ketengah lautan. Yang terakhir terngiang dipikirannya adalah mencari adiknya Sariburaja kemanapun dan dimanapun sampai akhir hayat.

Gelombang ombak Samudra Hindia mengombang ambingkan tubuh Siboru Biding Laut kemana arus ombak menghantarkannya. Tiba di suatu saat dia terdampar di pantai suatu daerah yang tidak diketahuinya dimana dia sedang berada. Keberadaannya disebuah daerah yang asing baginya mengarahkannya untuk bertanya kepada orang yang dijumpainya. Orang-orang setempat juga telah melihat adanya orang asing berada di daerah mereka. Lalu mereka bertanya kepada Siboru Biding Laut, “Neng ini siapa dan darimana asalmu?”. “Saya dari laut selatan dan sedang mencari adik saya yang hilang,” demikian jawabnya karena dia memang terombang-ambing dan terdampar di lautan sebelah selatan khatulistiwa. Kemudian dia bertanya kepada masyarakat disitu, “A..ak, apa nama daerah ini? Apa pernah melihat orang asing bernama Sariburaja di daerah ini?” tanyanya dengan lugu. “Ini daerah Pelabuhan Ratu namanya, neng. Tetapi kami tak pernah melihat orang asing yang neng sebutkan!” demikian kata masyarakat disitu.

Siboru Biding Laut melanjutkan langkahnya menyusuri pantai dan hutan-hutan sekitarnya untuk mencari Sariburaja. Tekatnya sudah bulat harus menemukan adiknya itu. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan namun Sariburja tidak juga ditemukannya. Kehilangan Sariburaja memang bagai ditelan bumi saja baginya. Langkah kakinya ke arah timur itu terhenti setelah melihat dari kejauhan sebuah kawasan datar yang indah. Dia berhenti sejenak untuk melepaskan lelahnya. Dalam hatinya berkata, “di ‘andaran’ sana pasti ada penghuninya, saya harus ke sana untuk mencari adikku, mungkin dia ada disana.” Demikian pikirnya. (Adaran atau andaran dalam bahasa Batak adalah suatu kawasan datar yang terlihat dari jauh).

Setelah lelahnya pulih maka dia melanjutkan pencariannya ke kawasan yang disebutnya andaran itu. Tekat yang demikian kuat meyakinkan dirinya untuk melangkah pasti menuju tujuannya. Tibalah dia dikawasan yang disebutnya andaran itu yang ternyata kawasan pantai indah di selatan Pulau Jawa itu. Masyarakat disitu disibukkan dengan kegiatannya masing-masing sebagai nelayan, namun seseorang telah memperhatikan kehadiran Siboru Biding Laut sebagai orang asing.

Siboru Biding Laut mengistirahatkan dirinya sambil duduk disebongkah batu yang ada di pantai itu. Dia menikmati keindahan alam ciptaan tuhan yang begitu dikaguminya. Duduk terpaku dengan pikiran kosong tanpa disadarinya dia sudah duduk disitu dalam waktu lama berjam-jam melamunkan cerita-cerita pencariannya dipikirannya sendiri.

Seseorang yang sudah sejak lama memperhatikan keberadaannya disitu, datang menghampirinya. Siboru Biding Laut tidak menyadari kedatangan seseorang yang sedang menghampirinya. Langkah-langkah kaki yang datang tidak lagi didengarnya karena pikirannya yang berkecamuk tertuju kepada bayangan berjumpa dengan adiknya dalam pencariannya itu, Tiba-tiba satu sentuhan jari di pundaknya mengusik kesadarannya dan suara yang menyapanya menolehkan wajahnya ke arah belakang dan melihat sesosok tubuh berwibawa telah ada disampingnya. “Neng, sedang apa disini?” demikian singkat suara yang bertanya itu. Siboru Biding Laut lantas menjelaskan, “Saya dari laut selatan datang ke andaran sini untuk mencari adik saya yang hilang, apa mungkin tuan ada melihat orang asing yang berkeliaran disini, mungkin dia adalah adik saya,“ demikian penjelasannya. “Saha namina neng?” orang berwibawa itu menanyakan kembali. “Saya tak ingat nama lagi tuan, tetapi nama adik saya adalah Sariburaja,” kemudian dia menjelaskan bagaimana dia dapat sampai di daerah itu.

Lelaki yang menyapanya itu ternyata penguasa daerah andaran itu. Dia adalah orang sesaktian yang menjadi raja penguasa. Atas pengaduan masyarakat disitu tentang Siboru Biding Laut sebagai orang asing yang berkeliaran sudah seharusnya mendapat hukuman karena tidak melaporkan kehadirannya di daerah kekuasaan raja itu. Karena mendengar cerita Siboru Biding Laut maka timbul rasa iba bagi raja penguasa itu. Dia memanggil suruhannya untuk membawa Siboru Biding Laut ke istananya dan diperlengkapi dengan pakaian yang baru sebagai ganti pakaiannya yang sudah compang-camping seadanya. Sang raja menganggap bahwa Siboru Biding Laut pastilah seorang sakti sehingga dapat selamat di keganasan alam baik lautan maupun hutan.

Selesai bersalin yang diperlengkapi oleh suruhan raja, maka raja itu menempatkan Siboru Biding Laut sebagai budak pesuruh di istana itu. Badi Siboru Biding Laut hal itu adalah keberuntungan karena dia berkeyakinan akan mendapat informasi tentang adiknya suatu saat. Dia masih bersyukur bahwa masih ada orang yang memperdulikannya walaupun hanya sebagai budak. Dia sempat berpikir bahwa di tanah leluhurnya, dia adalah boru ni raja (putri raja) karena bagi orang Batak tidak memberlakukan perbudakan apabila tidak sedang menjalani hukuman. Bagi Siboru Biding Laut ditempatkan sebagai budak adalah ganti dari hukuman karena dia memang orang yang ada di daerah kekuasaan orang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.

Sansakti adalah nama raja yang memungutnya sebagai budak di istana raja. Sansakti memang raja yang disegani, ditakuti dan menjadi panutan bagi masyarakatnya. Tak seorangpun berani melakukan pemberontakan karena Sansakti memang memiliki kesaktian yang sangat tinggi tanpa ada tandingan di kawasan itu. Kerja baik dan tekun yang dilakukan oleh Siboru biding laut menjadikan dia sebagai budak yang disenangi disamping rupanya yang cantik. Tak terasa waktu berjalan sedemikian lama tetapi pencariannya kepada adiknya Sariburaja tidak juga membuahkan hasil, walaupun dia banyak melakukan upaya melalui temannya budak apabila sedang keluar istana.

Perilaku baik menjadi perhatian dari raja Sansakti. Siboru Biding Laut sudah dianggap menjadi putrinya sendiri. Para budak lainnya sudah silih berganti karena humuman yang diterima, tetapi Siboru Biding Laut tetap mengabdi dengan sepenuh hati. Melihat kepatuhan dan baik budi dari Siboru Biding Laut maka dia dipercaya sebagai kepala rumah tangga di istana itu. Kepadanyapun diajarkan ilmu-ilmu pengetahuan termasuk kesaktian agar mampu mengepalai istana. Hati Siboru Biding Laut menjadi betah dan senang tinggal di istana.

Tak sadar perjalanan waktu sudah panjang dijalaninya. Duapuluh tahun tak terasa bahwa dia menjadi penghuni daerah yang disebutnya sebagai Pangandaran. Ilmu pengetahuan dan kesaktian sudah banyak yang digalinya dari raja Sansakti. Dia sudah matang menjadi seorang wanita yang mandiri dan memiliki prinsip hidup walaupun dia hidup dan berada nun jauh dari kampung halamannya. Tekad yang dudah terkandung di dalam hatinya masih tetap tertancap mendalam di hati sanubarinya, namun situasi kadang tidak berpihak kepadanya.

Di suatu hari, Sansakti ingin menularkan ilmu kesaktian yang paling dia rahasiakan. Saatnya sudah tiba untuk menurunkannya kepada Siboru Biding Laut yang dia sayangi. Sansakti berkata; “Aku akan mengajarkanmu ilmu kesaktian agar kau tidak merasa terhina terhadap orang-orang disekitarmu dan aku tau bahwa kau masih terusik akan kehilangan adikmu. Bila memang masih menguat dihatimu untuk mencari adikmu yang hilang maka ilmu yang kuajarkan akan berguna bagimu kelak.”

Siboru Biding Laut bersujud dihadapan Sansakti dan mengucapkan terimakasihnya melalui senyuman dibibirnya yang cantik itu. Para hulubalang kerajaan tentu merasa iri mengetahui bahwa ilmu keakti mereka kalah tinggi dibanding Siboru Biding Laut, namun Siboru Biding laut mengelabui mereka dengan mengatakan bahwa yang terpenting baginya bukanlah ilmu kesaktian yang tinggi. Bahwa dia dapat betah di kerajaan itu sudah merupakan sesuatu yang menyenangkan. Oleh karena itu para hulubalang tidak lagi merasa tersaingi dan Siboru Biding Laut menjadi tidak terusik kesirikan para hulubalang.

Kedekatan Siboru Biding Laut dengan Sansakti tidak lagi seperti biasanya. Pelayanan yang selama ini diberikan Siboru Biding Laut bukanlagi sebatas orang tua dan anak yang diangkat melainkan kebutuhan biologis Sansakti sebagai seorang laki-laki dipenuhinya sebagaimana dia juga memiliki hasrat yang sama. Hubungan intim yang mendewakan kenikmatan badani itu berlanjut sekian lama sehingga tiba saatnya bagi Siboru Biding Laut memberitahukannya kepada Sansakti bahwa dia sedang mengandung anak Sansakti dari hasil kenikmatan birahi mereka selama ini.

Sansakti merasa bahagia bahwa dia akan memiliki anak dari muridnya yang dia sayangi itu, maka dia menitahkan untuk membuat pengumuman dari kerajaan bahwa Siboru Biding Laut menjadi istri yang sedang mengandung anaknya. Harkat Siboru Biding Laut terangkat di kalangan istana. Selain daripada Sansakti maka dialah yang memegang kendali tertinggi di kerajaan.

Tiba waktunya bahwa Siboru Biding Laut akan melahirkan, dan lahirlah seorang putri cantik yang kemudian diberi nama Blorong. Waktu berjalan begitu sempurnah bagi Siboru Biding Laut. Dengan memiliki seorang anak dari Sansakti maka posisinya sudah menjadi permaisuri dengan sebutan nyai atau nyi, namun dia malah terusik kepada penggelaran seorang wanita di tanah leluhurnya bahwa dia memang mendapat sebutan anak ni raja (putri raja), jadi penggelaran ini pada dasarnya bukanlah sesuatu yang hebat menurutnya, malah menjadi timbul niat dihatinya bahwa dia harus menjadi benar-benar sebagai ratu yang menguasai kerajaan di Pangandaran itu.

Niatan yang ada dihatinya ditanamkannya menjadi rencana yang harus diwujudkannya agar tiadalagi penghalang baginya untuk memerintah dengan kuasa penuh sehingga tujuan awalnya untuk mencari adiknya yang bernama Sariburaja menjadi kenyataan disamping agar dia memiliki saudara di kerajaan yang akan dia pimpin kelak, karena pikirnya kalau dia hanya seorang sebagai orang asing di kerajaan itu tentu akan timbul masalah dikemudian hari.

Niatan itupun mulai dilaksanakannya seiring anaknya Blorong sudah bertumbuh semakin besar. Saat itu raja Sansakti sedang termenung, entah apa yang sedang dipikirkannya. Suasana itu terlihat oleh Siboru Biding Laut dan iapun menghampirinya dan berbisik ditelinganya, “Guru, apa gerangan yang sedang dipikirkan?” Saya hanya memikirkan kerajaan ini agar tetap langgeng dikemudian hari semasa saya sudah tua nanti,” demikian kata Sansakti. “Jakanlah terlalu dipikirkan guru, kan semua kerajaan sudah berjalan dengan bai, dan putrimu Blorong sudah semakin ceria bertumbuh menjadi anak manis. Dia akan menjadi ratu nantinya yang akan kita pinangkan dengan pangeran dari kerajaan lain,” demikian dijelaskan Siboru Biding Laut menenangkan hari Sansakti. Siboru Biding Laut merebahkan kepala Sansakti di pangkuannya sambil mengelus-elus kepalanya. Terlihat suasana bahagia di raut wajah Sansakti hingga dia tertidur pulas.

Dalam suasana yang demikian senyap, timbullah niatan di benak Siboru Biding Laut untuk menyingkirkan hambatan satu-satunya agar dia memang benar sebagai penguasa di kerajaan selatan Pulau Jawa itu. Bekal ilmu yang sudah diajarkan oleh gurunya itu sudah setara dan bahkan mungki lebih tinggi karena sudah ada ilmu tinggi yang dibawanya dari tanah leluhurnya dahulu. Diapun menetapkan saat itu menjadi waktu yang tepat baginya, yaitu mencabut nyawa Sansakti dengan ilmu cabut nyawa.

Sansakti mangkat. Siboru Biding Laut memberitahukan kepada hulubalang dan kemudian mengumumkan bahwa dia menjadi pengganti raja yang menjadi ratu penguasa di kerajaan pantai selatan. Lalu dia memproklamirkan dirinya sebagai Ratu Pantai Selatan dengan sebutan nama Nyi Roro Kidul. Kemudian menjadi kenyataan pula bahwa putri satusatunya memang menjadi seorang yang disebut Nyi Blorong.

Menurut ceritanya bahwa Nyi Roro Kidul sang Ratu Pantai Selatan adalah Siboru Biding Laut dari Tanah Batak. Penelusurannya dilakukan oleh keturunan dari Guru Tatea Bulan yaitu ayah kandung Siboru Biding Laut, yang secara gaib telah memaparkan sejarahnya melalui sesurupan arwah adik bungsu Siboru Biding Laut bernama Nantinjo kepada seorang perempuan batak br. Sagala yang tinggal di Cianjur Jawa Barat. Silahkan anda cerna sendiri kebenran cerita ini.

Sumber: disarikan dari buku yang ditulis oleh Sutan Parlindungan Tanjung berjudul “Nyi Roro Kidul keturunan Raja Batak”


Selasa, 19 Januari 2010

Terjadinya Pulo Malau

Pulau Malau adalah sebuah pulau yang terdapat di sebelah barat daya Danau Toba dekat ke Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir di Pulau Samosir. Pulau ini dilegendakan terjadi dari sebuah sampan yang terbalik sewaktu seorang putri
bungsu Guru Tatea Bulan bernama Nantinjo yang disunting seorang pemuda dalam perjalanan ke kampung suaminya. Berikut adalah ceritanya:


Nantinjo adalah putri bungsu dari Guru Tatea Bulan/Sibaso Bolon dari sepuluh bersaudara, anak yang pertama adalah Raja Uti, ke dua Saribu Raja, ke tiga Limbong Mulana, ke empat Sagala Raja, ke lima Lau Raja sedangkan perempuan yang pertama adalah Biding Laut, ke dua Boru Pareme, ke tiga Anting Haumasan, ke empat Sinta Haumasan dan ke lima Nantinjo.

Semasa hidupnya, Nantinjo mengalami penderitaan yang cukup berat, sebab ketika lahir kedunia ini saja dia tidak sempurna, dikatakan wanita bukan, pria juga bukan (Shemale). Pada saat umurnya sepuluh tahun kedua orang tua Nantinjo telah di panggil Yang Kuasa. Semenjak ditinggal kedua orang tuanya semakin beratlah penderitaan yang dialaminya. Nantinjo tinggal bersama abangnya Limbong Mulana, karena yang tinggal dikampung pada saat itu hanyalah ketiga abangnya Limbong Mulana, Sagala Raja serta Lau Raja, sedangkan abangnya Raja Gumeleng-Geleng telah pergi dibawa oleh Yang Kuasa kepuncak Gunung Pusuk Buhit. Abangnya yang nomor dua Saribu Raja telah pergi juga merantau entah kemana rimbanya, dikarenakan adanya skandal cinta dengan adiknya sendiri Boru Pareme.

Kemelut keluarga yang begitu hebat telah melanda keluarga Nantinjo sehingga abangnya yang nomor tigalah yang harus bertanggung jawab atas diri Natinjo sepeninggal kedua orang tuanya. Walaupun Nantinjo tinggal dirumah abangnya sendiri, penderitaan yang dialaminya sangat berat karena begitu besar tanggungjawab yang dibebankan abangnya terhadap dirinya mulai dari mengurus rumah, mengasuh anak-anak, serta mencari bahan makanan ke hutan. Dan yang membuat hati Nantinjo sangat menderita apabila Nantinjo salah sedikit saja pastilah dia mendapat hukuman dari abangnya. Siksaan demi siksaan diterima Natinjo hari lepas hari dari abangnya tersebut. Meskipun begitu berat penderitaannya Nantinjo pasrah, sebab tumpuan harapan pengaduannya telah pergi merantau entah kemana.

Nantinjo mempunyai keahlian bertenun, maklumlah pada saat itu dia harus bertenun jika ingin mempunyai pakaian. Setiap bertenun, Nantinjo selalu melantunkan syair lagu penderitaannya dengan berlinang air mata sambil memohon kepada yang Kuasa agar ditunjukkan jalan padanya untuk dapat keluar dari deritanya. Melihat dan mendengar penderitaan serta jeritan hati Nantinjo, Yang Kuasa akhirnya menunjukkan jalan keluar kepada Nantinjo.

Pada suatu saat datanglah abangnya Lau Raja bertamu kerumah Limbong Mulana, melihat adiknya sedang menangis hatinya sedih, sebagai abangnya Lau Raja penasaran dan bertanya kepada sang adik, mengapa engkau menangis Nantinjo? Namun pertanyaan abangnya itu bukan membuat Nantinjo diam malah membuat tangisan Nationjo semakin keras. Lau Raja pun mendekati adiknya, dipeluk dan dihibur adiknya dengan penuh kasih sayang sambil bertanya ada apa gerangan yang membuat hati adiknya begitu pilu dan sedih? Sadar bahwa abangnya begitu sayang kepadanya, Nantinjo akhirnya menceritakan segala penderitaannya dan menunjukkan luka dipunggungnya akibat siksaan yang kerap dilakukan abangnya Limbong Mulana kepadanya.

Tanpa sadar Lau Raja memanggil nama ibunya “Sibaso Bolon” sambil berujar “teganya kamu Ibu, membiarkan putri bungsumu mengalami penderitaan yang begitu berat dan tidak berkesudahan”. Sambil membelai adiknya, Lau Raja mengajak Natinjo pergi dari rumah Limbong Mulana dan ia berjanji akan menyayangi Natinjo. Mendengar ucapan dan janji abangnya, Nantinjo langsung mengikuti ajakan Lau Raja. Akhirnya Lau Raja membawa Nantinjo ke Simanindo Pulau Samosir tempatnya tinggal. Semenjak tinggal dengan Lau Raja. Nantinjo merasa senang, tenang dan bahagia. Nantinjo diberi kebebasan untuk melakukan kesenangannya bertenun walaupun abangnya miskin.

Hari lepas hari berganti, tak terasa Nantinjo sudah mulai berkembang menjadi gadis remaja yang anggun, cantik dan bersahaja. Kecantikan wajah dan sikap Nantinjo yang tidak pernah membedakan teman-temannya semakin menambah harum namanya terlebih dikalangan pemuda. Nantinjo menjadi gadis pujaan semua lelaki baik dikampungnya maupun dari kampung seberang danau toba. Seorang pemuda dari perkampungan (Huta) Silalahi sangat tertarik kepada Nantinjo dan ingin menjadikannya sebagai pendampingnya seumur hidup. Tanpa mengadakan pendekatan kepada Nantinjo, pemuda tersebut langsung meminta kedua orang tuanya untuk segera meminang Nantinjo. mendengar permintaan sang anak, orang tua pemuda tersebut sangat senang dan bangga ternyata putra mereka bemiat meminang bunga desa dari Simanindo.

Tanpa membuang banyak waktu, pihak keluarga tersebut akhirnya berangkat beserta rombongan ke rumah Lau Raja. Dengan maksud untuk meminang Nantinjo yang akan dijadikan istri dari putranya. Setelah mendengar dan mendapat pinangan tersebut, Lau Raja mengundang kedua abangnya Limbong Mulana dan Sagala Raja untuk mengadakan rapat keluarga, untuk menentukan apakah pinangan tersebut diterima atau tidak.

Ternyata, kedua abangnya mempunyai pendapat yang sama yaitu menerima pinangan tersebut. Namun Lau Raja berpendapat bahwa Nantinjo yang harus menentukan keputusan itu, diterima atau tidaknya lamaran tersebut. Kemudian mereka memanggil Nantinjo untuk hadir dalam rapat keluarga tersebut, dan mempertanyakan kepada Natinjo apakah ia bersedia menerima pinangan pihak laki-Iaki dari seberang danau toba itu? Sadar akan keberadaan dirinya yang laki-laki bukan perempuan juga bukan dengan spontan Nantinjo menjawab bahwa dirinya belum siap untuk berumah tangga. Dengan alasan Natinjo ingin menyelesaikan tenunannya terlebih dahulu agar dia bisa memakainya suatu saat nanti jika ia telah siap untuk berumah tangga.

Namun abangnya Limbong Mulana tidak memperdulikan jawaban Nantinjo dan tidak memberikan kesempatan kepada Nantinjo untuk menolak. Katanya “kamu harus menerima pinangan tersebut”. Mendengar paksaan dari abangnya itu tanpa sadar air mata Nantinjo menetes dipipi, dia berpikir tidak akan bisa melawan keinginan abangnya Limbong Mulana. Nantinjo melayangkan pandangan kepada abangnya Lau Raja dengan harapan dapat membela dirinya, namun Lau Raja pun tidak dapat membela adik yang sangat disayanginya itu karena dia sendiripun takut akan amarah abangnya Limbong Mulana. Melihat situasi seperti itu Nantinjo hanya dapat menangis dan menjerit meratapi nasibnya dalam hati.

Hanya Nantinjo sendiri yang tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Ketiga abangnya tidak mengetahui bahwa Nantinjo tidak sempurna dilahirkan kedunia ini sebagai seorang wanita. Nantinjo menolak karena dia menyadari bahwa dia tidak akan dapat membahagiakan calon suaminya dikemudian hari. Nantinjo berusaha berpikir keras, alasan apalagikah yang tepat untuk dapat menolak lamaran tersebut.

Nantinjo terus berfikir, berusaha mencari alasan untuk menolak lamaran tersebut. Akhirnya dia mendapat ide dan mengatakan kepada abangnya: “Saya bersedia menerima pinangan dengan syarat pihak laki-laki itu harus dapat menyediakan emas satu perahu penuh serta uang ringgit satu perahu penuh” Mendengar persyaratan yang diberikan Nantinjo ternyata orang tua calon suaminya siap memenuhi permintaannya itu, bahkan calon mertuanya mengatakan lebih dari permintaanmu kami dapat kami penuhi.

Setelah kedua belah pihak sepakat, pihak lelaki kembali ke kampungnya diseberang Pulau Samosir. Keesokan harinya, pihak laki-laki itupun datang kembali beserta rombongan dengan membawa persyaratan yang diminta Nantinjo, yaitu emas satu perahu dan ringgit satu perahu.

Melihat emas satu perahu dan ringgit satu perahu keserakahan Limbong Mulana timbul, sikapnya langsung berubah lembut kepada Nantinjo. Dengan lembut Limbong Mulana mengatakan kepada adiknya “sekarang kamu tidak memiliki alasan lagi untuk menolak pinangan calon suamimu itu adikku, sebab calon mertuamu sudah memenuhi permintaanmu disaksikan ketiga abang¬-abangmu serta khalayak ramai. Begitu tulusnya calon mertuamu menjadikan kamu sebagai menantu, dan sebagai abangmu yang tertua diantara kami, aku memutuskan bahwa kamu harus berangkat saat ini juga ikut dengan suamimu, Doa Restu dari kami abang-abangmu menyertai keberangkatanmu. Kami mendoakan kiranya Tuhan memberikan kebahagian lahir maupun batin kepada kamu” kata Limbong Maulana panjang lebar.

Dengan hati yang hancur Nantinjo menatap abangnya satu persatu sambil berkata kepada abangnya Lau Raja : “Jikalau memang saya harus berangkat untuk berumah tangga dengan calon suami saya yang bukan pilihan hati saya, tetapi dikarenakan godaan emas dan ringgit satu perahu, ternyata kalian tega memaksa saya untuk berumah tangga, bagiku tidak ada pilihan kecuali menerima namun permintaanku pada abang: ”Kumpulkanlah semua apa yang menjadi milikku termasuk alat yang selalu kupakai untuk bertenun. Bambu turak ini tempat benang tenunku tolong tanamkan di ujung desa ini, suatu saat nanti semua keturunan Bapak dan Ibuku akan melihat dan mengingat saya yang penuh dengan penderitaan.”

Lau Raja memenuhi permintaan adiknya dan berjanji akan melaksanakannya. Nantinjopun akhirnya menaiki perahu kesayangannya dan berangkat meninggalkan kampung itu mengikuti rombongan calon suaminya. Sambil mendayung perahu hati Nantinjo terus gusar. Dia tidak dapat membayangkan apa yang bakal terjadi setelah sampai dikampung calon suaminya nanti.

Kegundahan dan kekalutan pikiran Nantinjo tidak menemukan jawaban, kemudian Nantinjo memohon dan berseru kepada ibunya Sibaso Bolon, “Bu, mengapa ini harus terjadi, seandainya dahulu ibu cerita kepada semua abangnya tentang keadaan Natinjo yang sebenarnya, mungkin ini tidak akan terjadi. lbulah yang bersalah serta Limbong Mulana yang tergoda dengan emas dan ringgit satu perahu”. Dengan hati yang sangat pilu Nantinjo bertanya kepada Ibunya, “masihkah lbu sayang pada putrimu ini? kalau lbubenar-benar masih sayang dengarkanlah jeritan hati putrimu ini yang pal¬ing dalam. lbu! saya tidak mau berumah tangga sebab itu hanya akan membuat aib dikeluarga, Putrimu ini rela berkorban demi nama baik keturunan Bapak dan lbu di kemudian hari. Saya tahu ibu dapat berkomunikasi langsung dengan Yang Kuasa, Pintalah kepada Yang Kuasa agar saya lepas dari penderitaan ini dan persatukanlah saya dengan ibu”.

Mendengar jeritan sang putri yang sangat memilukan hati, ibunya pun meminta kepada Yang Kuasa. Maka seketika itu juga turunlah hujan yang sangat lebat, angin dan badaipun datang menerjang perahu Nantinjo. Gemuruh ombak disertai halilintar turut menangis melihat penderitaan Nantinjo. Akhirnya perahu Nantinjopun tenggelam ditelan ombak danau toba. Nantinjo menemui ajalnya seketika itu juga. Ketiga abangnya yang menyaksikan hal itu merasa bersalah serta takut.

Bahkan setelah Limbong Mulana memeriksa emas dan ringgit satu perahu yang diberikan calon suami adiknya ternyata hanya diatasnya saja emas dan ringgit dibawahnya hanya gundukan pasir dan tanah. Penyesalan yang timbul selalu datang terlambat, apa mau dikata Nantinjo sudah tenggelam ke dasar danau toba.

Keesokan harinya disaat orang masih tertidur pulas Lau Raja pergi kepantai tempat perahu Nantinjo diberangkatkan dengan harapan dapat menemukan adiknya hidup ataupun mati. Ditelusurinya sepanjang pantai namun tidak ditemukan jasad adiknya. Sambil menangis tersedu-sedu Lau Raja meminta dalam hatinya kepada Yang Kuasa agar jasad adik yang disayanginya dapat ditemukan.

Sayup-sayup Lau Raja mendengar bisikan: “Adikmu Nantinjo sudah saya bawa ketempat yang aman, sekarang dia bersama ibumu. Anakku hapuslah air matamu, dan lihatlah ketempat dimana perahu adikmu tenggelam, disitu kau akan melihat satu keajaiban dunia, perahu adikmu akan muncul kembali berupa pulau.“ Inilah sebagai pertanda bagi keturunanku di kemudian hari betapa tulus dan mulia pengorbanan adikmu, tidak pernah mau membuat saudaranya malu dan terhina dihadapan orang“.

Tiba-tiba Lau Raja tersadar dan melihat dimana perahu adiknya tenggelam, dengan rasa kaget dia melihat apa yang dibisikkan oleh ibunya.Timbulnya pulau itu membuat Lau raja merasa adiknya Nantinjo serasa hidup kembali, dan dia berjanji pada diri sendiri bahwa ia beserta seluruh keturunannya harus menjaga dan merawat serta menyayangi pulau itu, sebagaimana dia menyayangi adiknya.Lau Raja memberi nama pulau itu “Pulau Malau”.

Sumber: Disarikan dari sebuah buku oleh Sutan Parlindungan Tanjung

Kamis, 26 November 2009

Siboru Pareme, Sang Ibu Ilontungan


Kisah hubungan incest antara kakak-beradik

Pada masa itu Mulajadi Nabolon menuntut Guru Tatea Bulan untuk memberikan persembahan karena ada terjadi kesalahan besar di keluarga Guru Tatea Bulan. Ada terjadi skandal percintaan antara kakak beradik kembar yaitu Sariburaja memadu cinta dengan kembaran abangnya bernama Siboru Pareme. Skandal ini semakin jauh dan mereka melakukan incest antara kakak beradik sehingga Siboru Pareme hamil. Oleh karena itu, untuk menebus kesalahan itu maka Guru Tatea Bulan harus melakukan persembahan tertinggi yaitu Kurban Manusia.

Peristiwa percintaan ini masih belum diketahui oleh saudara-saudara lainnya akan tetapi Guru Tatea Bulan secara gaib sudah didatangi oleh Mulajadi Nabolon bahwa anaknya yang bernama Sariburaja dan Siboru Pareme sudah berbuat kesalahan melanggar hukum yang dititahkan, maka Guru Tatea Bulan harus menyediakan kuban manusia sebagai tebusannya. Rencana pemberian kurban oleh Guru Tatea Bulan sempat didengar oleh Gumellenggelleng, maka dia memohon kepada ibunya agar dia diungsikan saja supaya ketika Mulajadi Nabolon datang maka dia tidak terlihat olehnya untuk diminta sebagai kurban. Gumellenggelleng beranggapan bahwa dia adalah sebagai orang yang tidak sempurnah fisik dan pastilah dia yang akan ditawarkan oleh ayahnya sebagai kurban kepada Mulajadi Nabolon, sementara saudara-saudaranya yang sedang berkumpul berkeliling untuk menyaksikan acara kurban persembahan itu adalah orang-orang yang sempurnah fisik. Permintaannya dikabulkan oleh ibunya dan mengungsikannya ke Pusuk Buhit, sementara Guru Tatea bulan sudah mengetahui bahwa Sariburajalah yang akan diminta oleh Mulajadi Nabolon sebagai kurban persembahan.

Mulajadi Nabolon datang berkunjung untuk meminta kurban yang dijanjikan, maka Sariburaja disembelih oleh Guru Tatea Bulan dan dipotong-potong bagian tubuhnya untuk dijadikan kurban yang akan dimasak di dalam sebuah wadah. Sewaktu potongan tubuh Sariburaja dimasukkan kedalam wadah untuk memasaknya maka Mulajadi Nabolon mengetahui kepasrahan dan kesetiaan kedua orangtua ini kepada Pencipta Alam Semesta Mulajadi Nabolon, dan Mulajadi Nabolon dengan kuasanya memanggil Sariburaja kembali keluar dari wadah tempat dia dimasak sebagai kurban, dia kembali menjadi manusia utuh sebagaimana sebelumnya. Sariburaja melumpat keluar dan duduk diantara saudara-saudaranya seolah-olah sebagai posisi raja.

Peristiwanya berawal bahwa Sariburaja dan kembarannya Siboru Pareme telah melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu mereka sedang bercinta terlarang antara kakak beradik kembaran. Sebagaimana biasanya mereka berdua memang selalu pergi bersama perladangan untuk mencari makanan yang pada masa itu belum lagi di olah melainkan mencari jenis makanan apasaja yang tumbuh liar di hutan atau termasuk berburu. Sariburaja dan Siboru Pareme lebih senang mencari umbi-umbian daripada berburu karena berburu adalah pekerjaan yang membosankan bagi mereka yang harus bersembunyi takbergerak untuk mengintip mangsa.

Demikianlah Sariburaja dan Siboru Pareme disuatu hari sudah merasa lelah disiang hari yang terik mencari umbi-umbian, lalu mereka berteduh di bawah rindang rumpun bambu untuk beristirahat. Karena sudah demikian penatnya maka mereka tertidur pulas. Selang berapa lama tertidur, Saribu raja terbangun duluan dan dilihatnya adik kembarnya masih tertidur pulas, lalu dia membenarkan posisi kepala adiknya agar nantinya sewaktu bangun tidak merasa sakit lehernya karena posisi tidur yang salah itu. Sewaktu Sariburaja membenarkan posisi tidur adik kembarnya itu, Siboru Pareme bahkan tidak terusik mungkin memang sudah sangat lelah sehingga pulas tidurnya masih terlelap tak merasakan apa-apa. Beberapa lama kemudian Sariburaja berusaha membangunkan adik kembarannya itu namun juga tak terusik. Dia menggoyang-goyang tubuh adiknya yang setengah telanjang itu dengan memegang bagian-bagian tubuh lainnya juga tak tergubris oleh Siboru Parema.

Pada masa itu pakaian masih terbuat dari serat kayu atau anyaman dari daun-daunan dan wanita masih bertelanjang dada. Sesaat Sariburaja menggoyang-goyang tubuh adiknya untuk bermaksud membangunkannya maka seketika dia merasakan ada suatu kenikmatan memandangi tubuh pangkal paha adiknya yang tersingkap. Adik kembarnya Siboru Pareme akhirnya terbangun dan memang melihat ikatan roknya sudah terlepas sehingga dia telanjang bulat, sekilas dia memandang abang kembarannya yang memandangnya dengan birahi membiarkannya saja demikian karena diapun ada merasakan kenikmatan sewaktu tersentuh oleh abang kembarannya tadi.

Masa berumur muda yang sama-sama matang birahi membawa mereka kepada kenikmatan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Naluri kelaki-lakian dan wanita yang dalam pengruh hormon kesuburannya membuat mereka kehilangan pegangan pantangan hidup antara abang beradik. Suasana sunyi sepi dibawah naungan rindangnya dedaunan rumpun bambu dan hembusan angin yang menyegarkan tubuh yang bertelanjang membuat birahi mereka memuncak mendidihkan darah mudanya. Merekapun melakukan hal terlarang dalam guncangan-guncangan tubuh berirama. Perjalanan kenikmatan bagai menapaki gunung yang tinggi menggelorakan hasrat. Alunan suara-suara gemercik diiringi gesekan-gesekan antara dedaunan yang diterpa angin membawa mereka hampir mencapai puncaknya dan tiba-tiba keluar suara rintihan yang diiringi muntahan lahar panas mengalir di dalam rahim Siboru Pareme. Alunan suara-suara dan gerakan secara perlahan menurun dan akhirnya berhenti. Mereka berdua terkulai kelelahan dibalik kenikmatannya yang tiada tara. Proses peristirahatan mereka mulai berlanjut lagi dan merekapun tertidur lagi dalam kelelahannya.

Menjelang sore mereka terbangun dari tidurnya lalu mereka saling berpandangan dengan penuh arti dan mengalirkan perulangan peristiwa yang mereka alami berdua di dalam pikirannya masing-masing. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk segera pulang sebelum hari menjadi gelap. Sesampainya di rumah mereka tetap berlakon sebagaimana biasanya, tiada yang berprasangka diantara saudara-saudaranya termasuk kedua orangtuanya. Mereka membawa kehidupan mereka yang baru di dalam suatu kerahasiaan.

Peristiwa-peristiwa kenikmatan berulang dan berulang, Sariburaja dan Siboru Pareme semakin akrab dalam penampilan mereka baik sewaktu berada dikampungnya apalagi bila sedang berada di perladangannya. Keakraban mereka yang sudah seperti dua mahluk yang sedang berkasihkasihan memadu cinta masih juga belum menjadi perhatian khusus yang mencurigakan bagi saudara-saudaranya termasuh kedua orangtuanya hingga suatu saat bahwa ada terlihat keanehan yang terlihat oleh adik-adiknya. Keanehan ini sempat dibicarakan oleh adik-adik laki-laki Saribu raja, termasuk kakak-adik perempuan lainnya, sementara Raja Biakbiak tidak mengetahui peristiwa ini karena dia masih dalam pertapaannya di Pusuk Buhit dan belum pernah turun setelah peristiwa tempohari dimana sempat Sariburaja akan dipersembahkan kepada Mulajadi Nabolon.

Tubuh Siboru Pareme sudah mengalami perubahan dan semua sudah tau bahwa telah terjadi sesuatu pelanggaran hukum dan tentusaja harus menerima hukuman yang berlaku. Orangtua mereka mengetahui juga peristiwa ini dan merasa sangat takut bahwa tanggungjawabnya kepada Mulajadi Nabolon haruslah dipertanggungjawabkannya, yang kemungkinannya akan melaksanakan kurban lagi dan tentusaja Sariburaja adalah kurban yang akan menjadi kenyataan kali ini. Peristiwa aib yang harus dipertanggung jawabkan ini memberatkan hatinya karena walaupun Sariburaja dan Siboru Pareme telah melakukan perbuatan yang harus menerima ganjawannya, tetapi sebagai ayah dan ibu yang melahirkan dan memeliharanya bertumbuh tetaplah menjadi beban yang sangat berat bagi keduanya Guru Tatea Bulan dan Sibaso Bolon istrinya. Sejak terungkapnya peristiwa itu mereka berdua menjadi sakit-sakitan.

Saudara-saudara Sariburaja terutama yang laki-laki melakukan perembukan tentang kesalahan yang dibuat oleh abangnya Sariburaja. Mereka menyimpulkan semacam kesepakatan untuk menjatuhkan hukuman yang setimpak kepada abangnya itu. Mereka sudah mengancang-ancang hukuman yang akan diberikan semisal menjatuhkannya kedalam jurang, atau mengubur hidup-hidup, atau menyembelih, yang jelas haruslah dibunuh sebagai hukuman mati. Lalu ke-3 orang adiknya yaitu Limbongmulana, Sagalaraja, Silauraja. Lalu diantara mereka membuat sumpah janji (padan) bahwa tak boleh seorangpun yang tau akan rencana mereka ini. Sebelum melaksanakan hukuman kepada abangnya, mereka harus tau pasti apakah benar tuduhan yang mereka alamatkan kepada Sariburaja, ataukah ada oranglain yang menaruh hati kepada Siboru Pareme sehingga mereka menjalin cinta? Lalu mereka harus mencari tau lalu masing mengadakan pengintaian. Agak sulit memang melakukan pengintaian karena Sariburaja dan Siborupareme selalu berpindah tempat berladang mencari umbi-umbian. Tetapi suatu ketika salah seorang adiknya menyaksikan dalam pengintaiannya bahwa benar Sariburaja dan Siboru Parema melakukan perbuatan terlarang itu dan dilakukan dimana yang sering mereka lakukan yaitu dibawah rindangan rumpun bambu yang sudah dibentuk sedemikian rupa menyerupai gubuk yang lebih nyaman mereka tempati.

Kebenaran perbuatan tercela ini sudah menjadi sah harus menjalankan hukuman yang akan dilakukan oleh 3 orang adiknya dan tidak boleh lagi ditawar-tawar. Berita akan dilaksanakan hukuman mati kepada Sariburaja oleh adik-adiknya terdengar pula oleh kedua orangtuanya yang memang sudah dalam keadaan sakit. Mendengar kejadian ini maka kedua orangtuanya semakin tambah sakit karena tidak dapat berbuat apa-apa. Walaupun dia mencintau semua anak-anaknya namun hukuman terhadap orang yang berbuat kesalahan memang harus dilaksanakan dan selain itu pula bahwa merekapun harus mempertanggungjawabkan perbuatan itu kepada Mulajadi Nabolon. Tak lama kemudian kedua orangtua ini tidak sangguplagi memikirkan peristiwa kemelut yang menimpa keluarganya, maka Guru Tatea Bulan dan Sibaso Bolon menemui ajalnya. Kematian kedua orangtua mereka semakin beralasan untuk segera membunuh Sariburaja sebagai hukuman oleh ke-3 adik-adiknya.

Sementara salah satu diantara tiga adik Sariburaja yaitu Silauraja yang paling laki-laki diantara mereka berpikir keras tentang pelaksanaan hukuman yang akan segera mereka lakukan dengan dua orang abangnya Limbongmulana dan Sagalaraja. Akal sehatnya bertanya pada dirinya sendiri, “Kalau kami melakukan pembunuhan tentu ini sesuatu perbuatan yang mendapat hukuman pula!” serunya dalam hatinya. Pikiran ini terus berkecamuk didalam dirinya bahwa membunuh sesama manusia juga sebagai kesalahan yang akan mendapat ganjaran juga dikemudian hari. Lalu dia berniat untuk memberitahukan kepada abangnya Sariburaja tentang rencana hukuman mati yang akan dilaksankan oleh adik-adiknya, akan tetapi dia terhambat kepada sumpahjanji yang dia lakukan bersama bahwa “padan’ tidak boleh juga dilanggar. Lalu Silauraja memutuskan untuk memberitahukan rencana penghukuman dengan melakukan semedi bertelepati. Dia membawa seperangkat peralatan ritual sebagai media lalu dibawanya mendekat kearah gubuk dimana Sariburaja dan Siboru Pareme sering berada. Setelah mendekat walaupun tidak dalam jarak pendengaran lalu dia memusatkan pikirannya dengan duduk bersila melakukan mantra-mantra dan setelah mantra-mantar selesai diucapkan dia lalu menghentakkan kakinya ke tanah tempat berpijak. Kenyataannya tanah itu bergetar dan getarannya sampai kepada pendengaran Sariburaja bahwa ada bahaya yang mengintai mereka. Secara insting bahwa saudara-saudaranya dirasakan sudah akan melakukan hukuman kepada mereka berdua.

Merasakan adanya ancaman maka Sariburaja segera mencari Siboru Pareme dan memberitahukan kepadanya kalau dia nanti pulang dan mendapat hukuman dari saudara-saudaranya dibuang kehutan agar dia membawa serbuk debu bakaran dan menaburkannya sepanjang jalan agar Sariburaja dapat menjumpainya kemudian. Sariburaja sangat jelas mengetahui bahwa adik kembarnya Siboru Pareme yang sedang hamil tidak mungkin mendapat hukuman bunuh karena dia mengandung bayi yang belum berdosa. Hukuman berat yang akan diterimanya adalah dibuang ketempat yang jauh agar aib keluarga tidak terjadi di kampungnya itu. Sewaktu Siboru Pareme pulang kerumahnya memang benar adanya bahwa saudara-saudaranya sudah berkumpul untuk melaksanakan hukuman kepadanya, sementara Sariburaja sudah tidak berani pulang setelah pesan gaib yang disampaikan oleh Silauraja diterimanya melalui getaran tanah.

Saudara-saudara Siboru Pareme jadi melaksanakan hukuman kepadanya dan membawanya ke dalam hutan lebat yang dianganggap sangat sulit ditemukan. Setelah yakin bahwa tempat ditengah hutan lebat itu cocok diberikan sebagai hukuman bagi Siboru Pareme, lalu mereka bertiga Limbongmulana, Sagalaraja, Silauraja mengambil jalan lain untuk pulang agar jejak mereka tidak diketahui orang lain, sementara Siboru Pareme melaksanakan saran yang diberikan Sariburaja yaitu menabutkan serbuk bakaran sepanjang jalan sebagai tanda jalur yang dilewatinya sampai ke tempat dimana dia ditempatkan sebagai hukumannya.

Akhirnya Sariburaja dapat menemukan tempat hukuman yang dijatuhkan kepada Siboru Pareme dan mereka bertemu kembali sebagai pasangan suami istri yang sedang berkasih-kasihan. Sariburaja dengan segera membersihkan sekeliling hutan itu dan mendirikan gubuknya agar mereka berdua dapat tinggal dan jauh dari ancaman binatang buas dan ular yang tentunya banyak terdapat di hutan belantara itu.

Hari berganti hari, mereka mulai hidup sebagai keluarga dipengasingan dihutan belantara yang jauh dari keberadaan manusia. Kehamilan Siboru Pareme sudah sedemikian membesar sehingga Sariburaja sudah harus mempersiapkan makanan menyehatkan walaupun sulit didapat di tengah hutan belantara itu.

Disuatu ketika, seekor binatang buas terdengar sedang mengaum didekat gubuk dimana Siboru Pareme sedang berada. Sementara Sariburaja sudah berapalama tidak kembali ke gubuknya karena pergi mencari makanan persediaan dengan berburu binatang. Ketakutan Siboru Pareme kian menjadi-jadi karena auman binatang buas itu terdengar sudah semakin mendekat sementara dia hanyalah seorang perempuan hamil yang tak berdaya untuk membela dirinya apabila ada ancaman seperti ini dari seekor binatang buas.

Binatang buas yang mengaum itu ternyata seekor harimau yang tiba-tiba muncul didepan pintu gubuk yang ditinggali Siboru Pareme. Harimau itu menguakkan mulutnya lebar-lebar sehingga terlihatlah taringnya yang seolah siap untuk menyergap Siboru Pareme sebagai mangsanya. Ketakutan Siboru Pareme kian menjadi-jadi akan tetapi sang harimau tidak juga menyergapnya malah tetap duduk dihadapan Siboru Pareme sambil menguakkan mulutnya mengerang kesakitan.

Akhirnya diketahui oleh Siboru Pareme bahwa harimau itu sedang kesakitan karena tertusuk tulang mangsanya di tenggorokannya. Siboru Pareme memberanikan diri menjulurkan tangannya kedalam mulit harimau itu dengan maksud untuk mengambil tulang yang tertusuk di tenggorokan harimau itu. Tulang-tulang itu berhasil dikeluarkan oleh Siboru Pareme sambil merasa kawatir bahwa harimau itu juga akan memangsanya, namun terjadi keanehan malah sang harimau hanya mengelur-eluskan kepalanya ke tubuh Siboru Pareme yang sedang ketakutan itu seolah mengatakan ucapan terimakasihnya yang menyelamatkannya dari maut karena tertusuk tulang di tenggorokannya.

Keesokan harinya harimau itu datang kembali mendekati gubuk dimana Siboru Pareme tinggal sambil mengaum seolah memberitahukan bahwa dia ada datang kesitu. Siboru Pareme semakin takut dan dipikirannya bahwa harimau itu sudah pulih dari sakitnya tentu sekarang sudah siap memangsanya, Namun yang terjadi ternyata harimau itu membawa segumpal daging rusa segar hasil buruannya sambil meletakkannya didepan Siboru Pareme, lalu harimau itu mengelus-eluskan kepalanya ke tubuh Siboru Pareme sambil mendengus dan kemudian pergi masuk kembali ke dalam hutan belantara. Saat itu sadarlah Siboru Pareme bahwa harimau itu telah menjadi kawannya yang memberikan hadiah daging segar sebagai ucapan terimakasih dari penyelamatannya. Demikianlah Siboru Pareme yang sedang hamil itu berkawan dengan sang harimau yang secara rutin memberinya daging buruan. Maka terpeliharalah kehamilan Siboru Pareme sampai dia melahirkan seorang anak laki-laki bernama Lontung, yang kemudian menjadi leluhur beberapa marga Batak.

Rabu, 21 Oktober 2009

RAJA UTI LELUHUR BATAK DI ACEH




Raja Uti alias Raja Biakbiak alias Gumellenggelleng adalah anak sulung Guru Tatea Bulan yang berasal dari salah satu pusat leluhur Bangsa Batak dari sebuah lembah di tepian Danau Toba di kaki Pusuk Buhit yang dikenal sebagai asal muasal Bangsa Batak.

Peristiwa percintaan dua kembaran anak Guru Tatea Bulan yaitu Sariburaja anak ke-3 dan Siboru Pareme anak ke-2 kembaran anak tertua Gumellenggelleng menjadi awal adanya kemelut dalam keluarga ini. Konsekwensinya bahwa Guru Tatea Bulan harus menebusnya dengan mengadakan kurban manusia kepada Mulajadi Nabolon. Seluruh anak-anak Guru Tatea Bulan kecuali dua anak kembarnya belum mengetahui apa sebab musabab bahwa Guru Tatea Bulan berencana untuk melaksanakan kurban manusia sebagai kurban tertinggi penebus dosa. Oleh karena adanya rencana ini maka anak tertua Gumellenggelleng merasa dialah yang akan dikurbankan oleh ayahnya karena dia berprasangka bahwa dialah yang lebih memungkinkan untuk itu. Oleh karena itu Gumellenggelleng memohon kepada ibunya agar dia disembunyikan saja dan ibunya menyetujuinya sehingga dia disembunyikan di Pusuk Buhit, sementara sebenarnya Sariburajalah yang akan diminta oleh Mulajadi Nabolon sebagai kurban persembahan.

Mulajadi Nabolon datang berkunjung untuk meminta kurban yang dijanjikan. Dengan kepasrahan maka Sariburaja disembelih oleh Guru Tatea Bulan dan dipotong-potong bagian tubuhnya untuk dijadikan kurban yang akan dimasak di dalam sebuah wadah. Sewaktu potongan tubuh Sariburaja dimasukkan kedalam wadah untuk memasaknya maka Mulajadi Nabolon mengetahui kepasrahan dan kesetiaan kedua orangtua ini kepada Pencipta Alam Semesta Mulajadi Nabolon, dan Mulajadi Nabolon dengan kuasanya memanggil Sariburaja kembali keluar dari wadah tempat dia dimasak sebagai kurban, sebuah mujijat bahwa dia kembali menjadi manusia utuh sebagaimana sebelumnya. Sariburaja melumpat keluar dan duduk diantara saudara-saudaranya dan duduk seolah-olah sebagai posisi raja.

Ujian terhadap kesetiaan Guru Tatea bulan lulus dihadapan Mulajadi Nabolon, maka Mulajadi Nabolon bermaksud akan pergi pulang ke kerajaannya melalui Pusuk Buhit. Di Pusuk Buhit, dia berjumpa dengan Gumellenggelleng yang sebenarnya sedang bersembunyi dan disembunyikan oleh ibunya untuk menghindar sebagai kurban oleh ayahnya. Mulajadi Nabolon bertanya kepada Gumellenggelleng “Siapa yang membawa kau kesini?”, lalu dijawabnya bahwa dia telah meminta ibunya untuk menghantarnya ke Pusuk Buhit untuk bersembunyi karena takut menjadi kurban persembahan. “Kalau begitu, apa sebenarnya yang kau inginkan?” tanya Mulajadi Nabolon, lalu dijawab oleh Gumellenggelleng bahwa kalau boleh dia dijadikan oleh Mulajadi Nabolon menjadi raja diantara saudara-saudaranya karena dia adalah sebagai putra yang sulung dan pertama keluar dari rahim ibunya, jadi pantaslah dia yang menjadi raja. Kemudian lanjutnya, “tapi apa dayaku sebagai orang tak sempurnah sebagai manusia yang selalu dianggap remeh oleh saudara-saudaraku.”

Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan Gumellenggelleng dan seketika tubuh Gumellenggelleng berubah menjadi manusia yang sempurnah yang memiliki kaki dan tangan bertumbuh normal. Lalu dia diberi kuasa oleh Mulajadi Nabolon menjadi orang sakti yang disebut namanya menjadi Raja Biakbiak. Setelah Gumellenggelleng disempurnahkan menjadi perkasa sebagai Raja Biakbiak maka Mulajadi Nabolon kemudian pergi ke tahtahnya melalui Pusuk Buhit, dan jadilah Biakbiak menjadi raja pertapa sakti.

Setelah sekian lama dalam pertapaannya, Raja Biakbiak dengan percaya diri turun dari Pusuk Buhit hendak menjumpai orangtuanya dan saudara-saudaranya dan membayangkan bahwa dia akan disambut oleh keluarga itu sebagai raja karena dia sebagai anak yang tertua dan lagipula dia telah menjadi manusia sempurnah dan sakti. Anggapan itu ternyata meleset dan dia menjumpai keluarganya sudah berantakan bercerai berai karena ulah Sariburaja dan Siboru Pareme yang berbuat cinta terlarang. Raja Biakbiak tidak menjumpai lagi Siboru Pareme kembarannya dan demikian juga Sariburaja adiknya tak terlihat lagi karena sudah terusir dari kampungnya.

Karena dia merasa sangat kecewa bahwa keluarga keturunan ayahnya sudah berantakan dan bercerai berai, maka dia pergi ke Singkil. Raja Biakbiak, walaupun bertubuh kate tetapi dia memiliki tubuh sempurnah dan memiliki kesaktian tinggi sehingga raja-raja setempat mempersembahkannya istri. Kekuasaannya kemudian membentuk sebuah kerajaan Batak dan dia digelari sebagai Raja Uti karena memiliki utiutian dari Mulajadi Nabolon sebagai kesaktiannya. Kekuasaannya berkembang di Singkil, Kluet dan sampai ke Barus yang ramai dengan perdagangan. Para keturunannya banyak yang menguasai kerajaan laut di pesisir pantai barat Pulau Sumatra bahkan sudah menjalin persahabatan sampai ke pesisir pantai selatan Pulau Jawa.

Semasa mulai berkembangnya kerajaan Singosari di Jawa, jalinan masyarakat pantai di pesisir pantai barat Pulau Sumatra dan pesisir pantai selatan Pulau Jawa sudah terjalin dan bahkan keturunan Raja Uti ada yang menjadi pimpinan pengawal kerajaan jawa itu, dan biasanya mereka diberi gelar Empu yang berasal dari kata Ompu yang berarti orang yang dituakan, dihormati dan memiliki ilmu yang tinggi serta disegani. Masyarakat Batak keturunan Raja Uti di Singkil dan Kluet menyebut Raja Jawa dengan sebutan Raja Jau.

Terpisahnya keturunan Raja Uti dari pusat peradaban Batak membuat masyarakatnya tidak sepenuhnya melaksanakan tatanan budaya Batak yang disebut ‘habatakon’, disamping mereka berbaur sebagai masyarakat pantai maka mereka telah menghilangkan marganya sebagai salah satu komponen inti peradaban Batak kuno.

Minggu, 13 September 2009

Guru Tatea Bulan

Kemelut Keluarga Guru Tatea Bulan

Alkisah seorang putra Raja Batak bernama Daeng Marata (Mangarata) adalah seorang raja bergelar Guru Tatea Bulan hidup rukun dan damai bersama istrinya Sibaso Bolon dan diwariskan ayahnya sebuah wilayah bernama Rura Limbong Mulana dan juga diwariskan sebuah pusaka berupa buku pintar bernama Pustaha Agong yang berisi sumber-sumber seperti ilmu kedatuan, ilmu gaib, ilmu hipnotis, ilmu beladiri.

Mereka sudah cukup lama mendambakan keturunan yang banyak agar kemudian keturunannya dapat menguasai wilayah yang diwariskan ayahnya kepadanya. Doanya kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan Pencipta Alam Semesta) terkabulkan dan istrinya Sibaso Bolon hamil. Harinya tiba bagi Sibaso Bolon untuk melahirkan, kemudian seorang bayi laki-laki muncul dari rahim dan dilanjutkan oleh seorang lagi bayi perempuan dan kemudian berlanjut lahir bayi laki-laki dan kemudian perempuan dan demikian seterusnya terlahirlah sepuluh anak kembar lima berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Sepuluh anak kembar lima pasang terlahir sehat walafiat namun dua diantaranya mendapat kelainan fisik yaitu anak laki-laki yang pertamakali lahir bertubuh kate sehingga terlihat hampir seperti gumpalan daging saja karena kaki dan tangannya berukuran pendek tidak sebagaimana normalnya, sementara anak perempuan yang terakhir lahir sekilas seperti laki-laki yang berpenampilan perempuan (shemale).

Guru Tatea Bulan dan istrinya Sibaso Bolon menamai anaknya satupersatu dengan sebutan nama untuk yang pertama Gumellenggelleng dan kemudian berurutan Boru Bidinglaut, Sariburaja, Siboru Pareme, Limbongmulana, Boru Antingsabungan, Sagalaraja, Sintahaomasan, Silauraja, Boru Nantinjo. Guru Tatea Bulan dan istrinya Sibaso Bolon merasa berbahagia memelihara anak-anaknya bertumbuh menjadi dewasa dalam sebuah keluarga besar. Masing-masing anaknya, baik yang laki-laki maupun perempuan mempunyai karakter dan sejarahnya masing-masing, tak beda dengan Boru Nantinjo anak perempuan dan paling bungsu yang mempunyai kelainan karakter dan fisik sejak kelahirannya.

Pada masa itu kegiatan mereka lebih banyak dilakukan berburu atau mencari umbi-umbian untuk kehidupan sehari-hari. Walaupun mereka sudah tinggal menetap di wilayah yang diwariskan, namun mereka belum bembuka perladangan menetap melainkan hanya memanfaatkan ketersediaan pangan oleh alam.

Selama masa hidup Guru Tatea Bulan dan istrinya, kelainan fisik Boru Nantinjo merupakan rahasia keluarga yang hanya diketahui oleh 3 orang saja di dunia ini yaitu Nantinjo sendiri, ibunya Sibaso Bolon dan ayahnya Guru Tatea Bulan. Setelah ayahnya dan ibunya meninggal maka hanya dia sendirilah yang mengetahui rahasia kelainan fisiknya. Sepintas Nantinjo terlihat sama sebagaimana anak perempuan lainnya. Fisiknya bertumbuh sebagaimana anak gadis lainnya berwajah cantik, berambut panjang, buah dada yang montok, dan suara merdu, dan rajin bekerja mengerjakan pekerjaan perempuan seperti menganyam tikar, atau menenun ulos, dan perilaku memang 100% sebagaimana perempuan lainnya. Kenyataannya bahwa alat kelaminnya tidaklah sebagaimana perempuan memiliki vagina, tetapi Nantijo malah memiliki alat kelamin laki-laki yang menonjol sebagaimana penis laki-laki (shemale). Oleh karena mereka 10 orang 5 pasang kembar yang bertumbuh dewasa secara bersama-sama maka rahasia kelainannya ini tidak diketahui oleh abang dan kakak lainnya.

Semasa kedua orang tua mereka masih hidup, Gumellenggelleng (gelleng = kecil) karena badannya kerdil sangat ingin memimpin menjadi pemimpin dari semua adik-adiknya akan tetapi dia menyadari bahwa fisiknya hanyalah seorang kate yang tidak segagah adik-adiknya yang memang secara fisik pantas menjadi raja, maka gumellenggelleng selalu merasa rendah diri apabila percekcokan diantara kakak beradik yang harus diselesaikan. Pada masa itu terjadi pula skandal percintaan antara kakak beradik kembar yaitu Sariburaja memadu cinta dengan kembarannya bernama Siboru Pareme. Skandal ini semakin jauh dan mereka melakukan incest antara kakak beradik sehingga Siboru Pareme hamil.

Peristiwa percintaan ini masih belum diketahui oleh saudara-saudara lainnya akan tetapi Guru Tatea Bulan secara gaib sudah didatangi oleh Mulajadi Nabolon bahwa anaknya yang bernama Sariburaja dan Siboru Pareme sudah berbuat kesalahan melanggar hukum yang dititahkan, maka Guru Tatea Bulan harus menyediakan kuban manusia sebagai tebusannya. Rencana pemberian kurban oleh Guru Tatea Bulan sempat didengar oleh Biakbiak, maka dia memohon kepada ibunya agar dia diungsikan saja supaya ketika Mulajadi Nabolon datang maka dia tidak terlihat olehnya untuk diminta sebagai kurban. Gumellenggelleng beranggapan bahwa dia adalah sebagai orang yang tidak sempurnah fisik dan pastilah dia yang akan ditawarkan oleh ayahnya sebagai kurban kepada Mulajadi Nabolon, sementara saudara-saudaranya yang sedang berkumpul berkeliling untuk menyaksikan acara kurban persembahan itu adalah orang-orang yang sempurnah fisik. Permintaannya dikabulkan oleh ibunya dan mengungsikannya ke Pusuk Buhit, sementara Guru Tatea bulan sudah mengetahui bahwa Saribu Rajalah yang akan diminta oleh Mulajadi Nabolon sebagai kurban persembahan.

Mulajadi Nabolon datang berkunjung untuk meminta kurban yang dijanjikan, maka Sariburaja disembelih oleh Guru Tatea Bulan dan dipotong-potong bagian tubuhnya untuk dijadikan kurban yang akan dimasak di dalam sebuah wadah. Sewaktu potongan tubuh Sariburaja dimasukkan kedalam wadah untuk memasaknya maka Mulajadi Nabolon mengetahui kepasrahan dan kesetiaan kedua orangtua ini kepada Pencipta Alam Semesta Mulajadi Nabolon, dan Mulajadi Nabolon dengan kuasanya memanggil Sariburaja kembali keluar dari wadah tempat dia dimasak sebagai kurban, dia kembali menjadi manusia utuh sebagaimana sebelumnya. Sariburaja melumpat keluar dan duduk diantara saudara-saudaranya seolah-olah sebagai posisi raja.

Ujian terhadap kesetiaan Guru Tatea bulan lulus dihadapan Mulajadi Nabolon, maka Mulajadi Nabolon bermaksud akan pergi pulang ke kerajaannya melalui Pusuk Buhit. Di Pusuk Buhit, dia berjumpa dengan Gumellenggelleng dan bertanya “Siapa yang membawa kau kesini?”, lalu dijawab Gumellenggelleng bahwa dia telah meminta ibunya untuk menghantarnya ke Pusuk Buhit untuk bersembunyi karena takut menjadi kurban persembahan. “Kalau begitu, apa yang kau inginkan?” tanya Mulajadi Nabolon, lalu dijawab oleh Gumellenggelleng bahwa kalau boleh dia dijadikan oleh Mulajadi Naboleon menjadi raja diantara saudara-saudaranya karena dia adalah sebagai putra yang sulung dan pertama keluar dari rahim ibunya, jadi pantaslah dia yang menjadi raja. Kemudian lanjutnya, “tapi apa dayaku sebagai orang tak sempurnah sebagai manusia yang selalu dianggap remeh oleh saudara-saudaraku.”

Mulajadi Nabolon mengabulkan permintaan Gumellenggelleng dan seketika tubuh Gumellenggelleng berubah menjadi manusia yang sempurnah yang memiliki kaki dan tangan bertumbuh normal. Lalu dia diberi kuasa oleh Mulajadi Nabolon menjadi orang sakti yang disebut namanya menjadi Raja Biakbiak. Mulajadi Nabolon kemudian pergi ke tahtahnya melalui Pusuk Buhit setelah menyempurnahkan Biakbiak menjadi raja pertapa sakti.

Anak-naknya yang lain membawa sejarahnya masing-masing, seperti Siboru Bidinglaut kembaran Gumellenggelleng hilang entah kemana karena dia pergi mencari saudaranya yaitu adik dibawahnya bernama Sariburaja yang menyingkir akan mendapat hukuman bunuh dari 3 orang adik-adik laki-laki dibawahnya. Siboru Bidinglaut dalam pencaharian adiknya Sariburaja banyak mengalami kendala hidup sehingga dia terdampar di laut selatan dan dipercaya menjadi sosok Nyi Roro Kidul yang menjadi penguasa laut pantai selatan Indonesia.

Limbongmulana, Sagalaraja, Silauraja membentuk rumahtangganya masing-masing dan membuka kampung sendiri-sendiri secara terpisah dan berketurunan disana. Masih semasa hidup Guru Tatea Bulan dan istrinya Sibaso Bolon, kemelut keluarga diantara anak-anaknya sudah membuatnya merasa bersalah tidak mampu membina keluarganya dengan baik sehingga anak-anaknya banyak yang berbuat salah terhadap hukum-hukum yang dititahkan oleh Mulajadi Nabolon sebagai tuhan pencipta yang berkuasa atas alam semesta. Mereka berdua suami istri menjadi sakit dan akhirnya meninggal dunia di dalam kesemrautan kehidupan anak-anaknya.

Guru Tatea Bulan dan istrinya Sibaso Bolon meninggal dunia dengan meninggalkan keberagaman sejarah anak-anaknya. Hubungan diantara semua anak-anaknya tidaklah menjadi seakur sewaktu mereka masih hidup mendampingi dan membina anak-anaknya sebagaimana orang tua berharap kepada kebaikan semua anaknya.


Jumat, 14 Agustus 2009

DANAU TOBA


Oleh: Maridup

Alkisah, seorang pemuda yatim piatu bernama Tabo hidup sendiri digubuknya di tepi sebuah jurang yang dalam, setelah dia dia mengasingkan diri dari keluarga orangtuanya. Dekat dengan gubuknya mengalir sebuah sungai yang banyak ikannya. Pekerjaannya disamping bertani adalah menjala ikan atau memancung ikan di sungai tersebut. Ikan yang dijala biasanya dimasaknya sebagai lauk makanannya. Terkadang dia mendapat ikan yang banyak sehingga harus disimpannya di sebuah kolam yang ada dibelakang gubuknya, untuk kemudian apabila dia butuhkan maka dia dapat mengambilnya tanpa harus pergi menjala atau memancing ke sungai.

Di suatu hari, dia tidak pergi ke ladangnya melainkan direncanakannya untuk menjala ikan di sungai. Sejak pagi itu dia sudah giat melemparkan jalanya namun tidak satupun ikan yang terjaring. Hingga hari menjelang sore, tak satupun ikan didapat, dan diapun berniat untuk pulang saja kerumah dan menangguk ikan yang ada di kolam dibelakang gubuknya untuk lauk makan malamnya. Dia niatkan untuk terakhir kali sore itu melemparkan jaring jalanya di sekitar pojok sungai, lalu di mulai menariknya. Pada saat menarik tali jalanya, dia merasa sangat berat tidak seperti biasanya. Kemudian mengikatkan tali ke sebatang kayu kecil di tepi sungai agar tidak terhanyut. Dia mencoba untuk melihat apakah jaringnya ada yang tersangkut. Ternyata jaringnya tidak tersangkut tetapi ada yang menggelepar di dalam jaringnya. Dia yakin ada sesuatu yang tertangkap oleh jaringnya sehingga berat untuk di tarik. Dengan sekuat tenaga dia menarik jaringnya dan kenyataannya dia mendapat seekor ikan sangat besar yang berwarna keemasan dan sangatlah cantik dilihatnya.

Dengan bersusah payah Tabo membawa dengan memundak ikan itu tetap didalam jaringnya. Sesampai di gubuknya, dia menaruhnya di kolam yang ada dibelakang gubuknya. Ikan itupun menggeliat-geliatkan ekornya keluar dari jaring itu, dan kemudian dari kejauhan sudut kolam berbalik memandang si Tabo dan sesekali mengerdipkan matanya. Semakin dipandang si Tabo, maka ikan itu semakin cantik dilihatnya sehingga dia tidak lagi berniat untuk memakan ikan tersebut untuk lauknya melainkan diniatkannya hanya untuk dipeliharanya saja. Lagipula ikan itu cukup besar untuk dimakan oleh satu orang, bahkan untuk tiga haripun mungkin tidak akan habis.

Demikianlah Tabo akhirnya hanya menangguk ikan kecil yang ada di kolamnya untuk dijadikannya lauk makan malamnya. Sewaktu dia menangguk, di dapatnya 3 ekor jurung-jurung, lalu dipersiapkannya untuk dijadikan lauk. Tabo menyiangi 3 ekor ikan itu dengan membuang isi perut dan insang, lalu membuang sisiknya, selanjutnya di sayat-sayat daging ikan dan dilaburinya dengan asam jeruk diambil dari pekarangan gubuknya. Tabo menyalakan api dari ranting-ranting kayu bakar dan dibiarkannya sampai ranting kayu itu menjadi bara arang. Sembari dia menunggu kayu menjadi bara, maka dia mempersiapkan bumbu-bumbu yang semuanya terdapat di sekitar gubuknya. Cabe rawit, cabe merah, andaliman, daun lalapan dan daun pisang diambilnya. Daun pisang ditumpukkannya diatas bara, lalu diletakkannya 3 ekor ikan yang sudah terbalur perasan air asam jeruk tadi. Ikan yang di bakar mengeluarkan aroma yang mewangi, lalu dibalik-balikkannya agar matangnya merata, sambil menggiling bumbu-bumbu yang sudah dipersiapkannya tadi.

Dia melihat bahwa ikan bakarnya sudah matang berminyak dan mengeluarkan aroma selera, lalu diangkatnya seekor untuk dimakannya sore atau malam itu, sementara yang dua ekor lagi dipersiapkannya untuk sarapan pagi sebelum pergi ke ladang dan seekor lainnya untuk makan siang di ladang. Tabo mulai mencuci tangannya untuk mulai mengepal nasi panas dengan jari-jarinya, lalu dimasukkannya kedalam mulutnya sambil agak seperti bersiul karena nasi tersebut masih terasa panas dimulutnya. Depetiknya ikan bakar tersebut, pertama diambilnya dari bagian tengkuk kepala ikan, lalu dicoelnya kebumbu cabe dan disantapnya. Dia merasa memang hidup ini indah dan nikmatnya terasa sewaktu makan sore tersebut. Dengan lahap Tabo menghabiskan hambir seperiuk nasi karena nikmatnya. Selesai makan dia menjerangkan air untuk membuat sejenis teh hangat menjelang tidur.

Tidak seperti biasanya dikehidupan moderen sekarang ini, bahwa terlebih dahulu mandi sore baru memulai untuk makan sore atau makan malam. Tabo justru melakukan sebaliknya oleh karena dia sudah keburu lapar bekerja fisik di ladang atau menjala ikan, maka makan sore terlebih dulu dilakukan baru dia pergi mandi sebelum tidur. Tabo bersiap untuk pergi mandi ke pancuran yang ada dekat gubuknya, tetapi sebelum berangkat disempatkannya pergi kebelakang gubuknya untuk melihat ikan besar tangkapannya tadi. Tabo melihat ikan itu meliuk-liuk menggerakkan ekornya dan mendekat merapat ke arak Tabo. “Cantik kalilah ikan ini bah..” demikian kata Tabo dalam hatinya. Disambarnya air kolam dengan tangannya sambil memercik-mercikkannya kearah ikan. Sesaat Tabo akan pergi mandi, sekilas ikan itu mengerdipkan matanya, sehingga Tabo pun menolehkan pandangannya untuk berbalik melihat ikan itu. Dalam pikirnya “Mentel kali ikan ini kulihat…” katanya dalam hati lalu pergi untuk mandi.

Sesampai di gubuk setelah mandi, Tabo mengambil jerangan airpanas yang sudah mendidih, lalu menuangnya ke sebuah wadah yang terbuat dari bambu menjadi seperti wadah untuk minum. Tabo mengambil sejenis daun yang sudah dikeringkannya dan diseduhnya kedalam airpanas tersebut. Itulah minumannya sore menjelang malam itu dimana zat-zat yang terlarut dari daun itu membawanya menikmati indahnya hidup di dunia ini sambil menyulutkan sebatang rokok yang terbuat dari daun ari-jagung bagian dalam yang sudah dikeringkan.

Demikianlah kehidupan sehari-hari Tabo yang mampu menikmati kehidupannya di dunia yang sudah dikaruniakan kepadanya. Malam itu Tabo merasa nyenyak tidurnya disertai mimpi indah seorang pemuda yang bertemu dengan seorang putri kayangan yang cantik jelita. Paginya, Tabo terbangun dari tidurnya disambut oleh kicauan burung yang bertenggek di ranting-ranting pohon. Matahari menyembul dari arah timur menyinari pepohonan yang masih diselimuti embun pagi. Terlihat kepulan seperti asap yang keluar dari pepohonan menandakan dimulainya proses fotosintesis, menguapkan butiran embun oleh sinar matahari pagi. Demikianlah siklus kehidupan di alam ini hari demi hari, sama hal nya seperti kehidupan Tabo.

Pagi itu sebagaimana biasanya, Tabo menjerangkan airpanas untuk minumannya dan sarapannya sambil juga memasak nasi untuk makanannya pagi itu dan siangnya sewaktu bekerja di ladang atau selagi menjala. Karena udara yang cukup dingin maka pekerjaan di dapur menjadi disenanginya karena dia bisa sambil mansisulu (menghangatkan badan di perapian). Air sudah mendidih, nasi sudah matang, tunggu apa lagi… Tabo pertama menyeduh teh racikannya, lalu mulai mengambil nasi dan ikan bakar yang sejak kemarin malam sudah dipersiapkannya. Sebentar saja sudah habis dilahapnya untuk ukuran 2 piring. Sambil mempersiapkan peralatan kerjanya, dia meneguk teh racikannya dan rokok gulungnya. Seperti biasanya, diapun berangkat bekerja ke ladangnya dengan kesegaran tubuh penuh energi.

Sorenya dia sudah pulang dari ladangnya langsung pergi ke belakang gubuknya untuk menyimpan peralatan kerjanya. Sekilas dilihatnya ikan kesayangannya secara genit menghampirinya. Diamatinya sebentar sebelum dia membersihkan diri untuk segera akan menyiapkan makanan untuk sore dan esok harinya sebagaimana biasa. Tabo memasuki gubuknya untuk mempersiapkan memasak seperti biasanya, namun dia terperanjat karena ada didapatinya makanan yang sudah tersedia. Tabo merasa heran, lalu dia keluar ke sekeliling gubuknya sambil mencari-cari apakah ada seseorang saudaranya yang datang sehingga ada tersedia makanan. Tabo tidak melihat seorangpun ada disekitar gubuknya. Setaunya, tidak ada penduduk dekat sekitar situ. Tabo berkata sendiri dalam hati, “Bagaimana mungkin ada makanan tersedia disini?”. “Apa aku sendiri yang memasaknya tadi pagi?”. Cukup lama dia memikirkan keanehan itu, “mungkin aku lupa dan pasti aku yang memasaknya tadi pagi”, demikian kesimpulan yang dibuat Tabo untuk membenarkan kejadian itu. Karena Tabo sudah lapar setelah letih berladang, maka diapun menyantap makanan itu.

Untuk kedua kalinya, kejadian kemarin terulang kembali dan makanan memang ada terhidang di dapur gubuknya sekembalinya dari ladangnya. Kali ini dia yakinkan dirinya bahwa yang membuat itu sudah pastilah seseorang. “Aku tak mungkin sedang bermimpi ! karena sudah jelas tadi pagi aku tak ada buat apa-apa untuk persiapan makan” pikirnya dalam hati. “Pasti sudah ada penghuni baru di sekitar sini, karena ingin memberitahukan kehadirannya maka dia menghadiahkan makanan sebagai tanda bersahabat!” pikirnya lagi. “Tak mungkin setan bisa masak, so pasti manusia” demikian dalam hati Tabo berkecamuk sejumlah pertanyaan. “Malam ini aku harus berkeliling untuk melihat sekitar sini. Pastilah akan ada nyala api disuatu tempat yang dapat terlihat pada malam hari !” demikian Tabo memutuskan untuk berkeliling sambil membawa sejenis obor yang terbuat dari biji-bijian yang mengandung minyak, seperti biji jarak (dulang) yang ditusuk pada lidi bambu seperti sate. “Kalau aku nanti diketahui orang pendatang membawa obor ini tentulah dia akan menyapaku” pikirnya sambil berjalan dan mengarahkan pandangannya ke berbagai arah. Setelah letih berkeliling-keliling maka Tabo memutuskan untuk pulang ke gubuknya dan ternyata tidak ada siapa-siapa. Sambil merebahkan tubuhnya di dipan yang terbuat dari tikar bambu untuk berusaha tidur malam itu. Pikirannya menerawang dengan seribu tanya dikepalanya dan diapun tak dapat tidur malam itu.

Oleh karena kurang tidur malamnya maka Tabo memutuskan untuk tidak pergi ke ladang karena badanya masih terasa letih. Dia memutuskan untuk pergi memancing saja. Sebelum berangkat memancing, tak lupa dia pergi ke belakang gubuknya untuk melihat ikan kesayangannya yang ada di kolam belakang. Memang sudah dua hari dia tidak melihat ikan itu, dan ternyata ikan itu masih ada dan meluncur berenang di permukaan air menuju kearahnya. Ikan itu semakin cantik saja dilihatnya. Tabo kemudian menyapa ikan itu; “Hei ikan ! sudah rindu aku tak melihatmu dua hari ini, apa kabarmu?” demikian kata Tabo sambil mengusap-usap badan ikan dengan tangannya dari pinggir kolam. Kemudian dia berkata lagi kepada ikan itu; “Jaga dirimu baik-baik ya ! makan aja apa yang ada di kolam ini supaya sehat kau”, lalu, “Aku mau pergi memancing dulu ke sungai sana, nanti kubawakan makananmu yang enak dari hasil pancinganku.” Demikian kata Tabo, maksudnya adalah ikan-ikan kecil sebagai makanan ikan kesayangannya itu. Lalu Tabo pun berlalu dan pergi ke arah sungai sambil membawa kail untuk memancing.

Dalam perjalanannya kearah sungai, dia teringat lagi akan keanehan terhidangnya makanan dalam dua hari belakangan ini. Lalu Tabo berniat untuk mengintai kira-kira siapa yang menyediakan makanan tersebut. Tabo mulai mengambil posisi yang tersembunyi di tepi sungai itu, tetapi pandangannya dapat mengintai gubuknya dari kejauhan. Sambil memancing, diapun menolehkan pandangannya sesekali kearah gubuknya, siapatahu ada asap mengepul tandanya ada orang yang memasak di gubuknya. Setelah sekian kali menoleh ke gubuknya, ternyata memang benar bahwa gubuknya sedang mengepulkan asap tandanya ada seseorang yang sedang memasak. Toba pun tak luput dari keingin tauannya untuk mengetahui siapa gerangan yang ada di gubuknya. Dengan mengendap-endap, Tabo menuju gubuknya sambil berusaha untuk tidak mengeluarkan suara langkah yang berisik dari gesekan semak-semak ke badannya. Ahirnya dia sampai juga ke gubuknya dengan aman tanpa ketahuan. Jantungnya berdebar saat akan mengintip siapa gerangan yang ada di dapur. Dari selah-selah dinding tepas di dapur gubuknya terlihatnya seorang putri cantik sedang memasak sesuatu di dapurnya. Jantungnya semakin berdetak keras karena dia tidak habis pikir bahwa ada seorang putri cantik di tengah hutan belantara seperti ini.

Dengan memberanikan diri, Tabo tiba-tiba masuk dari pintu dapurnya dan memergoki putri cantik itu. “Ternyata kau yang memasak makanan yang terhidang selama dua hari ini ya” lalu katanya, “Darimana seorang putri cantik ada di hutan ini? Apa kau bukan setan?” kata Tabo bertanya. Sambil tersipu malu sang putri menjawab, “ya Tuanku, memang aku yang memasak makanan terhidang untuk tuanku, aku adalah jelmaan ikan yang tuanku jaring waktu itu” katanya sambil menundukkan kepala. Lalu Tabo berkata lagi, “Ah mana mungkin ikan berubah menjadi putri cantik seperti kau? Siapa yang menyuruh kau ke sini?” Tanya Tabo sambil berbalik bergerak ke arah kolam yang memang persis berada dekat pintu dapurnya dan memang tidak terlihat lagi ikan kesayangannya itu. Lalu Tabo berbalik lagi ke arah putri cantik itu dan disambut oleh putri cantik itu dan berkata; “Memang benar tuanku, aku diutus oleh Mulajadi (Tuhan pencipta alam semesta) untuk mendampingi hidup bersama sebagai istri tuanku.” Karena putri cantik itu menyebut nama Tuhan pencipta alam semesta maka percayalah dia karena tidak sembarangan dapat menyebutkan nama Tuhan kalau untuk dusta.
Singkat cerita, Tabo dan Putri Ikan itu menjadi pasangan yang berbahagia sebagai suami-istri. Waktu berjalan sampai suatu saat Putri Ikan mengandung bayi. Tabo merasa bahagia karena dia akan mendapat keturunan. Tabo berharap bahwa dia akan mendapat anak laki-laki terlebih dahulu agar pasti generasinya bersambung karena titah dari Tuhannya bahwa anak laki-laki adalah sebagai pengganti generasinya. Kemudian Putri Ikan berkata; “Kalau anak kita lahir nanti, jangan sekali-kali kau mengatakan bahwa ibunya adalah jelmaan dari seekor ikan, ini adalah sumpah kita berdua”. Tabo setuju dengan sumpah itu, lalu mereka berdoa untuk mengikat sumpahnya atas nama tuhannya Mulajadi. Mereka membentangkan selembar ulos dan diatasnya diletakkan 3 lembar daun sirih, 1 butir telur, 1 butir jeruk purut jantan, dan air bersih yang ditaruh di cawan yang terbuat dari kulit buah labu. Lalu mereka membentangkan tangannya ke atas dan berdoa; “Mulajadi Nabolon, kami bersumpah untuk sehidup semati menjadi keluarga yang menurunkan generasi, bersumpah untuk tidak menceritakan tentang asal muasal kami masing-masing kepada keturunan kami, dan kalau kami melanggarnya maka engkau junjungan kami dapat menghukum kami sesuai dengan kemauanmu yang akan terjadi, Manjadilah (amin).” Demikianlah mereka bersumpah dalam doa mereka. Lalu mereka memasukkan 3 lembar daun sirih itu ke dalam air yang ada di cawan itu dan memotong dua jeruk purut dan menaruhnya di dalam air di cawan itu. Mereka memercikkan air dari dalam cawan itu dengan daun sirih ke sekeliling gubuknya. Setelah selesai memercik air itu, lalu diperasnya ke dua belah jeruk purut mencampurkannya dengan sisa air yang masih ada di cawan itu dan mereka minumnya bersama, lalu sisanya untuk mencuci muka dan membasahi rambut mereka.

Bulannya datang, harinya tiba, maka terlahirlah seorang bayi laki-laki yang terlihat sehat dan kuat. Tabo dan istrinya menjadi berbahagia mendapatkan anak karunia dari Mulajadi. Mereka membesarkan anak itu dengan bahagia. Lima tahun berlalu, sang anak tumbuh sehat sebagai buah hati yang menyenangkan kedua orang tuanya. Anak itupun rajin membantu ke dua orang tuanya semampu yang dapat dia lakukan. Hari itu Tabo sedang bekerja diladangnya, biasanya istri dan anaknya datang membawa makanan untuk mereka makan bersama di ladang, tetapi hari itu Putri Ikan tidak dapat menghantarkan makanan siang itu dan dia menyuruh anaknya yang menghantarkan. Sang anak yang sedang aktif-aktifnya itu dengan senang hati mau disuruh sedirian oleh ibunya. Sang anak membawa bekal makanan itu menyusuri jalan setapak menuju ladangnya. Sebelum tiba di lading itu, sang anak harus pula menyusuri tepian sungai dimana mereka sering memancing dan menjala ikan bersama ayahnya Tabo. Sewaktu melintasi tepian sungai, anak itu melihat ikan-ikan banyak berlompatan yang menarik perhatian si anak. Anak itupun menghentikan langkahnya lalu asyik mengamati ikan-ikan yang sedang melumpat-lumpat. Dia terlupa dengan tugasnya untuk menghantarkan makanan untuk ayahnya, malah dengan tertawa riang menaburkan makanan yang dibawanya kepada ikan-ikan yang disungai itu. Makanan itupun habis diberikannya kepada ikan-ikan yang ada disungai itu, lalu diapun melanjutkan perjalanannya menuju ladang dimana ayahnya sedang menantinya. Siang itu Tabo sudah istirahat dari kerjanya di ladang dan sedang duduk santai mengisap rokok yang terbuat dari kumis jagung dan daun jagung muda yang sudah dikeringkan. Tabo memang merasa ada yang aneh, bahwa biasanya istrinya dan anaknya sudah seharusnya tiba membawa makanan untuk mereka makan bersama, tetapi siang itu dia cukup jenuh menanti kedatangan mereka. Sesaat kemudian dia melihat anaknya sendirian menghampirinya sambil membawa tentengan yang dia ketahui adalah makanan untuk makan siang mereka.

Sesampai anaknya dipondokan dimana mereka sering beristirahat siang, Tabo menanya anaknya; “Dimana ibumu? Kok sendirian kau?”. “Ibu sedang ada keperluan penting dan aku yang disuruhnya ke sini sendirian” katanya dengan lugu. Tabo tak sabar membuka bungkusan yang dibawa oleh anaknya, karena dia memang sudah lapar sehabis bekerja setengah hari itu. Tak disangkanya bungkusan itu ternyata kosong, dan hanya bekas-bekasnya saja yang ada. Lalu Tabo dengan marah berkata; “Kemana kau bikin makanan ini? Apa kau makan semuanya?” “Tak ada kumakan, pa” katanya lugu. “Jadi kemana semua, kok bisa habis?” katanya lagi dengan penuh selidik apakah memang sudah dimakan anaknya semuanya, tetapi dia melihat anaknya tidak ada tanda-tanda sudah memakan makanan itu. Dengan rasa takut anaknya menjawab; “Tadi aku kasi kepada ikan-ikan yang ada di sungai tempat kita sering memancing, karena ikan-ikan itu berlompat-lompan meminta makan, jadi aku kasi semuanya” demikian kata anaknya dengan lugu. Karena memang sudah sangat lapar, diapun dengan marah menampar pipi anaknya sambil berkata; “Dasar anak ikan, tak tau diri kau, makanan bapakmu kau kasih sama ikan.” Anak itupun menangis karena terasa sakit di tampar pada pipinya. Tabo kemudian mengusir anaknya pulang sambil berkata lagi “Pergi sana ke mamamu, memang betullah kau anak ikan” bentaknya. Anak itupun sambil menangis pulang kembali ke gubuknya .

Sesampai di gubuknya, anak itupun disambut ibunya dengan tanya; “Kok nangis kau, ada apa?”. “Aku ditampar papa karena semua makannya aku kasi kepada ikan-ikan di tempat pemancingan sana” katanya. “Sudahlah, diamlah, biarkan aku bawa lagi makanan kepada bapakmu” demikian kata ibunya sambil bersiap-siap untuk mengambil lagi makanan untuk dihantarkannya kepada suaminya. Tetapi anaknya semakin menangis saja dengan sedih, walau dibujuk oleh ibunya, dia tetap saja bertambah menangis. Akhirnya dia mengatakan “Aku dikatakan anak ikan, karena makanannya aku kasi sama ikan” anaknya terisak sambil mengusap matanya. Putri Ikan tersentak dan segera berlari membawa anaknya menuju ladang menjumpai suaminya Tabo. Setelah tiba, Putri Ikan menanyakan langsung kepada suaminya Tabo; “Apa benar kau mengatakan anak kita ini anak ikan?” Saat itu, Tabo teringat akan sumpahnya dan mereka menyadari bahwa akan segera terjadi sesuatu karena memang sudah disumpahkan. Tangisan anaknya membawa suasana mereka berdua menjadi menangis juga. Mereka sangat yakin bahwa sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi pada mereka.

Sesaat kemudian petir menyambar silih berganti, awan tiba-tiba berkumpul tebal diatas mereka, dan hujan turun dengan sangat lebat, bahkan air dari tanah keluar mengebul sehingga kawasan itu sudah mulai dibanjiri oleh air. Tabo memeluk anaknya sambil memandangi istrinya Putri Ikan yang juga sedang menangis. Mereka sudah saling tau bahwa air yang semakin membanjiri kawasan itu menjadi cara bagi Mulajadi untuk memisah mereka karena termakan sumpah. “Tabo, pergilah ke bukit sana dan jangan lagi berada di lembah ini karena kutukan telah terjadi pada kita” demikian kata Putri Ika sambil menangis.” “Jagalah anak kita, biarlah dia sebagai pertanda bagi manusia bahwa dia berasal dari mahluk air, aku akan segera dipanggil oleh Tuhan untuk hidup di alam yang diciptakannya bagiku” demikian kata Putri Ikan menyampaikan kata-kata perpisahannya. Air semakin naik, Tabo mulai berlari kearah bukit menjauhi daerah banjir itu, sementara istrinya Putri Ikan ingin juga berlari mengikuti suaminya namun kakinya seperti terpaku di tempat karena sudah mulai berubah wujudnya. Kakinya yang sudah terendam air berubah menjadi sirip ekor, dan semakin keatas berubah menjadi sisik. Tabo dan anak yang digendongnya sudah berlari menjauhi daerah banjir. Dari kejauhan terlihat perubahan wujud istrinya perlahan-lahan menjadi ikan sepenuhnya sampai suatu saat tak terlihat lagi. Air yang banjir itu sudah mengitari bukit dimana Tabo dan anaknya berada. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah air yang mengelilingi pulau, itulah yang disebut Danau Toba dan Pulau Samosir ada di tengahnya.

Catatan:
Berdasarkan kajian ilmu pengetahuan bahwa Danau Toba terbentuk sekitar 30.000 tahun yang lalu. Danau Toba terbentuk dari sebuah kawah Gunung Toba yang meletus sekitar 75.000 tahun lalu, dimana letusannya mengakibatkan terjadinya musin dingin dan jaman es. Debu letusannya menyebar sampai ke Timur Tengah, dimana sampai saai ini debu vulkanis tersebut terdapat disemenanjung Malaysia dengan ketebalan 9m dan sampai di India dengan ketebalan 3m. Letusan ini juga menimbulkan tertutupnya sinar matahari sehingga terjadi gelap dan dingin selama 6 tahun, dan memicu musim es selama 1000 tahun. Banyak mahluk yang punah, tetapi manusia Batak dapat survive dan inilah awalnya manusia menyebar dari Tanah Batak. Jadi, setelah terjadinya letusan Gunung Toba maka 45.000 tahun kemudian kawasan itu perlahan-lahan dialiri oleh air dari gunung-gunung tang sudah ditumbuhi oleh pepohonan yang menghutan sehingga akhirnya terjadi Danau Toba.